Makalah Hukum Pacaran dalam Islam: Bolehkah Pacaran dalam Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Makna Pacaran
Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(Edisi Ketiga,2002:807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap
dan mempunyai hubungan berdasarkan cnta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan;
berkasih-kasihan. Memacari adalah mengencani; menjadikan dia sebagai pacar.[1]
Kata pacar sendiri berasal dari sejenis
nama tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali. Tanaman ini
tidak bernilai ekonomis (murahan) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini
sebagai simbol bahwa pacaran adalah prilaku yang tidak bernilai. Jika suatu
waktu puas dengan pacarnya, maka dia akan mudah beralih kepada pacarnya yang
baru. Pacaran sendiri dapat diartikan ajang saling mengenal agar mengetahui
karakter masing-masing. Kenyataannya justru bukannya saling mengenal tapi upaya
melampiaskan nafsu birahi. Seorang laki-laki menemui pacarnya, umumnya bukan
untuk menyelidiki latar belakang si wanita itu, melainkan ingin melihat
kecantikan wajahnya dan kemolekan tubuhnya.[2]
Dari sudut bahasa sudah nampak bahwa
pacaran adalah hubungan cinta kasih antara lawan jenis di luar nikah, tidak
bernilai, dan mengandung unsur-unsur yang membahayakan masa depan kedua
pasangan tersebut baik dunia maupun akhirat.[3]
B. Model Atau Tipe Pacaran
model pacaran menurut Muhammad Muhyidin
dalam bukunya “Pacaran Setengah Halal Setengah Haram” terbagi menjadi
dua, yaitu :
a) Pacaran
yang memperbodoh
Pacaran yang memperbodoh ini dapat
didefinisikan secara ringkas sebagai wujud dari pacaran yang menjadikan sepasang
kekasih terjauhkan dari nilai-nilai moral agama (moralitas agama).
Secara lebih jelasnya, kita menemukan
bahwa ternyata ada tiga maksud dari istilah pacaran yang memperbodoh diri
menurut sudut pandang kita sebagai orang yang beriman, yaitu :
1.
Pacaran yang
ditandai dengan perilaku sepasang kekasih yang berkencan berdua-duaan hingga
melakukan hal-hal yang terlarang.
2.
Pacaran yang
menyebabkan para pecinta mengalami kerusakan secara psikis.
3.
Pacaran yang
menyebabkan para pecinta mengalami kerusakan fisik.[4]
b) Pacaran
yang mencerdaskan
Pacaran yang mencerdaskan adalah apabila
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang terlibat hubungan asmara
dan mereka bisa mencapai kebahagiaan, kenyamanan dan kedamaian karena
menjadikan Allah SWT sebagai poros cinta mereka. Ialah pacaran yang
menjadikan Allah SWT., Sebagai pusat
cinta, menjadikan keridhaan-Nya sebagai tujuan cinta, dan menjadikan cinta-Nya
sebagai acuan untuk mengembangkan cinta di antara mereka.
Dengan cara demikian, para pecinta dan
para kekasih yang dicinta tidak akan pernah merasakan gejolak jiwa yang justru
membuat diri mereka sendiri celaka. Kerinduan, kecemasan, kekhawatiran,
ketakutan dan sifat-sifat yang cenderung negatif lainnya sebagai sifat umum,
yang dirasakan oleh para pecinta tidak akan membuat pecinta terluka oleh sebab
yang dicinta tidak memenuhi harapannya.[5]
C. Hukum Pacaran Dalam Islam, Adakah Pacaran Dalam
Islam?
Sebagaimana disebutkan dalam kamus di
atas, memacari berarti mengencani. Sementara kencan sendiri menurut kamus
tersebut adalah berjanji untuk saling berrtemu disuatu tempat dengan waktu yang
telah ditetapkan bersama. Jadi, berpacaran berarti berkencan atau bercintaan
berdua di tempat yang disepakati berdua. Dalam praktiknya, ada transfer birahi
antara kedua lawan jenis yang dilanda asmara. Mengingat landasan keduanya
adalah nafsu birahi, maka jangan heran jika dalam praktiknya akan ditemukan
unsur-unsur yang mengarah pada pemuasan nafsu birahi. Apalagi berdua di tempat
sepi baik di rumah atau di tempat piknik, mereka berdua akan semakin mudah
melakukan hal-hal yang melanggar hukum. Berdua di tempat sepi menunjukkan sikap
yang tidak bertanggung jawab karena keduanya sengaja menjerumuskan diri pada
jurang kehancuran. Apalagi setan sebagai pihak ketiga, akan terus
memanas-manasi kedua insan yang dilanda asmara itu untuk terus menuju pemuasan
yang sesungguhnya yaitu zina.[6]
Sabda Rasulullah saw.:
“Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan
dengan wanita yang tidak didampingi muhrimnya, sebab bila demikian setanlah
yang menjadi pihak ketiga.”(HR. Ahmad).
Prakter pacaran saat ini merupakan
pembenaran pada prilaku seksual. Sebagaimana diungkapkan di atas. Menurut
survey, prilaku remaja saat pacaran sudah menjerumus perzinaan yang dilegalkan
oleh keluarga mereka. Keluarga muslim saat ini memandang pacaran sebagai hal
yang lumrah atau biasa. Padahal haramnya khalwat
mengandung dosa besar karena sudah mendekatkan diri pada perzinaan yang dilarang
Islam. Dengan demikian praktik pacaran kini hakikatnya sudah melanggar makna
pacaran sendiri sebagai ajang perkenalan.[7]
Dari pemaparan di atas jelaslah, pacaran
bukan dari Islam, melainkan budaya jahiliyyah yang harus ditinggalkan oleh
segenap remaja muda Islam. Karena itu mustahil ada pacaran yang Islami. Seperti
halnya mustahil ada judi yang islami, bangkai islami, khalwat islami, dll.
Sekalipun dikaitkan dengan hukum-hukum Islam.
Namun bagi mereka yang tetap berpijak
pada langkah-langkah jahiliyyah, Rasulullah memperingatkan:
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termsuk golongan kaum itu”
(HR. Muslim).
Untuk itu seorang muslim harus selektif
dalam melakukan suatu amalan. Setiap prilaku yang bukan dari Isalam harus
dibuang jauh-jauh karena akan mendatangkan bencana dalam hidup. Sebaliknya apa
yang datang dari Islam harus disambut hangat karena akan mendatangkan
kemaslahatan.[8]
Jadi, istilah pacaran secara harfiah
tidak dikenal dalam Islam, karena konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan
pra-nikah yang lebih intim dari sekadar
media saling mengenal. Islam
menciptakan aturan yang sangat indah hubungan lawan jenis yang sedang jatuh
cinta, yaitu dengan konsep khithbah. Khithbah adalah sebuah konsep
“pacaran berpahala” dari dispensasi agama sebagai media legal hubungan lawan
jenis untuk saling mengenal sebelum memutuskan menjalin hubungan suami-istri.
Konsep hubungan ini sangat dianjurkan bagi seseorang yang telah menaruh hati
kepada lawan jenis dan bermaksud untuk menikah. Akan tetapi hubungan ini harus
tetap terbingkai dalam nilai-nilai kesalehan, sehingga kedekatan hubungan yang
bisa menimbulkan potensi fitnah sudah di luar konsep ini.[9]
D. Pengertian Ta’aruf
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah
memberikan petunjuk, bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan
perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat
berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)[10]
Dariayat di atas maka dapat diketahui
bahwa kalimat ta’aruf itu asal katanya dari bahasa arab “ta’arofu”(artinya:
saling mengenal) dan secara istilah ta’aruf adalah proses saling
mengenal antara seseorang dengan orang lain dengan maksud untuk saling mengerti
dan memahami. Sedangkan dalam Konteks Pernikahan, maka ta’arufdimaknai
sebagai “Aktivitas saling mengeal, mengerti dan memahami untuk tujuan meminang
atau menikah.”[11]
Dengan demikian, islam memiliki etika
dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita sebelum menuju
jenjang pernikahan, dimana tahapan awal pada umumnya melalui proses ta’aruf.
Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal
kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama
kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang
dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di antara
mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling mengenal
kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan jalan bersilaturahmi ke orang
tua keduannya.[12]
Ta’aruf bisa
juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu
keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khithbah
– ta’aruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud
agar saling mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam
melakukan pengenalan dan pendekatan. Ta’aruf sangat berbeda dengan
pacaran. Ta’aruf secara syar’i memang diperintahkan oleh
Rasulullah saw. bagi pasangan yang ingin nikah.
E. Tata Cara Ta’aruf Menurut Syariat Islam
Ketika melakukan ta'aruf, seseorang baik pihak
laki-laki atau perempuan berhak untuk bertanya yang mendetail, seperti tentang
penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus
jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal
nantinya.[13]
Pihak yang ditipu akan merasa dizhalimi dan dicurangi,
sehingga mendendam pihak yang menipunya. Dapat dipastikan, pihak yang ditipu
itu akan merasa kecewa dan tidak puas dengan pernikahan tersebut, memandang
rendah pasangannya, dan tidak mempercayai pasangan yang pernah menipu,
mencurangi dan menutup-nutupi kebenaran darinya.[14]
Dalam upaya ta’aruf dengan calon pasangan,
pihak laki-laki dan perempuan dipersilahkan menanyakan apa saja yang kira-kira
terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan.
Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh
dilakukan hanya berdua saja, tetapi harus ada yang mendampinginya dan yang
utama adalah wali atau keluarganya. Jadi ta’aruf bukanlah bermesraan
berdua, tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk
mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua. Sisi yang dijadikan pengenalan
tidak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil
yang menurut masing-masing pihak cukup penting.
Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan
untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan hanya sekedar
curi-curi pandang atau mengintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan
seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to
face, bukan melalui media foto, lukisan atau video.
Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan
aurat, jadi tidak ada salahnya untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf,
yang namanya melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau
perlu dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh
disana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua tapak tangan calon
istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena tapak
tangan wanita pun bukan termasuk aurat.
Selain urusan melihat fisik, ta’aruf juga harus
menghasilkan data yang berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara
kehidupan dan lain-lainnya. Hanya saja, semua itu harus dilakukan dengan cara
yang benar dan sesuai dengan koridor Syariat Islam. Minimal harus ditemani
orang lain baik dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak
dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, dan
sebagainya dengan menggunakan alasan ta’aruf. Janganlah ta’arufmenjadi
pacaran. Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilat antara
pasangan yang belum resmi menjadi suami istri.
Bila kita cermati ayat atau hadits tentang
pernikahan, maka kita akan menemukan bahwa kita di anjurkan untuk menikah
dengan orang yang kita sukai. Dalam hal ini, suka menjadi “Hal” atau Syarat
untuk menikah. Nabi Muhammad saw. bersabda dalam sebuah hadits yang
di riwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad hasan dari Jabir Bin Abdillah
Al-Anshari yang menuturkan bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda “Jika
salah seorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita dan mampu melihat
(tanpa sepengetahuan wanita tersebut), bagian dan anggota tubuh wanita
tersebut, sehingga bisa mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah”.
Juga hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad As-Saidi. Dia menceritakan bahwa ada seorang
wanita yang mendatangi Rasulullah saw. dan mengatakan “Wahai Rasulullah aku
datang untuk menghadiahkan diriku padamu”. Rasulullah saw. lantas memandangnya
dari atas sampai bawah, setelah itu menundukkan kepala.
Allah swt. berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 52 :
w @Ïts s9 âä!$|¡ÏiY9$# .`ÏB ß÷èt/ Iwur br& tA£t7s? £`ÍkÍ5 ô`ÏB 8lºurør& öqs9ur t7yfôãr& £`åkß]ó¡ãm wÎ) $tB ôMs3n=tB y7ãYÏJt 3 tb%x.ur ª!$# 4n=tã Èe@ä. &äóÓx« $Y7Ï%§ ÇÎËÈ
“Tidak Halal bagi kamu mengawini perempuan-perempuan
sesudah itu, tidak boleh pula mengganti mereka dengan istri-istri yang lain,
meskipun kecantikannya menarik hatimu”. (Al-Ahzab:52).
Juga Firman Allah swt. dalam surat An-Nisa ayat 3 :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
“Maka nikahilah oleh kalian wanita yang kalian sukai”. Dari penjelasan ini jelas bahwa Ta’aruf berfungsi untuk
mengetahui hal-hal yang bisa membuat kita tertarik / suka dan yakin akan
menikahi orang tersebut.[15]
F. Khitbah (Meminang), Pengertiannya dan Hakikatnya
Al-Khitbah (dengan dibaca kasrah kha-nya) secara
bahasa ialah seseorang yang meminang perempuan pada suatu kaum, jika ia ingin
menikahinyan. Apabila ia dibaca fathah, atau dhammah kha-nya bermakna orang
yang berkhutbah pada suatu kaum dan menasehatinya, bentuk jamaknya khuthabun dan fail
(pelakunya) disebut khatib.[16]
Adapun jika kha-nya dibaca kasrah dibaca secara syara’
adalah keinginan seorang laki-laki untuk memiliki perempuan yang jelas dan
terlepas dari berbagai halangan. Atau keinginan seorang laki-laki untuk
memiliki perempuan yang halal dinikahi. Jika seorang laki-laki telah mantap
dalam memilih kebaikannya rela dengan perempuan yang dipilihnya dengan
sifat-sifatnya, dan ia mengetahui kehidupannya serta menanggung kebahagiaan
baginya, dan mencapai keinginannya, kemudian ia menyampaikan khitbah pada
perempuan tersebut.[17]
Sedangkan, pengertian “peminangan” berasal dari kata
“pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonomnya adalah melamar, yang dalam
bahasa arab disebut “khithbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar
artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri
atau orang lain)”. Menurut terminologi prminang ialah “ kegiatan upaya ke arah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang perempuan dengan seorang wanita”.
Atau, “ seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.[18]
Khitbah (meminang) merupakan pernyataan yang jelas atas
keinginan menikah, ia merupakan langkah-langkah menuju pernikahan. Sungguh
Islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat-sifat
perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan
orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan
pernikaha. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara
indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan
kehidupannya.[19]
Dalam hadis disebutkan:
“Dari Jabir bin
Abdullah berkata: Rasulullah saw bersabda:’Jika seorang meminang perempuan,
maka jika mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan untuk
menikahinya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik
untuk menikahinya maka nikahilah.”(HR Ahmad At-tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Dari Almughirah
bin Syu’bah berkata: “Aku mendatangi Nabi saw, lalu aku ingat seorang perempuan
yang akan kupinang, lalu Nabi berkata:’Pergilah kepadanya, karena hal itu lebih
patut untuk mendekatkan kalian berdua. ‘Ia berkata: lalu aku mendatangi seorang
perempuan dari golongan Anshar kemudian aku meminangnya pada kedua orangtuanya.
Aku ceritakan kepada mereka tentang ucapan Rasulullah saw, seakan-akan mereka
berdua benci karenanya. Ia berkata: lalu perempuan itu mendengarnya, ia berada
dalam kamarnya dan berkata: ‘Jika Rasulullah saw memerintahkanmu untuk melihat,
maka lihatlah, dan jika tidak maka aku berdandan untukmu’seakan-akan ia menjadi
mulia karennya. Laiki-laki itu berkata: kemudain aku melihatnya dan aku
menikahinya.”(HR Ahmad At-tirmidzi, dan Ibn Majah).[20]
Lalu apakah lamaran ini merupakan ikatan yang harus
ditentukaan syariat? Apakah lamaran ini merupakan ikatan yang langsung boleh
dilakukan kedua belah pihak ataukah tidak?
Dua pertanyaan ini dijawab Al-Imam As-suyuthy Rahimahullah dengan berkata, “Lamaran
bukan merupakan ikatan yang tata pelaksanaannya ditentukan syariat. Kurang pas
kalau lamaran ini disebut dengan istilah ikatan, karena masing-masing boleh
melaksanakannya dengan caranya masing-masing.”[21]
Siapapun yang saudah berkehendak untuk menikah, tentu
dia akan menyelidiki nasab wanita yang diinginkannya, kedudukannya di tengah
masyarakat dan persiapannya untuk menikah. Laki-laki yang hendak mngajukan
lamaran boleh mencari informasi tentang wanita hendak dilamarnya dari pengabaran
orang-orang yang pernah bergaul dengannya. Yang tentu saja dia akan mencari
informasi itu dari orang yang benar-benar dapat dipercaya dan lurus, agar
infprmasi yang disampaikannya akurat karena didorong rasa cinta, dan bukan
karena rasa dengki. Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah mengutus
Ummu Sulaim untuk menyelidiki seorang wanita, dengan bersabda, “Lihatlah urta
di atas tumitnya dan bauilah kulitnya.”[22]
Meminang harus memenuhi dua syarat:
1. Tidak didahului oleh pinangan laki-laki lain secara syar’i, berdasarkan
sabda Rasulullah saw:
“Seorang mukmin adalah saudara orang
mukmin, maka tidak halal baginya untuk membeli (menawar) pembelian saudaranya
dan tidak boleh meminang pianangan saudaranya, sampai saudaranya membatalkan
pinanagan itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Perempuan yang dipinang tidak terhalang oleh halangan syar’i, yang
menyebabkan tidak dapat dinikah. Sedang perempuan yang dapat dinikah,
syaratnya:
a. Tidak bersuami.
b. Perempuan itu bukan orang yang haram dinikahi untuk waktu tertentu atau
selamanya.
c. Tidak dalam iddah, baik iddah ditinggal mati suami atau karena thalak, baik
thalak raj’i maupun ba’in.[23]
G. Melihat Wanita Yang Dilamar
Syariat telah memperbolehkan laki-laki pelamar untuk
melihat wanita yang hendak dilamarnya, karena hal ini bisa mendorongnya untuk
menikahi wanita itu dengan suatu gambaran yang lebih mudah baginya untuk
ditempuh. Karena itu melihat wanita yang hendak dilamar adalah mubah menurut
syariat dan disepakati para ulama.[24] Hanya
saja mereka berbeda pendapat tentang “Obyek pandang”. Ada lima pendapat tentang
masalah ini:
1) Menurut pendapat jumhur, dia boleh melihat dua telapak tangan dan wajahnya.
Memandang wajah sudah mewakili pernilaian terhadap kecantikannya dan memandang
telapak tangan sudah mewakili keadaan badannya, gemuk atau tidak, kulitnya
halus apa tidak, dan lain-lainnya. Al-Imam Malik dan Al-Imam Abu Hanifah
menambahi, dia boleh memandang telapak kakinya. Pendapat ini juga disepakati
para pengikut mazhab Asy-asyafi’i.[25] Dalil
yang mendukung pendapat ini adalah firman Allah Annur 31.
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
2) Memandang apa yang biasa tampak darinya selainwajah, seperti dua lengan dan
telapak kaki. Ada pendapat tentang memandang bagian ini:
a. Tidak boleh memandangnya, karena lengan wanita termasuk aurat. Yang
diperlukan saat memandangnya cukup pada
bagian wajah berarti selainnya adalah haram.
b. Boleh memandangnya yang memang didorong keinginan untuk menikahinya.
Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad, bahwa dia berkata, “Boleh memandang lengannya
atau memandang bagian tertentu yang menimbulkan dorongan untuk menikahinya,
seperti tangan atau bagian lain yang biasa tampak.[26]
3) Memandang seluruh badan, ini merupakan pendapat Ibnu Hazm dan golongan ahli
zhahir. Dengan kata lain siapa yang hendak menikahi seorang wanita merdeka,
maka secara sembunyi-sembunyi dia boleh memandang apa yang biasa tampak dan apa
yang tidak biasa tampak dari badan wanita. Dalilnya salah satu hadist Jabir bin
Abdullah, Rasulullah saw bersabda:
“Jika salah seorang di
antara kalian melamar seorang wanita, maka jika dia sanggup memandang apa yang
mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.”(Diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad).
4) Memandang bagian badannya yang tumbuh daging. Ini merupakan pendapat
Al-Auza’y dan dikuatkan Sayyid Sabiq. Dia berkata, “Beberapa hadis tidak
menetapkan bagian mana yang boleh dilihat. Maka pandangan boleh diarahkan ke
bagian mana yang bisa mendorong maksudnya.”
5) Tidak boleh memandang mana pun dari wanita yang dilamarnya, termasuk pula
wajahnya, baik dia hendak menikahinya ataupun tidak , kecuali jika sudah
menjadi istrinya dan mahramnya. Ini merupakan penuturan Ath-Thahawy dari
pendapat beberapa ulama. Mereka berdalil dengan hadis marfu’, beliau bersabda:
“Wahai Ali, sesungguhnya engkau mempunyai simpanan di surga dan engkau mempunyai
pasangannya. Maka janganlah engkau menyertai pandangan dengan pandangan lagi.
Sesungguhnya pandangan yang pertama bagimu dan kedua bukan lagi bagimu.”
(Diriwayatkan Ahmad).[27]
H. Boleh Menawarkan Putrinya Atau Saudarinya Untuk Dinikahi
Laki-Laki Yang Taat Beragama Dan Bagus Akhlaknya
Orang-orang pada periode pertama dari kalangan sahabat
Nabi saw biasa mencari sendiri orang-orang yang shalih untuk dijodohkan dengan
putrinya atau saudarinya. Mereka melakukan hal itu tanpa sungkan-sungkan dan
dengan cara yang terang-terangan.[28]
Inilah Umar bin Al-Khaththab r.a bergerak sendiri
setelah putrinya, Hafshah menjanda, karena suaminya, Khunais bin Hudzafah
meninggal karena mendapat luka pada perang Uhud. Tanpa sungkan-sungka dia
menawarkan putrinya kepada pemuka sahabat. Dia menawarkannya kepada Utsman bin
Affan, yang kemudian dijawab Utsman, “Akan kupikirkan masalah ini.” Setelah
selang beberapa hari kemudian Umar berpapasan dengan Utsman, yang dijawab,
“Pada hari ini aku belum ingin menikah lagi.”
Kemudian dia menawarkannya kepada Abu Bakar. Namun Abu
Bakar sama sekali tidak memberi jawaban, sehingga hal ini membuat Umar agak
marah. Kemarahannya kepada Abu Bakar lebih besar daripada kemarahannya kepada
Utsman. Sebab Utsman jelas-jelas memberi jawaban sejak semula, lalu memberinya
kepastian berikut alasannya. Sedangkan Abu Bakar sama sekali tidak memberinya
jawaban. Lalu Umar pergi menemui Rasulullah saw untuk mengadukan penolakan
Ustman dan diamnya Abu Bakar. Maka dia menyerahkan masalah ini kepada beliau.
Lalu beliau bersabda, yang intinya sebagai berikut,”Boleh jadi orang yang
menggantikan suami putrimu adalah orang yang lebih baik dari Ustman dan yang
akan menggantikan isri Ustman adalah wanita yang lebih baik daripada putrimu.”
Akhirnya Nabi saw yang menikahi putri Umar, Hafshah,
dan beliau menikahkan Ustman dengan putri beliau, Ummu Kaltsum. Baru setelah
itu Abu Bakar menjelaskan kepada Umar, mengapa dia diam saja tanpa memberi
jawaban. Dia berkat,”Aku sudah tahu bahwa Rasulullah saw menyebut-nyebut
putrimu. Tapi aku tidak berani membocorkan rahasia Rasulullah saw. Andaikata
beliau tidak menikahi putrimu, tentu aku mau menerimanya.” (Diriwayatkan
Al-Bukhary).[29]
Begitulah akhlak para sahabat Rasulullah saw. Mereka
tidak merasa riskan menerima atau menolak rencana pernikahan, karena tujuan
mereka semua adalah memenuhi hak Allah, baik yang berkaitan dengan nasib
putrinya baik saudarinya, karena mereka jualah yang berhak untuk mencintai
putri atau saudarinya. Tapi manusia pada zaman sekarang tidak mengenal
adab-adab semacam yang mulia ini. Jika ada salah seorang diantara mereka yang
mengikuti cara para sahabat itu, maka mereka pun mengolok-olok dan
menertawakannya, karena yang demikian itu dianggap seperti menawarkan barang
dagangan yang tidak laku dan bisa menjatuhkan nama baik keluarga, kehormatan
putri dan saudarinya.[30]
I. Ayah Mengajukan Lamaran Kepada Laki-Laki Untuk
Putrinya
Dalam sebuah wawancara seorang wartawan pada waktu
belakangan ini, diturunkan sebuah tulisan seputar masalah pernikahan. Adapun
yang diwawancarai adalah beberapa remaja laki-laki dan wanita serta para bapak.
Yang intinya, bagaimana pendapat dan reaksi masing-masing antara mereka jika
seorang bapak dari seorang putri yang sudah siap untuk menikah mencari suami
yang cocok bagi putrinya itu, dari segin agama maupun akhlaknya, sehingga
dengan begitu sang bapak tahu betul bagaimana keadaannya.[31]
Salah seoeang pemuda yang diwawancarai tentang masalah
ini menjawab, “Jika ada seorang mengajukan lamaran kepadaku untuk putrinya maka
saya menganggap tindakannya itu bukan sesuatu yang aneh. Sebab sebagai orang
yang paling berkompeten, tentunya dia ingin memperoleh suatu kesaksian tentang
calon suami bagi putrinya. Tentunya seorang bapak tidak akan mengajukan lamaran
kecuali kepada laik-laki yang diyakini akhlak dan agamanya, demi kemaslahatan
putrinya. Memang boleh jadi lamaran itu untuk kepentingan dunia. Dengan kata
lain, dia ingin melihat putrinya berbahagia di rumah suaminya. Menurut hemat
saya andaikan bapak itu mengajukan lamaran kepaad saya untuk menikah dengan
putrinya, maka saya akan menerimanya dengan senang hati. Tentu saja setelah
melihat keadaan putrinya sesuai dengan ketetapan syariat kalau pun saya berpikir
tidak layak menikah dengan putrinya dan mengembang tanggup jawab ini, maka saya
akan mengajukan alasan tentang keberatan saya ini dengan cara yang sopan dan
tepat.”
Pemuda lainnya menjawab, “Saya kira bapak yang
mengajukan lamaran untuk putrinya, berkaitan dengan komitmen agama dan
amanahnya. Kalaupun itu benar-benar dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak
membuatnya hina atau terlecehkan. Saya sendriri tentu merasa tersanjung jika
bapak tersebut menjatuhkan pilihan kepada saya ketimbang teman-teman saya.
Bukankah ini bukti tentang kepercayaan yang ia berikan? Secara pribadi saya
mendorong para bapak untuk melakukan cara ini. Sebab tidak ada yang tercela
dalam cara ini.”
Dari beberapa jawaban ini kiat bisa melihat bahwa
mereka bisa menerima cara ini, dan bahkan mereka mendorong dan sangant salut
kepada cara ini, agar memasyarakat di tengah umat.
Tapi apakah anak putri bisa menerima lamaran model
ini? Di sini kami akan mengemukakan pendapat anak putri yang berbeda,
sebagaimana yang dimuat dalam sebuah masmedia, dari hasil wawancara dengan
beberapa remaja putri, agar kita bisa mengetahui sejauh mana pandangan,
pendapat atau apa yang melintas di dalam perasaan mereka tentang cara lamaran
ini.[32]
Seorang remaja putri menjawab, “Boleh jadi alasan
pertama untuk menolak tindakan ini adalah “Keberanian” sang bapak. Sebab
bagaimanapun juga cara ini akan menimbulkan berbagai interpretasi. Tapi toh
akhirnya akan bermuara pada satu pengakuan bahwa cara ini akan membahagiakan
anak putri, karena ternyata dia mendapat perhatian yang begitu besar dari
bapaknya.”
Remaja putri lainnya menjawab, “Saya menganjurkan
semua bapak agar melakukan cara ini. Sebab pandangan dan pertimbangan bapak
dalam masalah ini lebih matang daripada pertimbangan anak putrinya.”
Lalu apakah para bapak akan mencari calon menantu bagi
putrinya yang sudah memasuki usai nikah? Ataukah diantara mereka ada yang
merasa riskan untuk melakukan cara ini? Ataukah dia cukup memandangi
dahan-dahan putrinya yang hijau makin lama makin layu, karena menunggu seoarang
laki-laki yang lewat dan kebetulan memandangnya, atau bahkan tidak ada yang
lewat sama sekali?
Kita bisa mengetahui semua ini lewat tulisan seorang
wartawan yang mewawancarai beberapa bapak. Seoranng bapak berkata, “Tentu saja
saya akan mencarikan seorang calon suami bagi putriku. Bahkan aku akan berusaha
untuk ini, terutama jika saya melihat seorang pemuda yang lurus dan cocok untuk
saya jodohkan dengan putri saya, sekalipun dia tidak memberikan mas kawin.”
Seorang bapak lainnya berkata, “Allah telah
menganugerahkan nikmat kepada saya berupa beberapa anak putri. Saya pernah
mengajukan lamaran untuk sebagian putri saya dan sebagian lain ada yang memang
dilamar laki-laki. Putri-putri saya yang suaminya saya carikan, hidup bahagia,
sebab pilihan saya juga tak lepas dari pilihan putri-putri saya. Toh ini
merupakan cara yang ma’ruf dalam sirah nabawy dan kehidupan orang-orang
shalih.”[33]
Dari paparan beberapa pendapat ini dan juga
lain-lainnya kita bisa tahu bahwa Islam menganjurkan orang Muslim memilihkan
seorang suami bagi putrinya atau bagi saudarinya atau bagi kerabatnya yang
wanita, yang didasarkan kepada firman Allah. An-Nur : 32
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
J. Pinangan Seorang Laki-laki Atas Pinangan Saudaranya
Islam menghaamkan seorang laki-laki yang meminang atas
pinangan saudaranya selama pinangan tersebut masih terjalin. Hal tersesbut
dimaksudkan untuk menyelamatkan pernikahan dari permusuhan buruk yang bisa
menyakitkan hati, meluluhkan perasaan, dan memutuskan hubungan.[34]
Jika berdasar keyakinan dan ketinggian kedudukan
mengubah berbagai macam pertimbangan, sehingga membengkokkan yang lurus maka
tidak akan ada tempat untuk kemuliaan akhlak atau keluhuran jiwa. Islam
membenci kekacauan atas kebenaran di masyarakat, memerangi kebingungan
pandangan, dan kerusakan kedudukannya.
Dalam hadis disebutkan:
Nabi saw bersabda: “Seorang mukmin adalah saudara mukmin yang lainnya, maka tidaklah halal
bagi seorang mukmin untuk membeli di atas pembelian saudaranya dab tidaklah
meminang atas pinangan saudaranya.”(HR. Muslim).[35]
Adapun perempuan yang dicerai dengan talak ba’in,
diperbolehkan meminang dengan sindiran. Adapun perempuan yang dicerai dengan
talak raj’i, maka haramlah meminang dengan sindiran dan secara jelas,[36]
berdasarkan firman Allah swt:
K. Kerelaan Perempuan
Islam tidak membolehkan para perempuan dinikahkan secara paksa. Bahkan
Islam mensyaratkan izin dan penerimaan mereka. Oleh karena itu, diwajibakan
untuk meminta izin kepada para perempuan sebelum dinikahkan. Kerelaannya
dianggap menjadi syarat untuk melakasanakan akad.[37]
Sebagaimana pendapat mazhab Abu Hanifah dengan berpedoman pada hadis Nabi saw:
“Janda tidak dinikahkan
kecuali ditanyakan kepadnya, dan perawan tidak dinikahkan kecuali dengan
izinnya. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah bagaimana izin perawan?’Nabi
menjawanb’Jika ia diam’.”[38]
Dalam riwayat lain:
“Janda lebih berhak
atas dirinya daripada walinya dan perawan ditanyakan kepadanya dan izinnya
adalah diamnya.”[39]
“Dari Ibnu Abbas
berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: Janda lebih berhak atas dirinya daripaad
walinya dan perawan dimintai izin atas dirinya. Izinnya adalah diamnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).[40]
L. Meminag Perempuan Yang Sedang Dalam Masa Iddah
Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam
masa iddah,baik karena kematian suaminya, karena talak raj’i maupun ba’in, maka
hukumnya haram.[41]
Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i
maka ia haram dipinang, karena masih ada ikatan mantan suaminya, dan suaminya
itu masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka. Jika perempuan yang
sedang iddah karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang-terangan
karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya, juga masih
mempunayi hak untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain
meminangnya di masa iddahnya berarti ia melanggar hak mantan suaminya.[42]
M.
Membatalkan Pinangan
Jika salah seorang peminang dan yang dipinang membatalkan pinangan setelah
pemberitahuannya, dan jika peminang telah memberikan seluruh mahar atau
sebagian maka haruslah dikembalikan menurut kesepakatan ulama fiqh. Karena
peminang seperti akad yang belum sempurna. Adapun jika yang diberikan merupakan
hadiah maka baginya berlaku hokum hadiah. Baginya unruk mengembalikan jika
tidak ada penghalang yang mencegah pengembalian dalam pemberian itu, seperti
kerusakan dan hilangnya barang yang diberikan tersebut.[43]
Jika yang membatalkan pihak peminang, maka tiadalah keharusan baginya untuk
mengembalikan sesuatu dari yang diberikannya dan tidak mengembalikan sesuatu
yang diinfakkan.[44]
Jika dari perempuan yang dipinang maka peminang mengembalikan sesuatu yang
telah diinfakkan, dan mengembalikan hadiah yang diberikan kepadanya jika masih
ada, atau sebesar nilai dari barang tersebut jika dirusakkan atau telah rusak,
selama tidak adanya syarat atau kebiasaan selainnya. Ini merupakan pendapat
yang diambil dari mazhab Maliki.[45]
Terkadang pembatalan pinangan mengakibatkan bahaya pada pihak yang lain
dari segi kemuliaan atau harta, apakah pihak yang lain membatalkan pinangan
ditintut ganti yang semisal atau bahaya itu?
Sebagian ulama fiqh berpendapat ketidakbolehannya tuntutan ini karena
pembatalan merupakan hak bagi setiap peminang dan yang dipinang. Tiada
tanggungan bagi orang yang menggunakan haknya.[46]
Sebagian ulama fiqh melihat ada hukum penggantian jika pihak lain mengalami
bahaya dengan sebab pembatalan ini, karena dalam hadis disebutkan:
لاضرر ولا ضرر
Tiada bahaya dan tiada membuat bahaya.[47]
[1] Abu
Al-Ghifari, Pacaran Yang Islami Adakah?,
(Bandung:Mujahid Press, 2009), hal 19
[2] Ibid,
hal 20
[3] Ibid
[4] Muhammad
Muhyidin, Pacaran Setengah Halal dan Setengah Haram (Jogyakarta:Diva
Press, 2008), hal 275-281
[5] Ibid,
hal 303
[6] Abu
Al-Ghifari,Opt.Cit, hal 21
[7] ibid
[8] Ibid,
hal 23
[9] http://kuliahsingkatku.blogspot.co.id/2013/06/makalah-agama-pacaran-dalam-prespektif.html, diakses pada tanggal 26 September
2015
[10] M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih
Nikah Lengkap (Jakarta:Rajawali Pres, 2009) hal 22-23
[11] http://saif1924.wordpress.com/2008/01/02/penjelasan-seputar-ta%E2%80%99aruf-dan-walimah/
diakses pada tanggal 26 September 2015
[13] http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan-pacaran.htmldiakses pada tanggal 26 September 2015
[14]Syaikh Fuad Shalih, Untukmu Yang Akan
Menikah & Telah Menikah(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2005) cet ke-I, hal
130
[15] http://tugaskuliahtia.blogspot.com/2011/06/makalah-beda-taaruf-dengan-pacaran.html diakses pada tanggal 26 September 2015
[16] Ali
Yusuf As-subki, Fiqh Keluarga, Pedoman
Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta:Amzah, 2010), hal 66
[17] Ibid
[18] Abdul
Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat,
(Jakarta:Kencana, 2010), hal 74
[19] Ali
Yusuf As-subki, Loc.Cit
[20] Ali Yusuf
As-subki, Opt.Cit, hal 68
[21]
Butsainan As-Sayyid Al-Iraqy, Rahasia
Pernikahan Yang Bahagia, Terj Kathur Suhardi, (Kampung Melayu:Ustaka Azzam,
2002), hal 39
[22] Ibid,
hal 40
[23] Al
Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan
Nikah), (Jakarta:Pustaka Amani, 2002), hal 31
[24]
Butsainan As-Sayyid Al-Iraqy, Opt.Cit, hal
40
[25] Ibid
[26] Ibid,
hal 41
[27] Ibid,
hal 42
[28] Ibid,
hal 44
[29] Ibid,
hal 45
[30] Ibid,
hal 46
[31] ibid
[32] Ibid,
hal 47
[33] Ibid,
hal 48
[34] Ali
Yusuf As-subki, Opt.Cit, hal 69
[35] Ibid,
hal 70
[36] Ibid,
hal 71
[37] Ibid,
hal 73
[38] ibid
[39] Ibid,
hal 74
[40] Ibid
[41] Abdul
Rahman Ghozali, Opt.Cit, hal 79
[42] Ibid,
hal 80
[43] Ali
Yusuf As-subki, Opt.Cit, hal 95
[44] Ibid
[45] Ibid, hal 96
[46] ibid
[47] Ibid
0 Response to "Makalah Hukum Pacaran dalam Islam: Bolehkah Pacaran dalam Islam?"
Post a Comment