Makalah Perkembangan Hukum Keluarga Di Tunisia Dan Iran
TUGAS MANDIRI DOSEN PEMBIMBNG
Fiqh Perbandingan
Munakahat JUMNI NELLY,
M. Ag
Perkembangan Hukum Keluarga Di Tunisia Dan Iran
Disusun oleh:
ADI HARMANTO
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur yang tidak dapat
dibahasakan kami ucapkan kehadirat Allah SWT.Dan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah dengan ini dengan judul ”Perkembangan Hukum
Keluarga Di Tunisia Dan Iran.” Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada ibu JUMNI NELLY, M. Ag selaku dosen pengajar mata kuliah Fiqh Perbandingan
Munakahat, yang telah mengamanahkan tugas makalah untuk kami selesaikan,
dan Alhamdulillah makalah yang singkat ini dapat terselesaikan sesuai
dengan waktunya.
Shalawat dan salam tak lupa kami hadiahkan kepada baginda Rasul
Nabi Muhammad saw, semoga kita semua kelak mendapat syafaatnya. Aamiiin
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
dari segi pembahasan, sumber-sumber, segi kata, maupun dari segi tata
bahasa.Sehingga kami mengharapkan kritik dan saran kawan-kawan terutama dari
ibu dosen yang kami hormati untuk membangun kesempurnaan makalah ini.Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Aamiiin.
Pekanbaru, Oktober 2016
Pemakalah
Tunisia
merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara
yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara.
Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni, negara yang
terletak di Afrika Utara, sebelah barat berbatasan dengan Mediterania dan
selatan Libya. Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah timur,
sementara di bagian tenggara termasuk kepulauan Djerba.
Iran juga merupakan Negara berbentuk republic dengan berjumlah 64 juta
jiwa (1996), dan merupakan negeri terbanyak penduduknya di Asia Tengah.
Penduduk Iran yang beragam Islam sekitar 95,5% sisanya penganut Kristen,
Zoroaster, dan Yahudi. Mayoritas umat Islam menganut faham Syi’ah Isna Asy’ari,
sementara penganut faham Sunni menjadi warga minoritas.
Demikian profil singkat dua negara tersebut. Selanjutnya pemakalah akan
coba mengurai bagaimana hukum keluarga Islam di kedua Negara tersebut, Tunisia
dan Iran.
Tunisia
merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara
yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara.
Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni.
negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah barat berbatasan dengan
Mediterania dan selatan Libya. Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah
timur, sementara di bagian tenggara termasuk kepulauan Djerba.
Negara yang memiliki luas wilayah 163.610 km2
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956, dengan presiden pertama Habib
Bourguiba, yang membawahi 23 Provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan wilayah otonom
dari pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi negara persemakmuran
Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa.[1]
Pada Tanggal 20
Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada
tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan aturan-aturan
kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan hukum
al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadanah. Aturan-aturan baru
ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan
konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan bangsa Perancis.[2]
Berdasarkan
konstitusi Tunisia, Islam adalah agama resmi negara. Sedangkan mazhab Maliki
mempunyai pengaruh yang sangat dominan di negara tersebut. Latar belakang negara
Tunisia memberi gambaran kepada kita setidaknya di Tunisia pernah pula berlaku
hukum Islam (fiqh) berdasarkan mazhab Hanafi, sebagai pengaruh yang dibawa oleh
pemerintah dinasti Usmani.[3]
Demikian pula pendudukan Prancis juga membawa dampak bagi Tunisia,
khususnya dalam perkenalan dan pemberlakuan sistem hukum Barat di negeri yang
beribukota Tunis tersebut.[4]
Latar belakang terjadinya reformasi dan kodifikasi hukum Islam di
Tunisia, tidak hanya berbeda dengan proses yang terjadi di Mesir dan
Negara-negara Timur Tengah lain. Sebelum dominasi Turki Usmani di Tunisia,
sebagian besar umat Islam Tunisia mengikuti ketentuan-ketentua hukum Islam
menurut mazhab Maliki. Akan tetapi setelah secara resmi pemerintah Turki mengadopsi
mazhab Hanafi untuk wilayah Tunisia, akhirnya mazhab Hanafi pun berpengaruh
juga di Tunisia. Konsekuensinya kasus-kasus tertentu harus diputuskan menurut
sistem hukum yang dianut dari oleh para pihak yang mengajukan perkara ke
pengadilan. Karena itu, dalam lembaga peradilan terdapat dua majelis hakim,
yaitu dari mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang berwenang terhadap yuridiksi
masing-masing.[5]
Sejak tahun 1883, Tunisia berada dalam dominasi politik Prancis, yang
ternyata berpengaruh pula dalam bidang hukum. Selama periode ini, budaya hukum
di Tunisia mengalami pem-Barat-an secara luas. Hukum Perdata, Hukum
Pidana, Hukum Dagang dan Hukum Acara yang berlaku sampai tahun 1956
menggambarkan secara jelas prinsip-prinsip yurisprudensi dan Hukum Perdata
Prancis. Alam kemerdekaan membawa Tunisia mempunyai kesempatan memodifikasi
beberapa ketentuan hukum pra kemerdekaan
di samping membuat hukum-hukum baru, baik hukum perdata maupun pidana.
