/

Mewaspadai Romantisasi Kematian

Di banyak ruang duka hari ini, obituari bukan lagi tentang kehidupan yang telah dijalani, melainkan tentang kematian yang “dianggap” mulia. Wafat di hari Jumat, di bulan haram, di masjid, saat khutbah, dalam keadaan safar--dan dari sana segera disimpulkan: “Itu tanda bahwa ia mulia di sisi Tuhan.”

Narasi seperti ini memang terdengar manis, menghibur, dan mudah dipercaya. Tapi ada satu hal yang sering luput dari perhitungan kita: substansi hidup itu sendiri. Kita terlalu sibuk mengagumi momen kematian, sampai lupa bertanya: bagaimana hidup yang telah dijalani? Apakah ia adil pada sesama? Apakah ia jujur dalam pikir dan laku? Apakah ia hadir saat suara keadilan dibungkam, atau justru memilih aman dalam diam?

Padahal, Tuhan--sepanjang yang bisa kita baca dari wahyu dan sejarah--tidak pernah menetapkan hari wafat sebagai jaminan kemuliaan. Ia lebih sering memuji kejujuran yang sunyi, kesabaran yang panjang, keberanian yang mahal, dan ketekunan yang tidak terlihat kamera, bukan waktu, tempat, atau suasana tertentu saat nafas terakhir berhenti.

Bahkan, sejarah Islam mencatat bahwa banyak tokoh paling agung justru wafat dalam keadaan yang jauh dari simbol kemuliaan sebagaimana yang sering kita angankan. Umar wafat ditikam saat sedang memimpin shalat, Utsman dibunuh di rumahnya sendiri saat sedang membaca mushaf, dan Ali wafat dalam darah ketika sedang sujud.

Husein, cucu Rasul, gugur di Karbala tanpa sempat dishalatkan oleh kaumnya sendiri--bukan di hari Jumat, bukan di masjid, dan tidak dalam suasana yang kita sebut "husnul khatimah" secara simbolik. Ibn Taymiyyah wafat di dalam penjara setelah bertahun-tahun dizalimi karena pandangannya. Al-Ghazali mengakhiri hidupnya dalam kesunyian, nyaris dalam pengasingan intelektual. Rabiah, sufi perempuan agung itu, wafat dalam kesendirian yang tak pernah dirayakan dengan spanduk ataupun gelar.

Mereka semua meninggalkan dunia bukan dalam balutan waktu-waktu istimewa yang sering kita agung-agungkan, melainkan dalam terang kualitas hidup yang mereka jalani: berani, jujur, berserah, dan utuh. Dan karena itulah, mereka dikenang.

Kita perlu berhati-hati. Jangan sampai kita lebih terpikat pada cara seseorang wafat, daripada cara ia menjalani hidup. Karena hidup yang benar tidak selalu ditutup oleh waktu yang baik. Dan yang wafat di waktu yang baik, belum tentu hidupnya benar.

0 Response to "Mewaspadai Romantisasi Kematian"

Post a Comment