/ -->
بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Makalah Tujuan Dan Urgensi Hukuman



TUGAS MANDIRI                                                                 DOSENPEMBIMBNG
Fiqh Jinayah                                                                          ISMARDI,H, M.Ag               


Tujuan Dan Urgensi Hukuman


LogoBaruUIN
 







Disusun oleh:

ADI HARMANTO

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2016

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur yang tidak dapat dibahasakan kami ucapkan kehadirat Allah SWT.Dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan ini dengan judul Tujuan Dan Urgensi Hukuman” Kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Ismardi, H, M.Ag selaku dosen pengajar mata kuliah Fiqih Jinayah, yang telah mengamanahkan tugas makalah untuk kami selesaikan, dan Alhamdulillah makalah yang singkat ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktunya.
Shalawat dan salam tak lupa kami hadiahkan kepada baginda Rasul Nabi Muhammad saw, semoga kita semua kelak mendapat syafaatnya. Aamiiin
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik kata, maupun dari segi tata bahasa.Sehingga kami mengharapkan kritik dan saran kawan-kawan terutama dari bapak dosen yang kami hormati untuk membangun kesempurnaan makalah ini.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Aamiiin.








Pekanbaru, Oktober 2016
Pemakalah



DAFTAR ISI







Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat tanpa ketentuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian, untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak diketahui apa tujuan dari ketentuan itu.
Lebih jauh, kita tidak dapat menghilangkan ketidaksesuaian antara ketentuan yang bertentangan kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuatan hukum. Singkatnya, adalah mutlak bagi yang mempelajari hukum Islam untuk mengetahui maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian yang memerlukan turunnya wahyu suatu ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
1.      Apa pengertian dari hukuman?
2.      Apa syarat dijatuhkannya hukuman?
3.      Apa tujuan dan urgensi dari hukuman dan bagaimana terapi sosial dari adanya hukuman?
4.      Apa asas-asas yang mengiringi tercapainya tujuan dari hukuman?
1.      Mengetahui pengertian dari hukuman.
2.      Mengetahui syarat dijatuhkannya hukuman.
3.      Mengetahui tujuan dan urgensi dari hukuman dan terapi sosial dari adanya hukuman.
4.      Mengetahui asas-asas yang mengiringi tercapainya tujuan hukuman.
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz 'uqubah menurut bahasa berasal dari kata: (عقب) yang sinonimnya: (خلفه وجاء بعقبه). Artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai “siksa dan sebagainya", atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim”.
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga di kutip oleh Mustafa Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Wirjono Prodjodikoro rnengemukakan bahwa pidana berarti yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa  dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa.[1]
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai  berikut:
1.      Hukuman Harus Ada Dasarnya Dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (Syar'iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’. seperti Alquran, As-Sunnah. Ijma’ atau undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukurnan ditetapkan oleh Ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan tentu hukuman tersebut menjadi batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
2.      Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Hukum disyariatkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban.