Berikut ini akan dipaparkan reformasi hukum yang terjadi di Tunisia yang berkaitan
dengan Hukum Keluarga.[6]
Hukum Keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah negeri
itu memperoleh kemerdekaan. Pada tahun 1956
setelah Tunisia memperoleh kemerdekaannya, melalui Presiden Habib Bourgubia
negara tersebut mengeluarkan aturan-aturan yang kontroversial yang dikenal
dengan “The Tunisian Code of Personal Status” untuk menggantikan hukum al
Qur’an dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadanah. Aturan-aturan baru ini
tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan
konfrontasi dengannya.[7]
Pada akhir tahun empat puluh, beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia
berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki,
sebuah ketentuna hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang
disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia.
Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum,
Hanafi dan Maliki, dan dipublikasikan di bawah judul Laihat Majallat al
Ahkam al Syar’iyyah (Draft Undang-Undang Hukum Islam). akhirnya, pemerintah
membentuk sebuah komite di bawah pengawasan syekh Islam, Muhammad Ja’it, guna
merancang Undang-Undang secara resmi.[8]
Bersumber dari Laihat dan Undang-Undang Hukum Keluarga Mesir,
Jordania, Syiria dan Turki Usmani, panitia tersebut mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hukum Keluarga pada Pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya
diundangkan di bawah judul Majallah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code Of
Personal Status) 1956, berisi 170 pasal, 10
buku dan diundangkan ke seluruh wilayah Tunisia pada tanggal 1 Januari
1957. Namun, dalam perjalanannya, Undang-Undang ini mengalami modifikasi dan
perubahan (amandemen) beberapa kali, yaitu melalui UU No. 70/1958, UU
No. 41/1962, UU No. 1/1964, UU No. 77/1969, dan terakhir menurut catatan Tahir
Mahmood, mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui UU No. 1/1981.[9]
Perlu dicatat pula bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab
Maliki, UU ini memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab
hukum Islam lain. Lagi pula, jika dibanding dengan Negara-negara Arab lain,
reformasi bidang hukum yang diintroduksikan di Tuisia lebih revolusioner.[10]
1. Hukum Perkawinan[11]
Untuk memberikan gambaran tentang perubahan dalam bidang hukum keluarga
Tunisia, setidaknya terdapat perubahan formulasi dari ketentuan-ketentuan fiqh
Mazhab Maliki. Di bawah ini disajikan beberapa gambaran penting mengenai
sebagian isi/kandungan Undang-Undang Keluarga Tunisia.
a. Tentang Usia Untuk Menikah[12]
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah
berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5
Undang-Undang 1956, yang mana sebelum diubah, ketentuan usia nikah adalah 17
tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik
laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan
perkawinan, bagi wanita yang berusia 17 tahun harus mendapat izin dari walinya.
Jika sang wali tidak memberikan izin, perkara tersebut dapat diputuskan oleh
Pengadilan. Akan tetapi, pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah, yaitu
bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan, seorang laki-laki harus sudah
mencapai usia 20 tahun dan wanita telah mencapai 17 tahun. Sehingga bagi mereka
yang belum sampai batasan usia tersebut, harus mendapat izin khusus dari
Pengadilan. Izin tidak dapat diberikan kalau tidak ada alasan-alasan yang
kuatdan keinginan yang jelas dari masing-masing pihak. Di samping itu,
pernikahan di bawah umur, tergantung kepada izin wali. Jika wali menolak
memberikan izin padahal para pihak sudah berhasrat kuat untuk menikah, perkara
dapat diputuskan pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat
dari ketentuan-ketentuan dalam fiqh mazhab Maliki. Sebab tidak ada batasan usia
yang jelas mengenai usia nikah di dalam kitab-kitab tersebut.
b. Perjanjian Perkawinan[13]
Undang-Undang Tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart
dalam perkawinan. Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang dirugikan
akibat pelanggaran tersebut dapat mengajukan tuntutan pembubaran perkawinan.
