/ -->
بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Makalah Kaidah Fiqih Ghairu Asasiyah Muttafaq 'Alaihi

Kaidah-Kaidah Ghairu Asasiyah Muttafaq ‘Alaihi

TUGAS MANDIRI                                                                  DOSENPEMBIMBNG

Qawaid Fiqhiyyah                                                                    Drs, JOHARI, M. Ag            


Kaidah-Kaidah Ghairu Asasiyah Muttafaq ‘Alaihi (1-20 Kaidah)

Disusun oleh:  ADI HARMANTO



JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2015


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di nash.

Adapun manfaatnya adalah memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian hukum.

Para ulama fiqh mengklasifikasikan kaidah-kaidah tersebut kepada kaidah fiqh asasiyah dan kaidah fiqh ghairu asasiyah yang terdiri dari muttafaq ‘alaih dan mukhtalaf.

Dalam makalah ini akan dikupas tentang dua puluh kaidah, walaupun kaidah ini kududukannya bukan ksebagai kaidah asasiah namun kedudukannya sangat penting dalam hukum Islam, dan para fuqahapun telah sepakat tentang kehujahan ini. Karena dengan berpijak kepada empat puluh kaedah ini akan dapat menentukan berbagai macam hukum yang tidak terhingga, dan tentu saja kaidah tersebut tidak lepas dari sumber-sumber hukum Islam, karena itulan kaedah ini disebut sebagai juga ‘‘kaedah kulliah’’.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja kaidah-kaidah yang muttafaq tersebut?
2.      Serta bagaimana contoh-contohnya?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kaidah-Kaidah Ghairu Asasiyah Muttafaq ‘Alaihi
(في قواعد كلية يتخرج عليها مالا ينحصر من الصور الجزئيه)

Apabila kita perhatikan kaidah-kaidah cabang dari lima kaidah asasi yang telah disebutkan, sesungguhnya kaidah tersebut apabila kita pisahkan dari kaidah yang lima, maka kaidah tersebut bisa pula dimasukkan ke dalam kaidah-kaidah fikih yang umum, karena meliputi berbagai cabang ilmu fikih.[1]

Di bawah ini diuraikan kaidah-kaidah fikih yang terdapat di dalam kitab-kitab kaidah yang dianggap mencakup pula kepada berbagai bidang fikih, antara lain:[2]

1.     الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
2.     الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
3.     اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
4.     التابع تابع
5.     تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
6.     الحدود تسقط بالشبهات
7.     الحريم له حكم ما هو حريم له
8.     اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
9.     اعمال الكلام اولى من اهماله
10. الخرج بالضمان
11. الخروج من الخلاف مستحب
12. الدفع اقو ى من الرفع
13. الرخص لاتناط بالمعاصى
14. الرخص لاتناط بالشك
15. الرضى بالشئ رضى بما بتولد منه
16. السؤال معاد فى الجواب
17. لا ينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحاجة الى البيان بيان
18. الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من المتعلقة بمكانها
19. الواجب لايترك الا لواجب
20. ماحرم استعماله حرم اتخاذه



B.     Kaidah Yang Pertama
الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد

“Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”

الإجتهاد لغة : مطلق بذل الوسع واصطلاحا : بذل المجهود في تحصيل المقصود ثم ان وافق ما عند الله تعالى فهو صواب و الا فخطآ مأجور عليه.[3]

Maksud kaidah ini adalah suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak berubah karna ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama. Hasil ijtihad yang masih tetap berlaku pada masa itu, dan hasil ijtihad yang sekarang berlaku pada masa sekarang,[4] seperti dikatakan oleh Umar bin Khattab:

ذاك على ما قضينا وهذا على ما نقض[5]

“Itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
انه ليس الاجتهاد الثاني بأقوى من الأول فإنه يؤد إلى انه لايستقر حكم وفي ذلك مشقة شديدة.[6]

Alasannya adalah hasil ijtihad yang kedua tidak berarti lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang pertama harus dibatalkan yang kedua maka akan menimbulkan ketidakadilan hukum.[7]
Contohnya:
Pertama,
Seorang hakim dalam ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan ta’zir dengan hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain dari si hakim yang berbeda dengan pertimbangan pada pelaku yang pertama. Jadi bukan keadilannya yang berbeda, tetapi pertimbangan keadaan dan hukumnya berbeda, maka hasil ijtihad nya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi.[8]

Catatan:
Pemakalah kutip dari syair kaidah fiqhiyyah:
خاتمة وينقض القضاء في   مواضع فانقضه إن يخالف
للنص آو إجماع آو قياس   غير خفي عند كل الناس
آو خالف القواعد الكلية   عن القرافي هذه هحكية
او كان ما حكم لا دليل له عليه فالسبكي ايضا نقله
قال وما خالف شرط من وقف      مخالف للنص عند من عرف
وخلف ما عليه قول الأربعة كالخلف للإجماع فانقض مشرعه[9]

Keterangan syair:  
Keputusan qadli, hakim boleh dibatalkan jika bertentangan nash atau ijma’ atau qiyas jali, kaidah kulliyah, atau hukum itu sama sekali tidak memiliki dasar. As subky mengatakan, bahwa menyalahi syarat dari orang yang mewakafkan sama halnya dengan menyalahi nash. Dan yang menyalahi madzhab arba’ah itu sama dengan menyalahi ijma’.