3.      Hukuman Harus Berlaku Umum
Selain dua syarat yang disebutkan diatas, hukuman juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya. Didepan hukum semua orang statusnya sama, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa, antara bangsawan dengan rakyat jelata.[2]
C.    Tujuan Dan Urgensi Hukuman
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari hukum syari’at Islam sebagai berikut.
1.      Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer, dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqashid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik.
2.      Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.
3.      Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuiat perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.[3]
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib).[4]
1.      Pencegahan (الردع والزجر)
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung  arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian. kegunaan pencegahan adalah rangkap. yaitu yang menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti  itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.[5]
Oleh karena perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman  adakalanya berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban, maka arti pencegahan pada keadaan pertama ialah larangan memperbuat dan arti pencegahan pada keadaan kedua ialah agar pembuat menghentikan peninggalannya terhadap kewajiban, dimana ia dijatuhi hukuman agar ia mau menjalankan kewajiban tersebut, seperti halnya terhadap orang yang meninggalkan salat atau meninggalkan zakat atau orang yang tidak mau memberikan makan kepada anaknya yang masih dibawah umur.
Boleh jadi dalam keadaan kedua tersebut hukuman yang dijatuhkan lebih berat daripada dalam keadaan pertama, karena tujuan penjatuhan hukuman pada peninggalan kewajiban ialah memaksa pembuat untuk mengerjakan kewajiban. Karena itu bisa sebentar-sebentar dijatuhi hukuman sehingga ia mau memperbuat kewajibannya.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian dapat  terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
2.      Perbaikan dan Pendidikan (الأصلاح والتهديب)
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannnya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapatkan ridha Tuhan. Kesadaran yang demikian keadaannya tentu merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena seseorang sebelum memperbuat jarimah ia akan memfikirkan bahwa Tuhan tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik diketahui orang atau tidak. Baik ia dapat ditangkap oleh penguasa negara, kemudian dijatuhi hukuman didunia, atau ia dapat meloloskan diri dari kekuasaaan dunia, namun ia tidak akan dapat menghindarkandiri dari hukuman akhirat. Kesadaran semacam inilah yang selalu menjadi idam-idaman sarjana-sarjana positif dan psara penguasa pula.
Syari’at Islam, dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Karena sesuatu jarimah pada hakekatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain
merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatan atau pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha penenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pembuat, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian dapat terwujud rasa bkeadilan. Tujuan-tujuan tersebut kita dapati dengan jelas dengan kata-kata para fuqoha dan dari jiwa aturan-aturan Syari’at Islam beserta nas-nasnya. [6]

1.      Tujuan Hukum Tindak Pidana Pembunuhan
Syariat Islam diturunkan oleh Allah swt, untuk kemaslahatan hidup manusia, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Nyawa seseorang adalah mahal, karena itu harus dijaga dan dilindungi. Ketentuan hukum qishas, mempunyai relevansi kuat dalam upaya melindungi manusia, sehingga para pelaku criminal timbul kejeraan, lantaran harus menanggung beban yang bakal menimpa dirinya jika ia melakukannya.[7]
Selain itu, dapat dipetik dari sanksi hukum pidana pembunuhan adalah pihak keluarga korban diberikan hak otonomi sepenuhnya untuk memilih hukuman yang bakal dikenakan terhadap pelakunya. Hal ini mempunyai relevansi kuat dengan pertimbangan psikologi keluarga. Betapa penderitaan pihak keluarga lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih karena dibunuh oleh seseorang. Pihak keluarga korban sedikit banyak mengetahui kepribadian anggota keluarganya. Apabila mereka mengetahui bahwa yang terbunuh adalah salah seorang anggota keluarga yang akhlaknya kurang baik dan/atau tidak terpuji maka mereka dapat memakluminya jika ia dibunuh oleh seseorang. Oleh karena itu, ia tidak akan dendam kepada pembunuhnya bahkan kemungkinan besar akan memaafkan pelaku dari pembunuhan dimaksud.[8]
2.      Tujuan Hukum Tindak Pidana Zina
Saksi terhadap para pelaku zina demikian berat, mengingat dampak negative yang ditimbulkan akibat perbuatan zina, baik terhadap diri, maupun keluarga,dan masyarakat. Di antara dampak negative lain sebagai berikut.
1)      Penyakit kelamin seperti virus HIV/AIDS, penyakit gonorchoo atau syphilis, merupakan jenis penyakit yang mencemaskan, penyakit tersebut berjangkit melalaui kelamin, di beberapa Negara, terutama Negara-negara yang menolerir, paling tidak memberika peluang kepada warganya melakukan perzinaan, termasuk Indonesia telah dirisaukan dengan isu mewabahnya penyakit kelamin yang membahayakan.
2)      Perbuatan zina menjadikan seseorang enggan melakukan pernikahan sehingga dampak negatif akibat keengganan seseorang untuk menikah cukup kompleks, baik terhadap kondisi mental maupun fisik seseorang.
3)      Keharmonisan hubungan keluarga sebagai suami istri, salah satunya adalah faktor pemenuhan kebutuhan seksual melalui perzinaan, kemesraan hubungan berkurang lantaran salah satu pihak yaitu suami atau istri, telah mengadakan hubungan dengan lawan jenisnya bukan suami/istrinya yang sah. Ketidakpuasan dalam pemenuhan kebutuhan seksual antara suami istri besar kemungkinan menimbulkan ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga.[9]
3.      Tujuan Hukum Tindak Pidana Mencuri
Mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak. Ketentuan potong tangan bagi pencuri, menunjukkan bahwa pencuri yang dikenai sanksi hukum potong tangan adalah pencuri yang professional, bukan pencuri iseng, atau bukan karena keterpaksaan. Sanksi potong tangan atas hukuman bagi pencuri bertujuan antara lain sebagai berikut.
1)      Tindakan preventif yaitu menakut-nakuti, agar tidak terjadi pencurian, mengingat hukumannya yang berat.
2)      Membuat para pencuri timbul rasa jera, sehingga ia tidak melakukan untuk kali berikutnya.
3)      Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghargai dan menghormati hasil jerih payah orang lain.
4)      Menumbuhkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.
5)      Tidak berlaku hukum potong tangan terhadap pencuri yang melakukan tindak pidana pada musim paceklik, memberikan arahan agar para orang kaya melihat kondisi masyarakat, sehingga tidak hanya mementingkan diri sendiri. Dengan demikian kecemburuan sosial, yaitu penumpukan harta pada orang-orang tertentu dapat dihindari.[10]

