Sekilas tentang Ilmu Sharaf
وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
"Dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti"
Fragmen ayat Al-Qur'an di atas merupakan awal mula Abu Hasan Ali bin Hisyam al-Kailani mengurai ilmu Sharaf dalam sebuah karya tulisnya yang dibaca luas di kalangan santri yang kemudian dikenal akrab dengan nama kitab "Kailani".
Penulis memulai karyanya dengan menyebutkan kata تصريف bersumber dari Al-Qur'an dengan maksud memberitahukan sejak dini bahwa arah pembahasan kitab tersebut adalah ilmu صرف (Sharaf) yang merupakan derivasi dari kata تصريف.
Dalam perspektif ilmu semantik (balaghah) penyajian semacam ini dikenal dengan badi' (gaya bahasa) براعة الاستهلال yaitu sebuah seni sastra dimana pembicara (baca: penulis) menampilkan ungkapan kata pada permulaan (mukaddimah) karyanya, dimana kata tersebut kemudian menjadi kebutuhan atau maksud yang akan diterangkannya. (Akawi. tt:261).
Dalam kitab tersebut ilmu Sharaf dibagi ke dalam dua defenisi, pertama secara etimologi (لغة) yaitu التغير 'perubahan' sesuai dengan makna kalimat تصريف pada ayat ke 5 surah al-Jatsiyah yang oleh Kailani memaknainya sebagai berpindahnya angin dari suatu keadaan menuju keadaan lain dan dari satu arah ke arah lain. (Kailani. 1357:2). Kedua, secara terminologi (فى الصناعة) masih dalam kitab tersebut didefinisikan sebagai berikut:
تحويل الأصل الواحد إلى أمثلة مختلفة لمعان مقصودة لا تحصل الا بها.
"pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh (bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu.
تحويل الأصل الواحد إلى أمثلة مختلفة لمعان مقصودة لا تحصل الا بها.
"pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh (bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu.
Lantas muncul beberapa pertanyaan; apa urgensi mengetahui dan mempelajari ilmu Sharaf tersebut? Siapa yang memprakarsai hadirnya ilmu tersebut? Lalu bagaimana hukum mempelajarinya dalam perspektif Hukum Islam?
Berikut akan kita ulas satu-persatu.
"Nahwu ibarat bapaknya ilmu, sedangkan Sharaf adalah induk atau ibunya"
Analogi di atas sudah mendapat persetujuan kata 'sepakat' bagi seluruh santri maupun lapisan masyarakat lainnya yang menekuni ilmu-ilmu agama. Bagaimana tidak Sharaf yang berperan sebagai ibu dengan adanya Nahwu sebagai ayah akan melahirkan anak-anak yaitu berupa bentuk setiap kalimat, sedangkan kalimat itu menunjukkan bermacam-macam ilmu. Kalau tidak ada kalimat lafadz tentu tidak akan ada tulisan. Tanpa tulisan sukar mendapatkan ilmu.
Ilmu Nahhwu dan Sharaf merupakan ilmu yang sangat urgen untuk dipelajari, sebab jika seorang muslim tidak bisa memahami kedua ilmu ini akan sulit untuk membaca dan memahami kitab Al-Qur'an dan kitab-kitab kuning berbahasa Arab.
Tentang Pencetus pertama ilmu Sharaf.
Menentukan tokoh pertama yang memprakarsai ilmu ini para ulama memiliki pendapat yang berbeda (ikhtilaf). Muhammad Ulaisy (tt:2) mengatakan menurut kesepakatan para ulama (اتفاق) pencetus pertama ilmu Sharaf adalah seorang sahabat bernama Mu'adz bin Muslim al-Harra. Tetapi kalau menurut versi kitab al-Qanun adalah Ali bin Abi Thalib.
Terakhir, masalah hukum mempelajari ilmu Sharaf, al-Asnawi (tt:7-8) dalam kitab الكوكب الدرى menulis bahwa hukum mempelajari ilmu Sharaf itu sama dengan hukum mempelajari ilmu Nahwu yaitu fardhu kifayah (kewajiban komunal) sebab mengetahui hukum syariat adalah wajib sedangkan mengetahui hukum syariat tanpa adanya ilmu Nahwu dan Sharaf adalah sesuatu hal yang mustahil.
ومعرفة الأحكام بدون معرفة ادلتها مستحيل...
Selanjutnya, baca tentang pelajaran Nahwu bagi pemula.
ومعرفة الأحكام بدون معرفة ادلتها مستحيل...
Selanjutnya, baca tentang pelajaran Nahwu bagi pemula.
0 Response to "Sekilas tentang Ilmu Sharaf"
Post a Comment