/

Tokoh dalam Kacamata Hermeneutika: Membaca “Man Qāla” di Balik “Mā Qāla”

Di akhir tulisan sebelumnya, kita menggantung satu pertanyaan: apakah cukup menilai kebenaran dari apa yang dikatakan (mā qāla), tanpa menyelami siapa yang mengatakan (man qāla)? Pertanyaan ini membawa kita memasuki lorong hermeneutika, sebuah cara membaca yang tidak berhenti pada teks, tetapi menyingkap dunia yang melatari lahirnya teks itu sendiri.

Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip unẓur ilā mā qāla wa lā tanzur ilā man qāla telah lama menjaga kita dari jebakan kultus tokoh. Ia menegaskan bahwa argumenlah yang menjadi hakim tertinggi. Namun hermeneutika mengingatkan bahwa argumen tidak pernah lahir di ruang kosong. Ia selalu dibentuk oleh pengalaman penuturnya, oleh medan sosial dan politik yang mengitarinya, oleh posisi kuasa yang (disadari atau tidak) ia sandang. Maka untuk memahami sepenuhnya “apa yang dikatakan”, kita juga perlu mengintip “siapa yang mengatakannya” dan “mengapa ia memilih untuk mengatakannya demikian.”

Ambillah contoh klasik: tafsir para mufassir abad pertengahan terhadap ayat qiwāmah (QS An-Nisā’: 34). Secara formal, argumennya tampak runtut: laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena mereka memberi nafkah. Tetapi hermeneutika mengajukan pertanyaan lanjutan: siapakah para penafsir itu? Dalam masyarakat apa mereka hidup? Nilai-nilai apa yang mendominasi struktur sosial saat itu? Pertanyaan ini membuka kemungkinan bahwa tafsir tersebut tidak hanya merekam pesan teks, tetapi juga memantulkan wajah patriarki yang mengakar di masyarakat feodal kala itu.

Di titik ini, kita melihat dua hal berjalan beriringan. Dari satu sisi, mā qāla tetap penting sebagai argumen yang bisa diuji secara logis dan dalil. Dari sisi lain, man qāla menjadi penting untuk memahami horizon makna yang tersembunyi: mengapa argumen tertentu dipilih, kepada siapa ia diarahkan, dan dalam konteks apa ia memperoleh legitimasinya. Hermeneutika tidak membatalkan prinsip rasionalitas, melainkan memperkaya dengan sensitivitas historis.

Karena itu, membaca tokoh secara hermeneutis berarti menolak dua ekstrem: pertama, menelan mentah-mentah semua ucapannya hanya karena statusnya; kedua, menolak mentah-mentah semua ucapannya hanya karena biasnya. Hermeneutika mengajarkan keseimbangan: menghormati tokoh sebagai manusia historis yang berjuang memberi makna pada teks, tetapi juga sadar bahwa manusia selalu dibatasi ruang dan waktu.

Refleksi ini penting di momen kemerdekaan. Sebab kemerdekaan berpikir bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa pedoman, melainkan berani membaca dengan kritis sekaligus adil. Berani menimbang isi argumen, dan berani pula menyibak motif serta horizon si penutur. Karena dengan itu, kita merdeka bukan hanya dari kultus tokoh, tetapi juga dari ilusi netralitas argumen.

Maka di hadapan tokoh, ulama, atau siapa pun yang kita kagumi, marilah kita bertanya dengan jernih: bukan hanya “apa yang ia katakan?”, tetapi juga “mengapa ia mengatakan itu, dalam konteks apa, dan untuk siapa?”. Hanya dengan cara inilah kita benar-benar menegakkan kemerdekaan berpikir yang kita rayakan: kemerdekaan yang rasional sekaligus hermeneutis, dan kritis sekaligus manusiawi.

0 Response to "Tokoh dalam Kacamata Hermeneutika: Membaca “Man Qāla” di Balik “Mā Qāla”"

Post a Comment