Agar tujuan dari hukuman dapat tercapai, Islam memiliki asas-asas yang mengaturmya.
1.    Legalitas Hukuman
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” dan dalam kitab pidana Belanda “Nullum dellictum nulla poena sine pravia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada hukuman yang tidak didahului hukum terlebih dahulu). Asas ini sejalan dengan Surah Al-Isra’ ayat 15:
مَّنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً -١٥-
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al-Isra’:15)
Ayat diatas relevan dengan asas legalitas sebab Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk memberikan peringatan berupa aturan-aturan hukum, termasuk dalam bentuk ancaman hukuman. Oleh sebab itu, sanksi hukum bersifat legal sebab sebelum dijatuhkan telah ada ayat atau hadits yang mengatur tentang masalah terkait.[11]
Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana  dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana.
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip trersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai.
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya.[12]
2.      Asas ini melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, yaitu kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Dengan kata lain, hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Asas ini pada kenyataannya merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Syariat Islam sangat kaya dengan bukti yang menegaskan asas tidak berlaku surut. Diantaranya:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä šÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$Ÿ2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ  
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (QS. An-Nisa’: 22)
Dalam ayat diatas terdapat larangan menikahi wanita yang telah pernah dinikahi oleh ayah kandung, kecuali apa yang pernah terjadi pada masa lampau.
Hal ini menunjukkan bahwa asas tidak berlaku surut ada dalam hukum perdana Islam. Sanksi pidana terhadap pelaku zina, pencurian, meminum khamr, dan kejahatan-kejahatan lain yang ada dlam suatu ayat atau hadits tidak bisa diberlakukan sebelum ayat dan hadits terkait diturunkan atau disabdakan.[13]
Menurut Osman Abdul Malik As-Saleh, kebanyakan ahli hukum Islam berpendapat bahwa hanya ada satu pengecualian bagi berlakunya asas ini, yaitu jika yang baru memberikan sanksi yang lebih ringan dibanding hukum yang ada pada waktu perbuiatan dilakukan. Dalam kasus seperti ini, hukuman yang lebih ringanlah yang diterapkan.
Suatu pendapat yang berbeda diajukan oleh ahli hukum Mesir Abdul Qadir ‘Audah. Menurutnya, ada dua pengecualian dari asas yang tidak berlaku surut, yaitu:
a.       Bagi kejahatan-kejahatan berbahaya yang membahayakan kemanan dan ketertiban umum
b.      Dalam keadaan sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang penerapan berlaku surutnya adalah bagi kepentingan masyarakat.[14]
3.    Kesamaan di Hadapan Hukum
Pada masa Jahiliyah, tidak ada kesamaan di antara manusia. Tidak ada kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dan rakyat biasa, antara si kaya dan si miskin, antara pria dan wanita. Dengan datangnya Islam, semua pembedaan atas dasar ras, warna, seks, bahasa, dan sebagainya dihapuskan.
Syariat memberi tekanan yang besar pada prinsip equality before the law. Rasulullah saw. bersabda: :”Wahai manusia! Kalian menyembah Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. Bangsa Arab tidak lebih mulia dari bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari hitam, kecuali dalam ketakwaan.”
Prinsip kesamaan tidak hanya terkandung dalam teori dan filosofi hukum Islam, tetapi dilaksanakan secara praktis oleh Rasulullah saw. dan para khalifah penerus beliau. Pernah terjadi di masa Rasulullah saw. seorang wanita dari satu suku yang kuat didakwa kasus pencurian. Beberapa anggota keluarga wanita itu pergi menjumpai Rasulullah saw. meminta pembebasan si wanita tadi dari hukuman yang ditentukan. Rasulullah saw. dengan tegas menolak permintaan itu dengan menyatakan: “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, ikatan kekeluargaannya tidak dapat menyelamatkannya dari hukuman hadd.”
Syariat Islam juga tidak mengakui pengistimewaan kepada orang-orang tertentu. Abdul Qadir ‘Audah menyebut beberapa pembedaan (diskriminasi) yang dilakukan oleh sistem hukum pidana modern. Keistimewaan itu antara lain diberikan kepada para kepala negara asing, diplomat asing, anggota-anggota parlemen, orang-orang kaya dan anggota masyarakat terhormat. Apabila mereka melakukan suatu tindak pidana, maka perlakuan yang diterima akan berbeda dengan anggota masyarakat biasa. Sebliknya, syariat Islam menerapkan suatu equality before the law yang lengkap sejak empat belas abad yang lalu; sementara ia baru dikenal dalam hukum modern pada akhir abad delapan.[15]
Asas ini didasarkan atas firman Allah swt dan sabda Nabi saw. Dalamhukum pidana Islam tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat, antara orang kaya dan orang miskin, serta antara kelompok satu dan kelompok yang lain. Adapun yang membedakan adalah ketakwaan seseorang dihadapn Tuhan. Perhatikan firman Allah berikut:
يَٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقنَٰكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَىٰ وَجَعَلنَٰكُم شُعُوبا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُواْ إِنَّ أَكرَمَكُم عِندَ ٱللَّهِ أَتقَىٰكُم إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير- ١٣
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Hukum pidana Islam memiliki asas kesamaan di depan hukum serta tidak mengenal kasta dan sikap diskriminatif. Sebaliknya, hukum pidana Islam menerapkan prinsip mulia equality before the law yaitu semua orang sama, sepadan dan sejajar didepan hukum.[16]