Pembubaran perkawinan dimaksud tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika hal
tersebut terjadi sebelum perkawinan terlaksana secara sempurna.
c. Poligami[14]
Pasal 18 Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa beristri
lebih dari seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikian pula, undang-undang
ini secara tegas menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah, dan nikahnya
belum putus secara hukum, menikah lagi, dapat diancam hukuman penjara satu (1) tahun
atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim.
Adapun dasar larangan poligami yang digunakan pemerintah Tunisia,
menurut Jhon L. Esposito, adalah: (1) bahwa poligami, sebagaimana perbudakan,
merupakan institusi yang selamanya tidak dapat diterima mayoritas umat manusia
di mana pun; (2) Ideal al-Qur’an tentang perkawinan adalah monogamy. Di sini,
menurut Esposito, padangan Muhammad Abduh tentang ayat poligami dirujuk oleh
pemerintah Tunisia. Menurut Abduh, al-Qur’an (IV:3) memberi izin untuk beristri
4 orang secara serius telah dibatasi oleh al-Qur’an sendiri (IV:129). Dengan
demikian ideal al-Qur’an adalah monogamy. Lebih dari itu, syarat yang diajukan,
supaya suami berlaku adil terhadap istri-istrinya, adalah suatu kondisi yang
sangat sulit, bahkan tidak mungkin terealisasi dengan sepenuhnya.
d. Pernikahan Yang Tidak Sah[15]
Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-Undang Hukum Keluarga
Tunisia adalah :
1. Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21);
2. Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak suami/istri (pasal
3);
3. Pernikahan yang dilakukan sebelum masa puberitas atau terdapat halangan
hukum yang lain (pasal 5);
4. Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan untuk melangsungkan
perkawinan (pasal 15-17); dan
5. Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah (pasal 20).
Pernikahan yang tidak sah (fasid, invalid) dapat segera dianulir.
Akibat hukum yang lahir, jika perkawinan memang telah berlangsung sempurna,
adalah bahwa istri berhak dan kewajiban menjalani masa iddah. Sedangkan
apabila perceraian terjadi sebelum dukhul isteri berhak mendapatkan
mahar musamma. Anak yang lahir dapat disandarkan nasabnya kepada suami
akan tetapi tidak berhubungan dalam hal harta warisan antara dua pihak
tersebut.
e. Perceraian[16]
Di Tunisia, perceraian yang disampaikan secara sepihak tidak dapat
berakibat jatuhnya talak. Perceraian dapat berlaku secara pasti dan efektif
hanya apabila diputuskan oleh pengadilan.
Demikian pula pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang diajukan oleh
isteri dengan alasan suami gagal memberikan nafkah, atau karna kedua belah
pihak telah sepakat mengakhiri perkawinan. Pengadilan juga dapat memustuskan
perceraian apabila salah satu pihak secara sepihak bermaksud bercerai, dengan
kosekuensi bahwa pihak yang mengajukan gugatan perceraian wajib membayar ganti
rugi kepada pihak yang lain. Keputusan terjadinya perceraian hanya diberikan,
dalam segala kondisi, apabila upaya perdamaian pasangan suami isteri tersebut
gagal dicapai.
f. Talak Tiga (Tripel Divorce)[17]
Pasal 19 UU 1956 Tunisia menyatakan bahwa seorang pria dilarang merujuk
bekas isteri yang telah ditalak tiga (talak bain kubra). Sebelumnya,
pasal 14, menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat permanen untuk
pernikahan.
g. Nafkah Bagi Isteri[18]
Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab
Maliki dalam hal hak isteri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini
secara terinci diatur dalam pasal-pasal 37-42. Lebih jauh pasal 41 menyatakan
bahwa isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai
biaya hidup dengan maksud untuk diminta ganti dari suaminya. Adapun besarnya
jumlah nafkah, tergantung kemampuan suami (pembayar) dan status isteri, serta
biaya hidup yang wajar (kepantasan) pada saat itu (pasal 52).
