Merdeka dari Kultus Tokoh: Catatan HUT RI di Tengah Isu "Perdagangan" Surga
Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan—dengan lomba-lomba, pawai bendera, dan unggahan digital yang menggugah—saya, melalui tulisan ini, memilih merayakannya secara lain: dengan menyingkap satu bentuk penjajahan yang kerap tersembunyi. Penjajahan ini tidak dilakukan oleh bangsa asing, melainkan oleh kekaguman yang membabi buta terhadap tokoh; penjajahan terhadap kebebasan berpikir, yang justru menjajah dari dalam kepala kita sendiri
Beberapa hari yang lalu, jagat media sosial diramaikan oleh
perbincangan tentang seorang tokoh agama yang disebut-sebut menjanjikan “tiket
masuk surga” dengan imbalan sejuta rupiah. Tokoh yang bersangkutan sudah
membantah tegas isu tersebut, menyebutnya tidak benar. Tetapi kehebohan ini
tetap menyisakan pertanyaan yang lebih besar daripada sekadar benar atau
salahnya tuduhan: mengapa ada begitu banyak orang yang bisa percaya begitu
saja, bahkan tanpa sempat bertanya? Mengapa kata-kata yang masuk akal secara
spiritual dan rasional bisa dikalahkan hanya karena yang bicara adalah orang
yang dianggap “punya akses istimewa” kepada Tuhan?
Kita hidup di tengah kebudayaan yang memuliakan simbol lebih
dari isi. Di ruang-ruang pendidikan, suara tokoh dianggap lebih penting
daripada dalil yang ia bawa. Di majelis-majelis dakwah, logika bisa dilipat dan
disimpan rapi hanya karena yang berbicara adalah orang bersorban, berlabel “ustadz”, bergelar “gus”, atau berstatus “habib”, dan sebagainya. Bahkan dalam debat publik, nama besar sering
menjadi pelindung dari pertanggungjawaban argumen, seolah-olah keilmuan lahir
dari keturunan atau titel, bukan dari kejujuran berpikir.
Dalam situasi seperti ini, kita lupa bahwa tradisi Islam
sesungguhnya menyimpan prinsip menilai ilmu yang sangat luhur dan radikal: unẓur
ilā mā qāla wa lā tanzur ilā man qāla (lihatlah apa yang dikatakan, bukan
siapa yang mengatakannya). Ini bukan sekadar petuah moral, tetapi prinsip dasar
yang menolak segala bentuk fanatisme terhadap figur. Dalam kalimat ini
terkandung ajakan untuk memeriksa substansi, menimbang argumen, dan
menanggalkan jubah-jubah simbolik yang bisa menutupi kecacatan nalar.
Para
imam besar seperti Malik, Syafi‘i, dan Ahmad tidak pernah merasa risih ketika
pendapatnya disanggah. Bahkan mereka mengajarkan sendiri: jika pendapat kami
bertentangan dengan dalil yang sahih, maka tinggalkanlah pendapat kami.
Dan jika para imam besar saja menunjukkan sikap demikian terbuka terhadap koreksi, maka teladan paling luhur dari kejujuran intelektual itu justru datang dari Nabi Muhammad ﷺ sendiri.
Dalam sejarah kenabian, kita menyaksikan bahwa Rasulullah—yang maksum dari dosa dan penyimpangan wahyu—pernah melakukan "ijtihad" strategis yang kemudian dikoreksi langsung oleh Allah. Dalam peristiwa Perang Badar, beliau memutuskan untuk membebaskan tawanan Quraisy dengan tebusan, berlandaskan pertimbangan kemanusiaan dan hasil musyawarah. Namun wahyu turun memberi arahan berbeda, mengingatkan bahwa keadilan profetik kadang menuntut ketegasan yang melampaui belas kasihan. Koreksi ini bukanlah celaan terhadap Rasul, melainkan pelajaran agung: bahwa dalam Islam, kebenaran bukan monopoli siapa pun, ia selalu meniscayakan keterbukaan pada "verifikasi". Dan jika "ijtihad" Nabi saja bisa diarahkan oleh wahyu, maka apalagi ijtihad siapa pun setelah beliau?
Namun realitas hari ini justru menunjukkan hal yang berlawanan. Banyak yang lebih hafal perintah ustadz ketimbang memahami makna ayat. Lebih cepat mengutip tokoh daripada menguji dasar argumennya. Bahkan menganggap membantah pendapat sebagai bentuk penghinaan, seolah ketidaksepakatan adalah dosa besar. Dalam iklim seperti ini, tokoh agama perlahan menjelma menjadi figur sakral: tak boleh dikritik, tak bisa disentuh. Yang lebih menyedihkan, sebagian dari kita justru nyaman hidup dalam suasana semacam itu, dan diam-diam menikmatinya.
Masalahnya bukan pada para tokoh, sebab banyak juga di antara mereka yang jujur, terbuka, dan rendah hati. Masalahnya ada pada kita: yang terlalu cepat mengamini, terlalu malas menimbang, dan terlalu takut untuk berbeda. Kultur kita sering mengajari meniru tanpa berpikir, menerima tanpa menyaring. Maka tak mengherankan jika surga pun bisa terlihat seperti barang dagangan, selama yang menjualnya adalah seseorang yang dianggap saleh.
Di tengah riuhnya perayaan kemerdekaan, satu bentuk kebebasan kerap luput dari wacana publik: kemerdekaan berpikir. Yakni ruang batin yang memberi setiap orang hak untuk bertanya, menggugat, dan menimbang ulang, bahkan terhadap suara yang paling dihormati. Karena mencintai ulama tidak berarti mengunci akal, dan memuliakan tokoh tidak seharusnya mematikan nalar. Justru di situlah letak cinta yang dewasa, cinta yang berani menempatkan argumen di atas aura, dan yang memilih berpihak pada kebenaran meski itu berarti tak lagi berada di barisan pengagum. Sebab jika penghormatan membuat kita buta, maka ia bukan cinta, tapi kultus yang membunuh nalar.
Namun di ujung semua itu, masih tesisa satu pertanyaan yang menggantung dan belum selesai dijawab: apakah benar kita cukup dengan melihat apa yang dikatakan (mā qāla), tanpa menengok siapa yang mengatakan (man qāla), dalam konteks apa ia berbicara, kepada siapa ia menyampaikan, dan dalam dunia seperti apa ia hidup? Apakah mungkin sebuah argumen bisa kita nilai dengan adil, tanpa menyibak dunia sosial, politik, psikologis, bahkan ideologis yang melatarinya?
Pertanyaan inilah yang insyaallah akan kita dalami dalam tulisan berikutnya dengan menyelami dunia hermeneutika: sebuah cara membaca tokoh, bukan sebagai "nabi" kecil yang suci dari sejarah, melainkan sebagai manusia yang berpikir, menafsir, dan memilih dalam pusaran ruang sosial, politik, dan ideologis yang tak selalu ia sadari sepenuhnya.
0 Response to "Merdeka dari Kultus Tokoh: Catatan HUT RI di Tengah Isu "Perdagangan" Surga"
Post a Comment