Menurut As-Subky, bisa dibatalkannya keputusan dari hakim, jika benar-benar nyata kesalahannya. Kesalahan itu bisa jadi bersumber dari hakim sendiri atau karena ada sebab eksternal, seperti bukti-bukti yang palsu.
Kedua,

كمن اجتهد في القبلة ثم تغير ظنه فأعاد الاجتهاد فلا ينقض ما فعله بالأول ولو في صلاة واحدة[10]       

Beberapa kasus fiqh yang keluar dari kaidah ini, adalah:
1.      seorang imam dan kebijakan-kebijakannya dalam harga BBM, misal,  maka bagi imam selanjutnya boleh menggantinya dengan menaikkan atau menurunkan harga BBM, karena yang menjadi patokan dalam kebijakan seorang imam adalah maslahah ‘ammah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab fathul jawaad.
2.      ketika ada kesalahan dalam pembagian hasil di antara sekutu, maka yang boleh merubah hasil pembagiannya, karena yang membagi (al qosim) menggunakan ijtihadnya sendiri dalam pembagian.
3.      harga yang sudah dipatok, lantas ada nilai tambah atau minus, maka harga yang pertama bisa diubah, namun menurut as-suyuti kasus ini masuk dalam ranah ijtihad yang diubah dengan nash bukan dengan ijtihad (naqd ijtihad bi an nash la bi al ijtihad).
4.      jika ada A mengakui bahwa rumah B, misal, adalah rumahnya dengan membawa bukti, kemudian diputuskan bahwa rumah itu adalah milik orang  A, keputusan ini diambil karena tidak ada hujjah dari B.  hanya saja, menurut Ibn Hajar, kasus ini tidak masuk dalam kaidah al ijtijad la yunqadu bi al ijtihad, karena hukum diputuskan berdasar pada tidak adanya sangkalan, jika ada sangkalan dari B, maka rumah tadi tetap milik B.[11]

A.    Kaidah Yang Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفي غيرها محبوب

“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”.

Makna kaidah:

Itsar adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Kebalikannya adalah atsaroh yang bermakna mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain. Itsar ada dua macam:
Pertama: Itsar dalam perkara duniawi
Ini adalah perkara yang sangat dianjurkan bagi ummat Islam. Allah azza wa jalla sangat menyenangi dan mencintainya. Perhatikan firman Allah ta’ala:

”Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin);dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”( Al-Hasyr: 9)

Itsar inilah yang tercatat dengan tinta emas dalam perjalanan hidup para sahabat radliyallahu’anhum.[12]

”Dari Umar bin Khottob radliyallahu’anhu berkata: ’Suatu hari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk bershodaqoh, dan saat itu saya memiliki harta. Saya pun bergumam: ’Hari ini saya akan mengalahkan Abu Bakar, saya akan sedekahkan separuh hartaku, ’Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ’Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu wahai Umar?’ Umar radliyallahu’anhu menjawab: ’Separuhnya lagi’. Ternyata datanglah Abu Bakar radliyallahu’anhu membawa semua hartanya, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: ’Lalu apa yang engkau sisakan untuk keluargamu’. Maka Abu Bakar menjawab: ’Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya’” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Tahqiq Misykah: 6021).[13]

Dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu berkata: Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seraya berkata: ’Wahai Rasulullah, saya sangat lemah’. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menanyakan kepada para istrinya, ternyata tidak ada makanan apa pun di rumah. Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ’Tidak adakah seseorang yang mau menjamu tamu malam ini, semoga Allah merahmatinya’. Maka salah satu sahabat anshor berkata: ’Saya wahai Rasulullah’. Lalu dia pulang menemui istrinya dan berkata: ’Ini adalah tamunya rasulullah, jangan sembunyikan makanan apapun’. Istrinya menjawab: ’Kita tidak punya makanan apapun kecuali makanan untuk anak--anak’. Dia pun bilang: ’Jika anak-anak ingin makan malam, maka tidurkanlah mereka, lalu matikan lampu dan malam ini biarlah kita lapar’. Istrinya itu mengerjakan perintah suaminya. Keesokan harinya sahabat anshor tadi datang kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda: ’Sesungguhnya Allah heran (atau tertawa) terhadap perbuatan fulan dan fulanah’. Lalu Allah menurunkan firman-Nya (yang di atas), QS. Al-Hasyr: 9” (HR. Bukhori).[14]

Kedua: Itsar dalam perkara ibadah

قال الشيخ عز الدين: لاإيثار في القربات فلا ايثار بماء الطهارة ولا بستر العورة ولا بالصف الآول,لأن الغرض بالعبادات التعظيم والإجلال . فمن اثر به فقد ترك إجلال الإله وتعظيمه[15]