Fiqh mazhab Maliki yang banyak dijadikan sumber rumusan undang-undang
Tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul
dan suami telah balig. Pandangan ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah
dan salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’I yang tidak mensyaratkan suami harus
balig.
h. Pemeliharaan Anak[19]
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban
orang tua dan para wali (guardian) terhadap pemeliharaan anak (hadanah,
custody).
Ketentuan tentang pemeliharaan anak secara umum bersumber dari
prinsp-prinsip mazhab Maliki. Dalam fiqh mazhab Maliki dinyatkan bahwa jika
seorang laki-laki mentalaq isterinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu, dengan
alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan memahami kemaslahatan dan
kebutuhan anak daripada ayah atau keluarga yang lain. Formulasi fiqh juga
menyatakan bahwa hak hadanah menjadi terputus apabila ibu melangsungkan
perkawinan. Sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam mengasuh anak, yang
mengakibatkan anak tidak dapat hidup dengan tenang dan sejahtera. Adapun jika
ibu meninggal maka hadanah berpindah ke nenek dari garis ibu asalkan
kakek merupakan kakek secara langsung dari anak tersebut. Pasal 67 yang telah
diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa jika orang tua yang berhak
mengasuh anak meninggal dunia sedang sebelumnya perkawinan telah bubar, hak hadanah
tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan apabila
pernikahan bubar dan kedua belah pihak masih hidup, hak pemeliharaan anak
diserahkan kepada salah satu pihak, atau boleh juga kepada pihak ketiga.
Selanjutnya, pengadilan dapat memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan
memperhatikan sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67).
Sedangkan dalam fiqh dinyatkan bahwa berakhirnya hadanah adalah jika
anak laki-laki sudah mencapai usia balig dan anak perempuan telah menikah. Hal
ini berbeda dengan pendapat mazhab Syafi’I yang menyatakan bahwa anak perempuan
putus atau berakhir masa hadanah-nya ketika ia sudah balig
2. Hukum Waris[20]
Berkaitan dengan permasalahan warisan, Tunisia secara umum hanya
melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki,
yaitu dengan mendasarkan pada pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain.
Sebagai contoh, adalah pasal 88 yang menyatakan bahwa seorang ahli waris
yang dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama
atau hanya sebaagi pendukung saja, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap
terhadap kematian pewaris, orang tersebut tidak berhak mendapatkan warisan dari
almarhum.
Ilustrasi lain adalah bahwa anak perempuan dan anaknya dapat menerima ashabah
dari warisan, walaupun ada ahli waris dari pihak laki-laki seperti saudara
laki-laki dan paman (pasal 143 A).
Dengan ketentuan ini, maka posisi anak perempuan dan putranya menjadi lebih
baik dalam skema hali waris daripada posisi yang ditentukan dalam mazhab
Maliki.
3. Ketentuan Wasiat (Bequest)[21]
a. Perbedaan Agama Dan Kewarganegaraan
Di antara ketentuan tentang hukum wasiat yang menonjol adalah prihal
sahnya wasiat antara dua pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah
wasiat yang dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan ynag berbeda (pasal
174-175).
Sedangkan,
bukti terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan
ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup
sebagai alat bukti (pasal 176).
Undang-Undang Tunisia tidak mengakui wasiat yang dimaksudkan sebagai
bagian warisan. Ketentuan ini berbeda dengan huku yang berlaku di Mesir dan
Sudan.
b. Wasiat wajibah[22]
Ketentuan mengenai Wasiat Wajibah telah diperkenalkan oleh UU Waris
Mesir tahun 1964 dengan membuat ketentuan hukum prihal kewajiban adanya wasiat
bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hal ini kemudain diikuti oleh Syiria dan
Tunisia. Dalam Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang Wasiat Wajibah hanya
diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun
perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua
kali lebih besar dari bagian cucu perempuan.
Orang-orang Iran sering menyebut negerinya “Iran” (Negeri Arya atau
“masyarakat termasyhur”), sementara orang luar, dalam waktu yang sama,
meyebutnya Persia, menunjuk pada Pars, sekarang Fars, wilayah bagian selatan
Iran. Nama Persia bertahan hingga tahun 1935, ketika pemerintah Tehran secara
resmi meminta masyarakat dunia menggunakan nama Iran.
