Fikih yang Berpihak: Dari Hermeneutika ke Agenda Keadilan
Dalam dua seri sebelumnya, kita telah menyingkap dua lapisan
penting. Pertama, bahwa kemerdekaan berpikir menuntut kita untuk tidak
membiarkan wibawa tokoh menutupi argumen. Kedua, bahwa hermeneutika membuka
mata kita: argumen itu sendiri tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari
tokoh dan konteks yang membentuknya. Jika demikian, maka kini pertanyaan
berikutnya tak terelakkan: setelah tahu bahwa setiap argumen dan tafsir
berkelindan dengan horizon manusiawi, apa konsekuensinya bagi fikih sebagai salah
satu produk ijtihad terbesar dalam Islam?
Setelah kita menyadari bahwa argumen tidak pernah
netral—bahwa mā qāla selalu terikat dengan man qāla dan
konteks yang melahirkannya—muncul satu konsekuensi yang tak bisa dihindari:
fikih sebagai produk ijtihad pun sejak lahir membawa keberpihakan—baik yang
disadari maupun tidak. Ia lahir dari horizon tertentu, menjawab kebutuhan
sosial tertentu, dan tidak jarang meneguhkan struktur kuasa tertentu.
Arif Maftuhin, dalam Paradigma Fikih Sosial: Dari Otoritas
ke Solidaritas, menegaskan bahwa fikih, sejak awal kelahirannya, bukanlah
ruang yang netral. Ia selalu membawa keberpihakan—entah pada stabilitas sosial,
otoritas politik, struktur patriarkal, atau kelas dominan. Justru di sinilah
letak urgensinya: karena fikih tidak pernah bebas nilai, maka yang perlu
dilakukan bukanlah menuntut netralitas semu, tetapi merumuskan dengan jujur
keberpihakan yang baru—keberpihakan kepada keadilan. Sebab jika fikih bisa
berpihak kepada kekuasaan, maka ia juga bisa—dan seharusnya—berpihak kepada
yang tertindas.
Upaya ke arah ini sesungguhnya telah dirintis oleh para pengkaji
Islam progresif di Indonesia. Teori mubadalah, misalnya, menawarkan tafsir
resiprokal dalam relasi gender: bahwa teks yang ditujukan kepada laki-laki juga
berlaku bagi perempuan, dan sebaliknya—sebuah langkah untuk menegakkan prinsip
kesalingan sebagai asas keadilan. Sementara itu, metodologi fatwa KUPI
mengusulkan paradigma fikih yang secara eksplisit berpihak pada perlindungan
kehidupan, kemaslahatan perempuan, dan keadilan sosial. Keduanya adalah bukti
bahwa hermeneutika Islam tidak harus terjebak dalam ruang kritik semata, tetapi
dapat menyeberang ke ruang konstruksi: menyusun ulang keberpihakan hukum demi
dunia yang lebih adil.
Di sinilah hermeneutika bersalin rupa menjadi etika: jika setiap
tafsir selalu berpihak, maka tugas kita adalah memastikan keberpihakan itu
jatuh pada yang lemah, bukan pada yang kuat; pada yang ditindas, bukan pada
yang menindas; pada kehidupan, bukan pada kematian; pada keadilan, bukan pada
privilese. Hermeneutika yang kritis tanpa keberpihakan akan berhenti sebagai
wacana. Tetapi hermeneutika yang dilanjutkan dengan keberpihakan, menjelma
menjadi praksis transformasi.
Maka di hari-hari kemerdekaan ini, mungkin sudah saatnya kita
berani menyuarakan satu agenda baru: fikih merdeka adalah fikih yang berpihak. Berpihak
pada keadilan gender, keadilan sosial, dan keadilan ekologis. Berpihak pada
mereka yang selama ini suaranya tenggelam di bawah riuh kuasa dan tradisi.
Sebab jika kemerdekaan berarti membebaskan manusia dari segala bentuk
penindasan, maka kemerdekaan fikih adalah membebaskannya dari klaim netralitas
palsu—agar ia kembali kepada panggilannya yang sejati: membela kehidupan, bukan
sekadar melestarikan teks.
0 Response to "Fikih yang Berpihak: Dari Hermeneutika ke Agenda Keadilan"
Post a Comment