Keterangan:
Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu yang dibenci, karena masing-masing orang diperintahkan untuk mengagungkan Allah ta’ala. Oleh karenanya jika dia tidak melakukannya dan hanya melimpahkan pada orang lain adalah termasuk tindakan kurang adab kepada Allah azza wa jalla.
Dari keterangan diatas, dapat diambil beberapa contoh, antara lain:
1.         Kalau si Zaid mempunyai air hanya cukup untuk wudlu satu orang, sedangkan saat itu dia membutuhkan wudlu, juga temannya yang saat itu sedang bersama dia, maka kewajiban Zaid adalah menggunakan air itu untuk berwudlu dan biarkanlah temannya itu bertayammum. Tidak boleh bagi Zaid untuk mempersilahkan temannya wudlu sedangkan dirinya sendiri bertayammum.
2.         Kalau ada seseorang yang hanya mempunyai satu pakaian yang menutup aurot dan saat itu datang waktu sholat, sedangkan dia punya saudara yang tidak punya pakaian yang menutup aurot, maka kewajiban yang punya tadi untuk sholat terlebih dahulu menggunakan pakaian tersebut baru kemudian nantinya dia pinjamkan kepada saudaranya. Dan tidak boleh baginya untuk mendahulukan saudaranya tersebut dalam perkara ibadah.
3.         Kalau ada seseorang yang berada di shof pertama, maka dia tidak boleh mundur ke shof kedua untuk mempersilahkan orang lain menempati posisinya.

C.     Kaidah Yang Ketiga

اذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام

“ketika ada halal bercampur dengan haram, maka menjadi haram”

اصل القاعدة ما اوردته جماعة حديثا ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال.[16]

قال السيوطى من فروعها ما اذا اورد دليلان احدهما يقتضى الحل ولاخر التحريم فيغلب التحريم

وقال السيوطى ومنها تعارض لك منها ما فوق الازر. وحديث اصنعو كل شيئ الا النكاح فالأول يقتضى تحريم ما بين السرة والركبة والثاني يقتضى حله فيرجح التحريم احتياطا.[17]



Keterangan:

Kaidah ini berasal dari sebuah hadits yang berbunyi:

ما اجتمع الحلال و الحرام الا غلب الحرام الحلال

Tidak berkumpul yang halal dan yang haram kecuali yang haram mengalahkan yang halal.

As-Suyuthi mengatakan:

ما اذا اورد دليلان احدهما يقتضى الحل ولاخر التحريم فيغلب التحريم

Ketika ada dua dalil, yang satu mengarah pada halal dan yang lain mengarah pada haram, maka yang didahulukan adalah yang haram.

Contoh, sebuah hadits yang berbunyi:

لك من الحائض ما فوق الازار

“Kau bisa melakukan apa saja pada (istri yang) sedang haid sebatas di atas sarung.

Dan hadits lain yang berbunyi

اصنعوا كل شيئ الا النكاح

“lakukan semua hal kecuali nikah (bersetubuh)”

Hadits yang pertama menunjukkan keharaman antara pusar dan lutut, sedangkan hadits yang kedua menunjukkan kebolehan antara pusar dan lutut, kecuali jima’. Maka yang diunggulkan adalah yang pertama, haram, karena lebih hati-hati, ihtiyathan.

Contoh lain, kalau daging yang bisa dimakan bercampur dengan bangkai, maka semuanya tidak  boleh dimakan.

Beberapa kasus yang keluar dari kaidah ini adalah.[18]

1.      jika ada dua wadah air, yang salah satuya najis, dan yang satu suci, maka boleh menggunakan salah satunya.

2.      bermuamalah dengan orang yang kebanyakan hartanya adalah haram, maka hukumnya tidak haram, hanya saja hukumnya makruh, selagi tidak diketahui harta yang haram tersebut. Begitu juga menerima permberian pengasa yang kabanyakan hartanya adalah hasil korupsi. Hanya saja kalau di indonesia, kita akan terkena pasal pencucian uang.

3.      akad tafriq as sufqah. Satu akad akan tetapi di dalamnya ada dua akad yang halal dan haram. Kebenyakan ahli fiqh membaginya dalam dua pendapat, sah akad model ini jika yang diakadi adalah barang halal, dan haram jika barangnya haram. Contoh, orang yang menjual paket yang di dalamnya ada air mineral dan minuman keras, maka yang sah adalah akad yang air mineral, sedangkan untuk minuman kerasnya hukumnya batal akadnya.[19]



D.    Kaidah Yang Keempat

التابع التابع

“Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti”

Pengikut itu adalah mengikut, Artinya sesuatu yang mengikuti kepada yang lain, maka hukumnya adalah hukum yang diikuti. Maksud dari التابع adalah:

ما لا يوجد مستقلا بنفسه, بل وجوده  تابع لوجود غيره

            “Sesuatu yang tidak ada dengan sendirinya, tetapi adanya itu mengikuti  karena adanya yang lain. Hal ini tidak akan terpisahnya antara hukum yang mengikuti dengan hukum yang diikutinya”[20]

Cabang-cabang kaidah:

Pertama,

التابع لا يفرد بالحكم , لأنه جعل تبعا

ومن فروعه: الحمل يدخل في بيع لآم تبعا لها فلا يفرد بالبيع

ومنها الدود المتولد في الطعام يجوز اكله.[21]

Keterangan:

Hal ini karena hukum yang ada pada yang diikuti berlaku juga untuk yang mengikuti.