Wallahu A’lam..










Secara umum, syari’at memiliki tujuan melindungi hak perseorangan dan juga melindungi hak orang lain. Dalam hal ini, terdapat tiga klasifikasi terhadap tujuan hukum pidana Islam. Pertama, menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at. Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam islam dirumuskan dalam maqashid syari’ah. Kedua, menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Dan yang ketiga adalah membuiat perbaikan.
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib). Pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung  arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama.
Dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut, dalam hukum Islam terdapat asas-asas yang mendukung, diantaranya: asas legalitas hukuman, hukuman tidak berlaku surut, dan persamaan hak di depan hakim.




A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2016

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003

Zainuddin, Hukum Pidana Islam, cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2009





[1] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 140-141
[2] Ibid, h. 141
[3] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h 18-20
[4] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 279
[5] Wardi Muslich, Opt Cit, h. 143
[6] A. Hanafi, Opt Cit, h. 279-281
[7] Zainuddin, Hukum Pidana Islam, cetakan kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 35
[8] Ibid, h. 36
[9] Ibid,h. 51-52
[10] Ibid, h. 67-68
[11] Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016),h. 15-16
[12] Santoso, Opt Cit, h. 10-12
[13] Nurul Irfan, Opt Cit, h. 16-17
[14] Santoso, Opt Cit, h. 12
[15] Ibid, h. 17-18
[16] Nurul Irfan, Hukum Pidana., 23-24.

0 Response to "Makalah Tujuan Dan Urgensi Hukuman"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel