/

Pezina Hanya untuk Pezina? Memahami QS. al-Nūr: 3 dalam Lensa Usul Fikih

Ada satu ayat Al-Qur’an yang sering disalahpahami, dikutip dengan nada vonis, dan dijadikan alat stigmatisasi: 

Al-zānī lā yankiḥu illā zāniyatan aw musyrikatan, wa al-zāniyah lā yankiḥuhā illā zānin aw musyrik  (QS. al-Nūr: 3). Tafsir kasarnya: pezina hanya boleh menikah dengan pezina atau orang musyrik. 

Dan dari sana tumbuhlah satu "stigma teologis" yang terus dilanggengkan dalam khutbah-khutbah, caption media sosial, hingga pandangan umum: “yang baik untuk yang baik, dan yang buruk untuk yang buruk.” Seolah-olah masa lalu seseorang menentukan mutlak nasib jodohnya.

Padahal, ayat ini tidak sesederhana itu. Bahkan menurut Wahbah al-Zuḥaylī, ayat ini termasuk dalam kategori ‘ām (umum) yang tidak bisa langsung diterapkan secara mutlak tanpa melihat adanya dalil takhṣīṣ (pengkhususan)

Dalam Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, beliau menjelaskan bahwa para ulama berbeda dalam memahami ayat ini—dan mayoritas dari mereka tidak memahaminya sebagai hukum permanen yang mengikat secara literal, melainkan sebagai larangan dalam konteks sosial dan moral tertentu.

Mazhab Syāfi‘ī dan Mālikī, misalnya, menempatkan ayat ini dalam konteks pembinaan moral, bukan pembatasan legal absolut. Artinya, ayat ini adalah peringatan sosial untuk tidak menghalalkan pernikahan dengan pezina selama belum ada pertobatan, bukan larangan permanen setelah tobat dilakukan. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri menikahkan pezina yang telah bertaubat, sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai hadis sahih. Maka ayat ini, dalam kaca mata ushul fikih, mengalami takhṣīṣ oleh sunnah Nabi. Hukum yang awalnya tampak umum, dibatasi cakupannya dengan petunjuk yang lebih spesifik.

Lebih jauh, Wahbah al-Zuḥaylī mengingatkan bahwa tafsir literal yang tidak mengenal takhṣīṣ seringkali justru melahirkan ketidakadilan sosial, terlebih ketika digunakan sebagai alat menghakimi masa lalu seseorang. Dalam dunia fikih, ‘ām bukan berarti “berlaku selamanya dalam semua kondisi”, ia selalu terbuka untuk koreksi, pengecualian, dan pelunakan berdasarkan maqāṣid dan konteks.

Namun sayangnya, sebagian masyarakat hari ini justru memperlakukan ayat ini secara fatalistik: seseorang yang pernah berzina dianggap tak layak menikah dengan orang baik, seolah Al-Qur’an telah memutuskan jodohnya secara pasti. Di sinilah problemnya. Ayat yang semula dimaksudkan untuk menjaga tatanan masyarakat dan mendorong taubat, justru dijadikan sebagai senjata untuk mempermalukan dan mengunci seseorang dalam dosa yang telah ia tinggalkan.

Kita perlu sadar bahwa Islam bukan agama yang menghukum masa lalu. Ia adalah agama yang membuka jalan kembali, memulihkan martabat, dan mengakui transformasi. Jika taubat telah dilakukan, maka pintu kehidupan baru pun terbuka lebar. Menjadikan QS. al-Nūr: 3 sebagai dasar mutlak untuk menolak seseorang atas dasar sejarah seksualnya, adalah bentuk pembacaan yang tidak adil, baik terhadap teks, maupun terhadap jiwa manusia.

Maka mari kita tinggikan standar berpikir kita. Jangan jadikan Al-Qur’an sebagai alat stigmatisasi, tetapi sebagai cahaya yang menuntun perubahan. Jangan biarkan satu ayat yang disalahpahami menenggelamkan semangat keadilan, kasih sayang, dan rahmah yang menjadi jantung syariah.

0 Response to "Pezina Hanya untuk Pezina? Memahami QS. al-Nūr: 3 dalam Lensa Usul Fikih"

Post a Comment