Contohnya:

Jual beli binatang yang sedang bunting. Anak yang ada di dalam kandungannya termasuk ke dalam akad jual beli.

Jual beli tanah, tanaman apapun yang ada di atasnya termasuk yang terjual. Kecuali bila diadakan transaksi tersendiri.

Ulat yang ada di dalam jengkol atau dalam buah-buahan, boleh dimakan asal tidak dipisahkan atau tidak sendirian.

Kedua,

التابع يسقط بسقوط المتبوع

ومن فروعه: من فاتته صلاة فى ايام الجنون لا يستحب قضاء رواتبها, لآن الفرض سقط فكذا تابعه

ومنها من فاته الحج فتحلل باالطواف والسعى والحلق لا يتحلل بالرمى والمبيت, لآنها من توابع الوقوف وقد سقط فيسقط التابع.[22]

Keterangan:

Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum yang mengikutinya.

Contohnya:

Orang gila tidak berkewajiban shalat fardlu. Karena itu tidak juga disunahkan shalat sunah rowatib. Kewajiban shalat fardlu (matbu’) telah gugur dengan sendirinya shalat sunah (tabi’) menjadi gugur pula.

Terlambat wuquf di padang Arafah, maka orang harus tahallul dengan mengerjakan thawaf, sa’i dan mencukur. Bukan tahallul dengan melempar jumrah dan mabit adalah pekerjaan yang mengikuti wuquf.

Karena adanya sebab-sebab tertentu sakit atau luka misalnya, orang tidak boleh membasuh muka saat berwudhu, oleh sebab itu ia tidak disunatkan lagi membasuh bagian muka lainnya yang tidak luka semata-mata untuk mencapai kesempurnaan wudhu (ghuurrah) karena membasuh muka telah gugur. Gugur pula membasuh bagian-bagian yang berdekatan dengan muka itu.

Ketiga,

التابع لا يتقدم على المتبوع

ومن فروعه: لايصح تقدم المأموم على امامه فىىىى الموقف ولا فى تكبيرة لإحرام والسلام ولا فى سائر الافعال فى وجه.[23]

Keterangan:

“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti. Jadi yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.”

Contohnya:

Makmum tidak boleh  mendahului imam baik tempat berdirinya, tahbiratul ihram maupun salamnya. Begitu juga gerakan-gerakan imam pada waktu ruku’ dan bangun dari padanya, pada waktu sujud dan bangkit dari padanya, makmum tidak boleh mendahului.

Keempat,

يغتفر فى التوابع ما لا يغتفر فى غيرها

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lain”

Contohnya:

mewakafkan sebidang kebun dan tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah, karena yang rusak itu adalah tanaman yang mengikuti kebun, bukan kebunnya sendiri. Kebun adalah yang diikuti karena wakafnya adalah wakaf kebun, bukan tanaman, meskipun tanaman termasuk yang diwakafkan karena ia mengikuti kebun yang diwakafkan.[24]





E.     Kaidah Yang Kelima

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

هذه القاعدة نص عليها الشافعى وقال "منزلة الإمام من الرعية منزلة الولى من اليتيم"

قلت : واصل ذلك مااخرجه سعيد بن منصور فى سننه. قال حدثنا ابو الآحوص عن ابى اسحاق عن البراء بن عازب قال: قال عمر رضى الله عنه "إنى انزلت نفسى من مال الله بمنزلة ولى اليتيم ان احتجت اخذت منه فإذا أيسرت رددته فإن استغنيت استعففت"

ومن فروع ذالك : انه اذا قسم الزكاة على الأصناف يحرم عليه التفضيل مع تساوى الحاجات.[25]

Keterangan:

“Tasharruf  (tindakan) imam terhadap  rakyat harus dihubungkan dengan kepentingan  umum  bukan  untuk  golongan  atau untuk  diri sendiri. Penguasa adalah  pengayom dan pengemban  kesengsaraan  umat.”

Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i:

منز لة  الإمام  من الرعية منزلة الولى من اليتيم

“Kedudukan Imam terhadap  rakyat adalah  seperti  kedudukan wali  terhadap  anak yatim”.

Menurut beliau, fatwanya adalah  berasal dari fatwa Umar  bin Khattab RA yang diriwayatkan  oleh Sa’id  bin Mansur dari Abu Ahwash  dari Abi Ishaq dari Barro’ bin  ‘Azib:

إنى انزلت نفسى من مال الله منزلة ولى اليتيم إن احتجت أخذت منه وإذا أيسرت رددته وإذا استغنيت استعفف

“Sungguh aku menempatkan  diriku terhadap  harta Allah  seperti  kedudukan wali  terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil dari padanya, dan  apabila  ada  sisa  aku kembalikan. Dan apabila  aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya (menahan diri dari padanya)”.

Contohnya:

Pembagian zakat terhadap delapan  golongan (asnaf tsamaniyah) oleh petugas ‘amil  tidak boleh  dilebihkan yang satu di atas yang lain dalam kondisi yang sama kepentingannya

Secara  umum  sesungguhnya  kaidah  ini  sudah  termasuk  dalam  kandungan  Hadits Nabi SAW:

كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيت

“Masing-masing  dari kamu  adalah penggembala, dan tiap-tiap penggembala  dimintai pertanggung  jawaban  atas  penggembalaannya”.[26]

F.      Kaidah Yang Keenam

الحدود تسقط باالشبهات

فأخرجه الحاكم والترمذى والبيهقى من حديث عائشه ادرؤوا الحدود باالشبهات عن المسلمين وما استطعتم فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله فإن الإمام لأن يخطئ فى العفو خير من ان يخطئ فى العقوبة.

مثال من وطئ امراة يظنها حليلته.

كذا قاله السيوطى تبعا للزركشى وفرعا عليه مالو جامع ناسيا فى الصوم والحج فلا كفارة انتهى وكذا من وطئ على الظن أن الشمس قد غربت فإنه يفطر ولا كفارة.[27]

Keterangan:

“Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat”

Kaidah ini berasal dari sabda Nabi, sebagaimana sudah disebut diatas, yang maksudnya:

“Hindarkanlah hukuman-hukuman dari kaum muslimin sedapat-dapatmu, apabila kamu sekalian mendapatkan jalan keluar bagi orang-orang muslim (agar terhindar dari had) maka berikanlah jalannya, karena sesungguhnya imam (hakim) salah dalam rangka memberi maaf itu lebih baik dari pada salah dalam rangka memberikan hukuman”.

Contohnya:

Orang melakukan persetubuhan atau jimak pada waktu puasa Ramadhan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.

Demikian pula misalnya karena beranggapan sudah terbenam matahari, tetapi ternyata belum.

G.    Kaidah Yang Ketujuh

الحريم له حكم ما هو حريم له

“Hukum untuk menjaga sesuatu sama dengan yang dijaga”

Kaidah ini berhubungan dengan kehati-hatian untuk menjaga hal-hal yang syubhat agar tidak terjatuh kepada yang haram.

Al-harim ini bisa masuk kepada wajib, haram, maupun yang makruh. Al-harim juga masuk kepada wajib meliputi masalah-masalah yang kepada kaidah: Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajibun” seperti membasuh tangan melampaui siku, atau membasuh kaki melampaui mata kaki atau mengusap sebagian kepala dalam berwudhu. Dengan Al-harim yang berhubungan dengan yang haram, seperti dilarang berdagang di halaman atau emper masjid sebab dianggap masjid, yaitu bagian bangunan yang berhubungan dengan masjid.[28]

H.    Kaidah Yang Kedelapan

اذا اجتمع امران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الآخر غالبا

فمن فروع: إذا اجتمع حدث وجنابة كفى الغسل على المذهب كما لو اجتمع جنابة وحيض.[29]

كواجبين كغسل الحيض والنفاس او مندوبين كغسل العيد مع الجمعة.[30]

Keterangan:

Kaidah ini memiliki arti“apabila dua perkara dari satu jenis berkumpul dan maksud keduanya tidak berlainan, maka salah satunya masuk pada yang lain”.

Contohnya:

Apabila berkumpul antara bersuci karena haid dan bersuci karna ada hadas besar, maka cukup dengan sekali mandi. Demikian pula menurut sebagian mazhab, bersuci karena hadas besar dengan bersuci karena hadas kecil, dicukupkan dengan mandi junub. Demikian pula apabila berkumpul waktu Id dengan Jumat, cukup sekali mandi, sunnah untuk keduanya.[31]

I.       Kaidah Yang Kesembilan

اعمال الكلام اولى من اهماله

“Penerapan kalimat lebih utama daripada pengabaiannya”

Kaidah ini berarti bahwa apabila sulit menghadirkan makna hakiki dari suatu ungkapan linguistik, maka ia dapat diartikan menurut makna metafora (majaz).[32]

Contohnya:

Saya tidak akan memakan buah dari pohon kurma ini atau tepung ini, maka ia berarti melanggar sumpah jika sampai memakan buah dan apa-apa yang dihasilkan pohon kurma tersebut. Ia juga dinilai melanggar sumpahnya jika memakan roti (yang terbuat dari tepung). Hal tersebut dikarenakan sulit membawa makna hakikinya, sebab bagaimanapun juga kurma itu sendiri tidak dapat dimakan demikian pula dengan tepung kecuali setelah menjadi buah atau diolah menjadi roti.[33]

J.       Kaidah Yang Kesepuluh

الخراج بالضمان

هو حديث صحيح اخرجه الشافعى واحمد وابو داود والترمذى والنسائ وابن ماجه وابن حبان من حديث عائشة وفى طرقه ذكر السبب "ان رجلا ابتاع عبدا فأقام عنده ماشاء الله ان يقيم ثم وجد فيه عيبا, فخاصمه الى النبى ص م فرده عليه. فقال الرجل : يارسولالله قد استعمل غلامى, فقال : الخراج باالضمان"

قال ابو عبيد : الخراج فى هذا الحديث غلة العبد يشتريه الرجل فيستغله زمانا ثم يعثر منه على عيب دلسه البائع فيرده وياخذ جميع الثمن. ويفوز بغلته كلها, لأنه كان فى ضمانه. ولو هلك هلك من ماله انتهى[34]

Keterangan:

    “Bahwa seorang laki-laki menjual seorang budak, maka budak itu bermukmim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada Nabi SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki menjual. Maka berkatakanlah laki-laki itu: “Wahai Rasulullah, ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda: “Hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”

Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud denganالخراج  pada hadits di atas adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli oleh seseorang yang kemudian menyuruh agar hamba itu bekerja untuk waktu tertentu. Setelah diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual, kemudian ia kembalikan pada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang sesuai harganya dan ia telah mendapatkan keuntungannya dengan memeperkerjakan hamba itu karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan bila ada kerugian maka ia yang rugi.

Pengertian yang tersirat dalam kaidah ini adalah bahwa jika sesuatu berada dalam jaminan atau tanggungan seseorang, maka hasil yang dikeluarkan merupakan hak orang tersebut selama berada dalam tanggungannya. Namun dengan syarat bahwa jaminan atau tanggungan tersebut harus masuk dalam kepemilikan. Inilah kesepakatan para ulama.[35]





Contoh lain:

Seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.[36]

K.    Kaidah Yang Kesebelas

الخروج منالخلاف مستحب

“keluar dari pertentangan itu diutamakan”

Contohya:

membasuh atau mengusap sebagian rambut kepala dalam berwudu. Bagi Imam Syafi’I cukup mengusap sebagian kecil, sedang Imam Abu Hanifah memberi batasan minimal sepertiga rambut kepala, sedangkan Imam Malik mengharuskan keseluruhannya. Agar tidak terjadi kekhilafan maka terbaik mengikuti Imam Malik, karena itu berarti mengikuti pula pendapat Imam Syafi’I dan Imam Abu  Hanifah. Lagi pula kedua imam tersebut memberi hukum sunnat terhadap pengusapan keseluruhan.[37]

L.     Kaidah Yang Keduabelas

الدفع من الرفع اقوى

“menolak gugatan lebih kuat dari pada menggugat”

Contohnya:

untuk menjadi pemimpin memerlukan persyaratan-persyaratan. Maka lebih mudah menolak calon-calon yang tidak memenuhi syarat daripada menggugat pemimpin yang sudah diangkat.[38]

M.   Kaidah Yang Ketigabelas

الرخص لا تناط بالمعاص

لا يستبيح العاص بسفره شيئا من رخص السفر من القصر والجمع والفطر والمسح ثلاثا والتنفل على الراخلة وترك الجمعة واكل الميتة وكذا التيمم الخ.[39]

Keterangan:

“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Kaidah ini digunakan untuk menjaga keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging tersebut.[40]

Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk kasbu al-halal (usaha yang halal), kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecualii yang diharamkan , maka memakannya dibolehkan.[41]

N.    Kaidah Yang Keempatbelas

الرخص لا تناط باالشك

“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan keragu-raguan”

Contohnya:

seseorang ragu seberapa jauh jarak yang dia tempuh dalam perjalanan, maka kondisi seperti ini ia tidak boleh menjamak atau mengqashar sholat.

O.    Kaidah Yang Kelimabelas

الرضى باالشئ رضا بما يتولد منه

“Ridha atas sesuatu berarti ridha pula dengan akibat yang muncul dari sesuatu tersebut”

Maksudnya, apabila orang telah ridha terhadap sesuatu, maka dia ridah menanggung resiko akibat dari hal tersebut.[42]

Contohnya:

Seseorang telah ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka dia juga harus ridha, apabila rumah itu runtuh. Apabila telah ridha menikahkan anak, maka harus ridha pula dengan akibatnya. Apabila ridha beragama Islam. Maka harus melakukan kewajibannya.[43]

P.      Kaidah Yang Keenambelas

السؤال معاد فى الجواب

“Pertanyaan itu terulang dalam jawaban”

Arti kaidah

Kaidah ini terdiri dari tiga kata pokok, yaitu السؤال yang artinya pertanyaan, معاد yang artinya terulang, serta الجواب yang mempunyai arti jawaban, jadi Arti dari kaidah ini adalah “pertanyaan itu terulang dalam jawaban”

Penjelasan kaidah

Apabila sebuah jawaban itu dengan lafadz yang singkat seperti “ya atau tidak” atau lainnya setelah sebuah pertanyaan yang panjang dan terperinci, maka seakan-akanpertanyaan itu terulang dalam jawaban tersebut. Dan tidak boleh bagi orang yang diberikan pertanyaan untuk meniatkan sesuatu yang lainnya selain pertanyaan tersebut[44].

Contohnya:

kalau ada seseorang yang bertanya : apakah kamu mengambil uang si fulan? Lalu dia menjawab: “ya.” Maka jawaban ini berarti; “ya, saya mengambil uang si fulan.” jadi ketika seseorang ditanya dengan pertanyan yang panjang dan banyak, maka ketika ia menjawab pertanyaan itu walau hanya dengan satu kata saja maka seakan-akan pertanyaan itu terulang atau ada dalam jawaban yang diberikannya.[45]

Q.    Kaidah Yang Ketujuhbelas

لاينسب الى ساكت قول ولكن السكوت فى معرض الحجاات الى البيان بيان

“Perkataan tidak bisa disandarkan kepada yang diam, tetapi sikap diam dalam hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan.”

Pernyataan ini merupakan bagian pertama dari kaidah ini, yang merupakan pernyataan dari imam Syafi’I Rahimahullah. makna kaidah ini adalah bahwa suatu perkataan tidak diperbolehkan untuk disandarkan kepada orang yang diam apabila dia tidak mengatakannya. Kaidah ini memiliki aplikasi yang banyak, akan kami sebutkan diantanya adalah sebagai berikut:[46]

1) Jika seseorang melihat orang asing menjual hartanya, kemudian ia diam saja, maka diamnya ini tidak dianggap memperbolehkan atau mewakilkan.

2) Jika seseorang melihat orang lain merusak hartanya, kemudian ia diam, ini bukan berarti izin untuk merusaknya.

3) Di dalam suatu persidangan, seorang hakim tidak diperbolehkan menetapkan status hukum seseorang yang sedang diadili yang hanya diam tanpa mengakui dakwaan yang ditunjukkan kepadanya.

b) Diam dalam sesuatu yang ditawarkan merupakan pengakuan

Artinya, diam dalam hal yang diharuskan untuk berbicara merupakan pengakuan. Pengakuan ini diterima karena kondisi/ kasus yang sedang terjadi mengharuskan untuk tidak diam saja. Kaidah ini juga memiliki banyak aplikasi yang diantaranya:

1) Diamnya anak perawan ketika ditawarkan menikah dengan seorang laki-laki oleh walinya, dianggap sebagai ridho atau persetujuannya.

2) Diamnya orang yang menjadi wakil, dan orang yang dititipi, dianggap sebagai penerimaan, sela ma tidak ada penolakan secara terang-terangan.

3) Diamnya pembeli sebelum akad jualbeli ketiak penjual memberitahukan adanya aib pada barang yang akan dijualbelikan, dianggap sebagai persetujuan dari pembeia akan adanya aib tersebut.

4) Diam dalam hal sewa menyewa dianggap sebagai qabul dan persetujuan, seperti perkataan seseorang kepada orang yang menempati rumahnya,” tinggallah kamu didalamnya dengan harga sewa sekian, jika tidak keluarlah dan pindahlah dari sini,” lalu orang itu hanya diam dan tetap menempati tempat tersebut, maka dia wajib membayar uang sewa yang telah disebutkan.[47]

R.     Kaidah Yang Kedelapanbelas

الفضيلة المتعلقة بذات العبادة اولى من المتعلة بمكانها

“keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”

Contohnya:

sholat sendirian (munfarid) di lingkungan Kakbah adalah lebih utama daripada di luar lingkungan Kakbah. Akan tetapi sholat di luar lingkungan Kakbah dengan berjamaah lebih utama daripada sholat sendirian di lingkungan Kakbah, begitu pula di masjid.[48]

S.      Kaidah Yang Kesembilanbelas

الواجب لا يترك الا لواجب

“Sesuatu yang wajib hukumnya tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu yang wajib lagi.”

Contohnya:

Manusia wajib dihormati hartanya, darahnya, dan kehormatannya, kecuali apabila dia melakukan kejahatan, maka kewajiban tadi ditinggalkan karena ada kewajiban lain yaitu melaksanakan hukum, misalnya dirampas hartanya, dihukum mati, atau dipenjara.[49]

Di sini ada benturan kepentingan yaitu wajib menghormati manusia dan kedua wajib menghukum. Maka penyelesaiannya dengan menggunakan kaidah yang paling didahulukan.[50]

T.      Kaidah Yang Keduapuluh

ماحرم استعماله حرم اتخاذه

“Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”

Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya, baik dimakan, diminum, atau dipakainya, maka haram pula mendapatkannya.[51]

Contohnya:

Khamar dan barang-barang yang memabukkan seperti narkoba adalah haram, maka haram pula membuatnya, membelinya, membawanya, menyimoannya, dan harga penjualannya pun haram.[52]