Luas wilayah Iran 1.648.000 km. Iran berbatasan dengan laut Caspian,
Republik Amenia, Azerbaijan, dan Turkmenistan, di sebelah uatar; Afganistan dan
Pakistan di sebelah timur, Teluk Parsian dan Teluk Oman di sebelah selatan, dan
Turqi serta Iraq di sebelah barat. Penduduk Iran berjumlah 64 juta (1996), dan
merupakan negeri terbanyak penduduknya di Asia Tengah. Penduduk Iran yang
beragam Islam sekitar 95,5% sisanya penganut Kristen, Zoroaster, dan Yahudi.
Mayoritas umat Islam menganut faham Syi’ah Isna Asy’ari, sementara penganut
faham Sunni menjadi warga minoritas.
Iran memiliki salah satu peradaban tertua di dunia, kira-kira dimulai
pada tahun 2700 SM, ketika Elamite menguasai daerah-daerah yang meliputi
propinsi Khuzistan (sakarang) di barat daya Iran dan wilayah-wilayah perbatasan
utara dan timur.
Invassi Arab pada tahun 637 merupakan saat yang menentukan bagi sejarah
Iran. Kepercayaan Zoroaster digantikan dengan agama Islam, sebuah agama
monoteistik. Sekalipun masyarakat Iran memeluk agama Islam, banyak
tradisi-trsdisi mereka yang tetap dipertahankan. Salama masa seribu tahun, Iran
menjadi wilayah kekhalifahan. Faham Sunni mendominasi wilayah-wilayah Iran
selain kota Qum yang menjadi pusat pengikut faham Syi’ah. Selama itu
orang-orang Iran banyak memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan
peradaban dan kebudayaan Islam.
Dinasti Safawid, sejak tahun 1501 menguasai wilayah dataran tinggi dan
wilayah-wilayah perbatasan dengan faham Syi’ah. Sejak itu, Iran menjadi tempat
tinggal faham Syi’ah Isna Asyari, sekalipun dinasti Afsyarid (1736-1747) telah
berusaha mengembalikan faham Sunni.
Pemerintahan Safawid runtuh pada tahun 1722, kemudian muncul dinasti
Zand yang memerintah dalam rentang waktu yang relatif singkat (1750-1779).
Dinasti Zand digantikan oleh dinasti Qajar. Dinasti Qajar yang tak dapat
melindungi kekuatan dinasti Safawid, tidak dapat menahan tekanan militer,
ekonomi dan politik asing yang mengakibatkan mereka tidak mampu mengatakan
tindakan-tindakan zalim yang dilakukan pemerintah. Dinasti ini digantikan oleh
dinasti Pahlawi.
Kebijakan dinasti Pahlawi lebih memberikan perhartian pada usaha-usaha
modernisasi, westernisasi, sekularisasi, integral dengan nasionalisme Iran.
Mereka melakukan modernisasi seperti yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di
Turki.
Kebijakan yang dilakukan dinasti Pahlawi mengakibatkan tergulingnya
mereka oleh gerakan ulama yang dipimpin oleh Ayatullah al-Musawi Khomeini
(1902-1989; memerintah 1979-1989) dalam sebuah revolusi. Revolusi Iran
merupakan kebijakan penting bagi dunia Islam. Untuk ini menunjukkan bahwa rezim
sekuler yang didukung Barat dapat digulingkan oleh kekuasaan oposisi yang
diorganisasikan oleh reformis Islam.[23]
Reformasi Hukum
Keluarga Iran[24]
Upaya mengkodifikasi hukum Islam telah dilakukan sejak awal di Iran.
Hukum keluarga Iran pertama kali dikodifikasikan sebagai bagian dari hukum
perdata yang diundangkan tahun 1928 s/d 1935. Pada tahun 1927, Menteri Keadilan
Iran membentuk Komisi yang bertugas menyiapkan draft hukum perdata.
Ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan materi selain hukum keluarga dan
hukum waris diambil dari Kode Napoleon selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’ah. Sementara menteri-menteri yang berkenaan dengan hukum
keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan unifikasi dan kodifikasi hukum
syari’ah. Draft yang disusun Komisi tersebut ditetapkan sebagai Qanun Madani
(Hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara tahun 1928-1935.
Hukum Perdata Iran mencakup bebagai aspek hukum. Hukum yang berkenaan
dengan hukum waris diatur dalam pasal 861 s/d 949, sementara seluruh Buku VII
mengatur masalah-masalah hukum keluarga. Semua materi hukum waris dan hukum
keluarga didasarkan pada hukum tradisional Syi’ah Isna Asy’ariyah (Ja’fari).
Materi hukum waris sebagaimana diatur dalam hukum perdata berlaku sampai
sekarang, tanpa ada perubahan. Sementara hukum yang mengatur perkawinan dan
perceraian tidak terhindar dari reformasi hukum.
Hukum keluarga yang diatur dalam Bab VII Hukum Perdata tahun 1935
mengalami reformasi beberapa kali pada tahun-tahun berikutnya. Hukum yang
mengatur perkawinan dan perceraian, secara terpisah, telah diundang-undangkan
pada tahun 1931. UU tersebut memasukkan prinsip-prinsip yang diatur oleh
aliran-aliran hukum selain aliran Isna Asy’ari. Sebagian meterinya
didasarkan pada pertimbangan sosial budaya dan adminstratif. Pada tahun 1937
dan 1938 juga ditetapkan UU yang mengatur masalah perkawinan dan perceraian
lebih lanjut.
Reformasi hukum yang lebih penting lagi dilakukan Lembaga Legislatif
Iran pada tahun 1967. Pada tanggal 24 Juni 1967 diundang-undangkan Hukum
Perlindungan Keluarga (Qanun Himayat
Khaneiweda). UU ini bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami
agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang.
Pada tahun 1975, Hukum Perlindungan Keluarga yang baru ditetapkan. UU
ini dimaksudkan untuk menggantikan Hukum Perlindungan Keluarga tahun 1967. UU
tahun 1975 ini, di samping memasukkan ketentuan-ketentuan mengenai porceraian
dalam UU sebelumnya, juga memasukkan perubahan-perubahan yang penting yang
berkenaan dengan perceraian. UU ini juga membatasi pemberian ijin poligami oleh
pengadilan hanya pada kondisi-kondisi yang spesifik.
Kembali Pada
Hukum Keluarga Yang Tradisional[25]
Setelah berhasilnya revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam Khumaini,
rezim baru mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum
di Negara Iran. Konstitusi Republik Islam Iran 1979, antara lain meyatakan
bahwa keluarga merupakan untit fundamental dalam masyarakat Islam. Oleh karena
itu, semua hukum, peraturan dan ketentuan-ketentuan adminstratif, harus dapat
memfasilitasi keutuhan keluarga. Konstitusi ini juga menekankan bahwa hubungan
keluarga harus didasarkan pada hukum Islam.
Hukum Islam yang menjadi sumber hukum di Iran adalah hukum Islam Ja’fari
Isna Asy’ari. Sungguh pun demikian, aliran hukum yang lain diberi kebebasan
untuk berkembnag dan diperaktekkan oleh para pengikutnya. Hukum keluarga yang
diatur di luar mazhab resmi Negara juga menjadi sumber hukum di pengadilan
manakala pihak yang berperkara berasal dari pengikut mazhab tersebut.
Pada tahun 1982, Mahkamah Agung Iran mengeluarkan Keputusan –Bakhshnamah-
khususnya, ditujukan pada seluruh pengadilan di Iran, agar tidak menggunakan
Peraturan Perundang-undangan yang diterapkan oleh lembaga non-legislatif Islam
era pra-revolusi. Sistem hukum Islam seluruhnya akan diberlakukan di Iran.
Hukum Pidan tahun 1912 dan Hukum Perdata 1928-1935 dicabut, selanjutnya
diterapkan hukum Islam. Hukum Keluarga 1931-1938 dan Hukum Perlindungan
Keluarga 1975, dipandang telah melewati batas hukum Islam yang mapan. Oleh
karena itu, UU ini juga dicabut. Selanjutnya, hukum keluarga Islam dikembalikan
pada mazhab mayoritas, Ja’fari Isna Asy’ari dan mazhab minoritas, Sunni.
1. Pencatatan perkawinan[26]
Setiap perkawinan sebelum dilaksanakan harus dicatatkan pada lembaga
yang berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dihukum dengan hukuman
penjara selama satu hingga enam bulan.
Aturan tentang pencatatan perkawinan termassuk pembaharuan yang bersifat regulatory atau
adminstratif. Sebab pelanggarnya hanya dikenai hukuman fisik, sementara
pernikahannya tetap dipandang sah. Peraturan seperti ini tidak dijumpai dalam
pemikiran hukum klasik, baik dalam mazzhab Syi’I maupun mazhab Sunni.
2. Perkawinan Di Bawah Umur
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan bagi pria adalah delapan
belas tahun dan bagi wanita lima belas tahun. Bagi seseorang yang mengawinkan
seseorang yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenja antara enam
bulan hingga dua tahun. Jika seseorang anak perempuan dikawinkan di bawah usia
13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat dipenjara selama dua hingga tiga
tahun. Di samping itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dapat dikenai
denda 2-20 riyal.
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan tersebut berbeda dengan
pandangan hukum mazhab Ja’fari. Menurut mazhab Ja’fari, seseorang telah
dipandang dewasa (karenanya dapat melangsungkan perkawinan) jika telah berumur
15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja’fari juga memandang bahwa
seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih di bawah umur. Dengan demikian,
ancaman hukuman bagi wali yang mengawinkan anak di bawah umur merupakan
pembaharuan hukum keluarga di Iran yang bersifat adminstratif.
3. Perjanjian Kawin
Pasangan yang berniat untuk melangsungkan perkawinan boleh membuat
perjanjian dalam akad perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan
perkawinan. Perjanjian tersebut dapat dilaksanakan di bawah perlindungan
pengadilan.
Menurut mazhab Ja’fari, syarat yang dianggap gugur di luar akad nikah
dapat menggugurkan akad nikah. Sedangkan syarat yang dianggap gugur dalam akad
tidak dapat menggugurkan akad nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika
disyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tiak berlakunya semua dampak akad
yang bertentangan dengan wataknya sendiri. Jika seorang isteri ketika akad
nikah mensyaratkan kepada suaminya agar ia tidak kawin dengan wanita lain,
tidak menolaknya, tidak melarangnya keluar rumah, atau mensyaratkan bahwa hak
talak berada di tangannya, tidak mewarisinya, dan persyaratan-persyaratan lain
yang bertentangan dengan tujuan akad nikah, maka persyaratan-persyaratan itu
batal, sedangkan akad nikahnya sendiri tetap sah.
4. Poligami
Seorang pria yang bermaksud berpoligami wajib memberitahukan kepada
calon isteri tentang statusnya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat
dikenakan sanksi. Hukum Perlindungan Keluarga tahun 1967, menambahkan ketentuan
bahwa seorang pria yang hendak berpoligami harus mendapatkan persetujuan istri.
Jika ketentuan ini dilanggar, istri pertama dapat menuntut cerai ke pengadilan.
Suami juga harus mendapatkan ijin resmi dari pengadilan. Sebelum memberikan
izin, pengadilan akan memeriksa apakah suami dapat menafkahi lebih dari seorang
istri; dan apakah dia dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Pelanggaran
ketentuan ini akan dikenakan hukuman kurungan selama enam bulan hingga dua
tahun.
Keharusan adanya persetujuan istri pertama dan ijin pengadilan bagi yang
akan berpoligami, di satu sisi dapat dipandang sebagai reformasi regulatory,
karena yang melakukan pelanggaran hanya mendapatkan hukuman atau sanksi
tertentu, sementara perkawinannya sendiri tetap sah. Aturan-aturan seperti ini
tidak ditemukan dalam ajaran mazhan Ja’fari, mazhab resmi Negara, juga tidak
ditemukan dalam mazhab hukum yang lain. Di sisi lain dapat dipandang sebagai
reformasi substantif, karena seorang suami yang kawin lagi dengan wanita lain
tanpa persetujuan istri pertama dijadikan alasan oleh istri pertama untuk
menuntut perceraian ke pengadilan, suatu hal yang tidak diatur dalam mazhab
Ja’fari maupun mazhab Sunni.
5. Nafkah Keluarga
Suami berkewajiban memberikan nafkah pada istrinya. Nafkah ini meliputi
sandang, pandang, tempat tinggal dan barang-baranag kebutuhan rumah tangga yang
layak. Jika seorang suami tidak dapat memberikan nafkah tersebut, sang istri
mengadukannya pada Pengadilan. Selanjutnya pengadilan akan memerintahkan sang
suami untuk memberikan nafkah wajib pada istrinya. Jika sang suami tidak
mematuhi perintah pengadilan, sang istri dapat menuntut perceraian pada
pengadilan. Aturan ini sejalan dengan mazhab Ja’fari.
6. Perceraian
Hukum Perlindungan Keluarga Tahun 1967 telah melakukan reformasi hukum
yang bersifat adminstratif dan substantive sekaligus, yaitu dengan menghapus
wewenang suami mengikrarkan talak secara sepihak. Menurut pasal 8 UU tersebut,
setiap perceraian, apapun bentuknya, harus didahului dengan permohonan pada
pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “tidak dapat rukun kembali”. Pengadilan
baru mengeluarkan sertifikat tersebut setelah berupaya maksimal, tetapi tidak
berhasil mendamaikan.
Pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat “tidak dapat rukun kembali”
atau keputusan fasakh pada kasus karena alasan-alasan tertentu sebagai
berikut:
a. Salah satu pasangan menderita sakit gila yang permanen atau
berulang-ulang
b. Suami menderita impotensi, atau dikebiri, atau alat fitalnya diamputasi
c. Istri tak dapat melahirkan, menderita cacat seksual, lepra atau kedua
matanya buta
d. Suami atau istri dipenjara selama lima tahun
e. Suami dan istri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang
diduga akan terus berlangsung dalam kehidupan rumah tangga.
f. Seorang pria, tanpa persetujuan istri pertama, kawin dengan wanita lain.
g. Salah satu pihak mengkhianati pihak lain
h. Kesepakatan suami istri untuk bercerai
i.
Adanya perjanjian dalam akad perkawinan
yang memberikan kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri dalam
kondisi tertentu
j.
Suami atau istri dihukum, berdasarkan
keputusan hukum yang tetap, karena melakukan perbuatan yang dapat dipandang
mencoreng kehormatan keluarga
7. Penyelesaian perselisihan melalui juru damai (Arbitrator)
Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga pada
arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus
yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan dan perceraian yang
berbelit-belit, ditangani sendiri oleh pengadilan, tidak diserahkan pada arbitrator.
Arbitrator, selanjutnya, akan berusaha merukunkan kembali pasangan yang
berselisih dalam jangka waktu yang ditentukan oleh pengadilan. Hasilnya
diserahkan pada pengadilan untuk ditindaklanjuti. Jika arbitrator tidak bisa
menyerahkan hasil usahanya dalam mendamaikan pasangan yang berselisih dalam
waktu yang ditentukan, pengadilan akan mengambil alih usaha perdamaian itu
serta menentukan keputusan selanjutnya.[27]
Proses
perumusan dan penataan kembali hukum keluarga di tunisia yang disebut dengan
nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal Status) 1956 yang
berisikan 170 pasal. Tidak hanya sekedar upaya membukukan fiqh mazhab Maliki,
tetapi juga melakukan langkah-langkah yang sangat progresif dalam upaya melakukan
pembuatan Undang-Undang dan pengaturannya dalam bidang hukum keluarga.
Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan dengan
ketentuan-ketentuan baru. Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of
Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi.
Reformasi hukum
yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam persoalan-persoalan hukum keluarga
tidaklah bermaksud melakukan penyimpangan dan meninggalkan prinsip-prinsip
hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan keinginan pemerintah untuk menjamin
kesejahteraan, kedamaian, dan kemashlahatan bangsa dan rakyat Tunisia itu
sendiri.
pemberlakuan
hukum keluarga di Iran melalui tiga tahap. Pertama hukum keluarga berdasarkan
mazhab Ja’fari tanpa reformasi, kedua hukum keluarga yang terkodifikasi dengan
reformasi dan ketiga kembali pada hukum keluarga klasik. Reformasi hukum
keluarga di Iran terjadi ketika rezim yang berkuasa menjalankan kebijakan
modernisasi, westernisasi, dan skularisasi. Reformasi hukum yang dilakukan ada
yang bersifat regulatory, substantif dan dua-duanya. Aturan hukum yang
ditetapkan pada masa ini, setelah berhasilnya refolusi Iran, kemudian dicabut
karena dipandang melewati batas hukum Islam yang mapan. Selanjutnya kembali
pada mazhab hukum ortodoks.
Irwanto, Hukum Keluarga Di Tunisia, http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html
M. Atho’
Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003)
[1] Irwanto, Hukum Keluarga Di Tunisia,
diakses pada 11 Oktober 2016 dari http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/04/hukum-keluarga-di-tunisia.html
[3] M.
Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003) H. 84
0 Response to "Makalah Perkembangan Hukum Keluarga Di Tunisia Dan Iran"
Post a Comment