Dalam hadis riwayat Ibnu Majah dn al-Turmudzi disebutkan dalam persoalan khamar ada sepuluh orang yang dikutuk, yaitu:

1.      Produsernya

2.      Distributornya

3.      Peminumnya

4.      Pembawanya

5.      Pengirimnya

6.      Penuangnya

7.      Penjualnya

8.      Pemakan harga hasilnya

9.      Pembelinya

10.  Dan pemesannya.[53]

Wallahu A’lam

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas adalah merupakan kaidah yang sangat penting untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang tidak jelas hukumnya dalam nash, dimana semua kaidah tersebut bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan dalam kehidupan manusia. Karna memang pada dasarnya tujuan syariat tersebut adalah untuk mengatur kehidupan manusia yakni menjaga jiwa, harta, agama dan sebagainya.

B.     Kritik dan Saran

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Al-Ahdali, Taqrirat Manzumah Al-Faraid Al-Bahiyyah Fi Qawaid Al-Fiqh, Lirboyo Kediri: Madrasah Hidayah Al-Mubtadiin, 2004
As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzaair, Surabaya: Al-Haramain Jaya Indonesia
Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, cetakan ke 3 Jakarta: Kencana, 2010
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grifindo Persada, 2002
Nash Farid dan Abdul Aziz, Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009
Rida, Muhyiddin. Terjemah Al-Wajiz Dr. Adul Karim Zaidan 100 kaidah fikih  dalam kehidupan sehari-hari. Jakarta: Al-Kautsar, 2008
http://gomenkop .blogspot.co.id/2015/06/kaidah.html
http://pustakafirdausy.blogspot.co.id/2012/12/kaidah-kaidah-fiqh-yang-muttafaq-alaih.html
http://santri-ppmu.blogspot.co.id/2011/11/dan.html
https://maramissetiawan.wordpress.com



[1]Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, cetakan ke 3 (Jakarta: Kencana, 2010), H. 91
[2] Ibid
[3]As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzaair, (Surabaya: Al-Haramain Jaya Indonesia), H. 134-135
[4] Djazuli, Loc. cit
[5] As-Suyuthi, Loc. cit
[6] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 75
[7] Djazuli, Op. Cit, H. 92
[8] Djazuli, Loc. cit
[9] Abu Bakar Al-Ahdali, Taqrirat Manzumah Al-Faraid Al-Bahiyyah Fi Qawaid Al-Fiqh, (Lirboyo Kediri: Madrasah Hidayah Al-Mubtadiin, 2004), H. 39-40
[10] As-Suyuthi, Loc. cit
[11] http://gomenkop.blogspot.co.id/2015/06/kaidah.html
[12] Ahmad Sabiq, kaidah Fikih: Mendahulukan Orang Lain Dalam Masalah Ibadah Dibenci,Namun Dalam Masalah Lainnya Disukai, diakses pada 15 November 2015 dari https://maramissetiawan.wordpress.com
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 85
[16] Ibid, H. 156
[17] Ibid, H. 157
[18] http://gomenkop.blogspot.co.id/2015/06/kaidah_2.html, diakses pada 15 Nov 2015
[19] Ibid
[20]Rida, Muhyiddin. Terjemah Al-Wajiz Dr. Adul Karim Zaidan 100 kaidah fikih  dalam kehidupan sehari-hari.(Jakarta: Al-Kautsar, 2008), H. 331
[21] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 86
[22] Ibid
[23] Ibid, H. 87
[24]Djazuli, Op. Cit, H. 93
[25] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 88-89
[26]Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grifindo Persada, 2002), H. 144
[27] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 189-190
[28] Djazuli, Op. Cit, H. 102
[29] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 92
[30] Ibid, h. 199
[31] Djazuli, Op. Cit, H. 94
[32] Nash Farid dan Abdul Aziz, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 23
[33] Ibid
[34] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 99
[35] Nash Farid dan Abdul Aziz, Op. Cit, h. 25
[36]http://pustakafirdausy.blogspot.co.id/2012/12/kaidah-kaidah-fiqh-yang-muttafaq-alaih.html, diakese pada 15 Nov 2015
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] As-Suyuthi, Op. Cit, H. 101
[40] Djazuli, Op. Cit, H. 63
[41] Ibid
[42] Ibid, h. 94
[43] Ibid
[44] http://santri-ppmu.blogspot.co.id/2011/11/dan.html, diakses pada 15 Nov 2015
[45] Ibid
[46] Ibid
[47] Ibid
[48]http://pustakafirdausy.blogspot.co.id/2012/12/kaidah-kaidah-fiqh-yang-muttafaq-alaih.html, diakses pada 15 Nov 2015
[49] Djazuli, Op. Cit, H. 95
[50] Ibid
[51] Ibid, h. 96
[52] ibid
[53] Ibid

0 Response to "Makalah Kaidah Fiqih Ghairu Asasiyah Muttafaq 'Alaihi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel