Makalah Tentang Mahar: Tafsir Ahkam
MAHAR
(Surat An-Nisaa’ Ayat 4 Dan 19)
A. Ayat Dan Terjamahan Surat An-Nisaa’ Ayat 4 Dan 19
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
Terjamahan :
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan
nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”[1]
(QS. An-Nisaa’ [4]: 4)
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
Terjamahan :
“Wahai orang-orang yang beriman ! tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali
apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan
mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”[2]
(QS. An-Nisa’ [4]: 19)
B. Terjamahan Kosa Kata Kunci
نحلة : mahar, maskawin[4]
هنيأ :
shifatul musyabbahah yang bentuk mufradnya هنأ berarti : membahagiakan[6]
مريأ : shifatul musyabbahah yang bentuk mufradnya مرأ berarti
: baik dan bermanfaat[7]
ان ترثوا/ كرها : menempati tempat rafa’ menjadi Fail dari
يحل (كرها) kalimat mashdar menempati tempat nasab
menjadi Hal dari Maf’ul.[8] ان ترثوا juga merupakan kalimat fiil mudhari’ yang dimasuki amil
atau huruf nasab (ان) yang menasabkan fiil mudhari’ tersebut dengan membuang huruf
nun ( hazf nun) yang bentuk mufradnya ورث berarti : Mewaris harta[9],
sedangkan كرها bentuk masdar dari كره berarti : membenci, tidak menyukai[10]
الا ان يأتين
بفاحشة :
istisna’ munqati’ dan ada yang mengatakan istisna’ muttashil[11]. يأتين
merupakan fiil mudhari’ dari اتى berarti : Datang[12].
Sedangkan فاحشة adalah isim fail bentuk muannast dari isim mufrad فحش berarti
: Melampaui batas, buruk, keji, jelek[13]
Surat An-Nisaa’ ayat 4
االصدقات : membaris dhammahkan huruf dal, dan ia
merupakan kalimat jamak dari صدقة. Akhfasy mengatakan : Banu Tamim mengatakan : صدقة bentuk mufradnya
dan الصدقات bentuk jamaknya, boleh baris dal-nya di fathahkan dan
boleh disukunkan, dan kalimat نحلة cara bacanya ada dua yaitu dengan membaris
kasrahkan huruf nunnya dan medhammahkannya. Pada dasarnya
berarti pemberian, نحلت فلا نا saya memberi kepada si fulan. karna itu kalimat نحلة dikatakan dengan منصوبة
على المصدريه . Dan ada yang
mengatakan نحلة itu artinya : hutang ini pendapat Azzujaj karna itu kalimat نحلة
dikatan dengan على المفعول له منصوبة, dan Qatadah
mengatakan نحلة itu artinya : kewajiban. Karna itu kalimat نحلة dikatakan dengan الحال على
[14]منصوبة
نحلة : artinya dengan senang hati (sukarela) dan
ini dikatan juga oleh Abu Ubaid “ tidaklah dikatakan pemberian melainkan harus
dengan sukarela.[15]
صدقاتهن :
artinya mahar mereka (para isteri) kalimat jamak dari صدقة memfathahkan huruf shad dan mendhammahkan
huruf dal. Ibnu Qutaibah mengatakan dan dia bisa juga dibaca dengan membaris
sukunkan dalnya. Nihlah : yaitu hibah, pemberian dengan sukarela artinya jangan
kmau berikan kepada mereka mahar sedangkan kamu dalam keadaan membencinya, Abu
Ubaidah mengatakan : sebagian ulama menafsirkan nihlah dengan makna suatu
kewajiban.[16]
Makna ayat:
pertama, ayat ini tunjukannya kepada
para suami : berikanlah kepada perempuan-perempuan yang kalian nikahi mahar
mereka yang merupakan hak mereka dari kalian sebagai suatu pembarian, atau
hutang, atau kewajiban, atau sukarela dari kalian (para suami).[17]
Kedua ayat ini
tunjukannya pada para wali. Pada masa jahiliyyah para wali mengambil mahar dari kerabatnya dan tidak
memberikan sedikit pun mahar itu padanya.[18]
Yang demikian
diceritakan oleh Abi Shaleh dan Alkalbi, dan pendapat yang palingb utama adalah
pendapat yang pertama.[19]
Dan ayat ini
menunjukkan bahwa maahr itu wajib diberikan suami kepada istrinya,dan itulah
yang disepakati oleh para ulama. Sebagaimana Al-Qurtubi mengatakan : para ulama
sepakat bahwa tidak ada batas ukuran maksimal mahar, namun para ulama berbeda
pendapat pada batas ukuran minimal mahar.[20]
فان طبن : ayat ini menunjukkan bahwa menurut muktabar
bolehnya para isteri memberi sebagian maharnya kepada para suami harus dengan
sukarela atau dengan senang hati, maka apabila nampak jelas si isteri tidak
merasa senang memberikannya maka tidak halal diterima oleh suami atau wali.[21]
Dalam tafsir Jalalain juga seperti demikian, apabila hati para
isteri senang dalam artian sukarela maka tidak mengapa mereka memberikannya
kepadamu (para suami).[22]
Dalam tafsir
alwajiiz disebutkan : apabila isteri dengan senang hati memberikannya kepadamu
(para suami) dari sebagian maharnya maka pemerintah atau sultan di dunia tidak
akan menuntut kamu, dan di akhirat Allah tidak akan mengambil atau menuntutnya
darimu (para suami).[23]
Dan keterangan
lain dalam tafsir Al-Qurthubi :
Tunjukan ayat
ini adalah untuk para suami-suami, yang mengatakannya adalah Ibnu Abbas,
Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Juarij. Allah memerintahkan mereka (para suami)
agar mereka berderma dengan memberikan mahar kepada istri-istri mereka. Dan
pendapat lain mengatakan tunujkan ayat ini untuk para wali, ini pendapat dari
Abu Shalih. Yang mana wali mengambil mahar putrinya dan dia tidak memberikan
mahar itu pada putrinya sepeserpun. Maka yang demikian pun dilarang dan
diperintahkan atau disuruh mereka mengembalikan mahar itu kepadanya.[24]
Dan dalam
riwayat Al-Kalbi : bahwa dulu penduduk Jahiliyyah, apabila seoramg wali
menikahkan putrinya yang putrinya itu dalam pengasuhannya, dia tidak akan
memberikan mahar itu pada putrinya sedikit pun. Dan jika putrinya itu di
perantauan artinya bukan dalam pengasuhannya, dia hanya memberi satu ekor unta
saja. Lalu turunlah ayat ini.[25] (وَآتُوا
النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً)
Sedangkan
Muktamir bin Sulaiman dari ayahnya berpendapat : kaum hadrami berdalih bahwa
yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang melakukan nikah syigar
yang mereka saling menikahkan dengan perempuan satu sama lain, kemudian
diperintahkanlah mereka untuk membayar mahar.[26]
Ayat ini juga
menunjukkan wajib mahar diberikan kepada isteri, sudah sepakat para ulama tidak
ada khilafiyah padanya kecuali yang diriwayatkan oleh sebagian ahli ilmu dari
penduduk Irak : Bahwa seorang majikan apabila menikah dengan budaknya tidak
wajib padanya membayar mahar, bukanlah seperti itu, karna dalam firman Allah (وَآتُوا
النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً).[27]
Surat An-Nisaa’ Ayat 19
Makna ayat
wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagimu menikahi perempuan dengan
jalan memaksa mereka, dan janganlah kalian mencegah mereka untuk menikah
setelah kalian mentalak mereka, atau kalian mempersempit mereka sampai
mengambil sebagian apa yang dulu kalian berikan kepada mereka berupa harta
waris maupun mahar, kecuali apabila mereka (para isteri) melakukan kepadamu
suatu perbuatan keji dari perbuatan-perbuatan keji seperti berbicara kotor,
nusyuz kepada suami, dan jatuh kepada perbuatan-perbuatan munkar seperti zina
dan selainnya maka kamu (para suami) ketika itu boleh mencegah atau melarang
mereka sampai mereka melepaskan diri darimu, karna Allah tidak menyukai
kedzaliman. Kemudia Allah juga menyuruh berbuat baik dan menggauli isteri
dengan cara yang baik, maka apabila seorang laki-laki membenci isterinya
hendaklah ia bersabar terhadapnya, dan tetap berbuat baik kepadanya,
jangan-jangan Allah memberi rezeki darinya dan jangan-jangan sesuatu yang kamu
benci itu, padanya terdapat kebaikan yang sangat banyak, Allah maha mengetahui
sedangkan kamu tidak mengetahui.[28]
Dalam tafsir
Ibnu Katsir juga disebutkan : Janganlah kalian dalam mempergauli mereka
menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka membiarkan kamu mengambil apa yang
telah kamu serahkan kepada mereka sebagai maskawinnya, atau mengambil
sebagiannya, atau salah satu hak mereka yang ada padamu, atau sesuatu dari hal
tersebut karena kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan menimpakan
mudarat terhadap mereka.[29]
D.
Asbabun Nuzul Ayat
Surat An-Nisaa’ ayat 4
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari
Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah
ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu,
lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air
hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai
obat yang diberkati."[30]
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu
Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah
yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang
mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. (An-Nisa:4)[31]
Surat An-Nisaa’
Ayat 19
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhai keduanya bahwasanya, dia berkata : bahwa
di masa lalu apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka meninggal dunia,
maka para wali si mayat adalah orang yang lebih berhak terhadap diri istri si
mayat. Dengan kata lain, jika sebagian dari mereka menyukainya, maka ia boleh
mengawininya; dan jika tidak suka, maka mereka boleh mengawinkannya; dan jika
mereka menginginkan agar istri si mayat tidak kawin, maka mereka boleh tidak
mengawinkannya. Pada garis besarnya mereka lebih berhak terhadap diri istri si
mayat daripada keluarga si istri. Lalu Allah menurunkan ayat ini. yaitu
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi
kalian mempusakai'. wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)[32]
E.
Syarah Ayat Dengan Ayat Dan Hadist Terkait Dengan Pendapat Mufassir
Firman Allah An-Nisaa’ Ayat 4 :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisaa’:
4)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah
mahar.[33]
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri.
dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.
Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan
bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan
Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang
disebutkan.[34]
Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah
dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan,
"Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib
baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi Saw. menikahi seorang wanita
kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan
tanpa alasan yang dibenarkan."[35]
Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan
bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai
suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati.
Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang
diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika
pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan
sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan
senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:[36]
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari
Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah
ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan
itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia
mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik
akibatnya, sebagai obat yang diberkati."[37]
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu
Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah
yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang
mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya:[38] Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan
Ibnu Jarir:
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami
Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu Mugirah
At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. Membacakan firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara
mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh
keluarga mereka."[39]
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj
ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman,
dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah
kepada kami. Beliau Saw. bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian
wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada
seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab,
"Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka." Ibnus Salman
orangnya daif. kemudian dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.[40]
Surat An-Nisaa’
Ayat 19
Imam Bukhari
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil. telah
menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad telah menceritakan kepada kami
Asy-Syaibani, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas —Asy-Syaibani mengatakan bahwa
hadis ini diketengahkan pula oleh Abul Hasan As-Sawa-i, yang menurut dugaannya
tidak sekali-kali ia menuturkannya melainkan dari Ibnu Abbas— sehubungan dengan
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi
kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. Ibnu Abbas mengatakan
bahwa di masa lalu apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka meninggal
dunia, maka para wali si mayat adalah orang yang lebih berhak terhadap diri
istri si mayat. Dengan kata lain, jika sebagian dari mereka menyukainya, maka
ia boleh mengawininya; dan jika tidak suka, maka mereka boleh mengawinkannya;
dan jika mereka menginginkan agar istri si mayat tidak kawin, maka mereka boleh
tidak mengawinkannya. Pada garis besarnya mereka lebih berhak terhadap diri
istri si mayat daripada keluarga si istri. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
yaitu firman-Nya:[41] Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai'. wanita dengan
jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Demikianlah
menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, Imam Abu Daud. Imam Nasai.
Ibnu Murdawaih, dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Ishaq Asy-Syaibani yang
nama aslinya adalah Sulaiman ibnu Abu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Abul Hasan
As-Sawa-i yang nama aslinya ialah Ata Kufi yang tuna netra, keduanya menerima
hadis ini dari Ibnu Abbas, seperti yang telah disebutkan di atas.[42]
Imam Abu Daud
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Sabit
Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku ali ibnu Husain, dari ayahnya. dari
Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbbas sehubungan dengan firman-Nya: tidak
halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
(An-Nisa: 19) Demikian itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri
kerabatnya, lalu ia bersikap selalu menyusahkannya hingga si istri meninggal
dunia atau (baru dibebaskan) bila si istri mau mengembalikan maskawinnya. Maka
Allah memberikan ketentuan hukum mengenai hal tersebut, yakni melarang
perbuatan itu.[43]
Hadis ini hanya
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, tetapi diriwayatkan pula oleh yang lain yang
bukan hanya satu orang, dari Ibnu Abbas hal yang semisal.[44]
Waki'
meriwayatkan dari Sufyan, dari Ali ibnu Nadimah, dari Miqsarn, dari ibnu Abbas,
bahwa dahulu di masa Jahiliah ada seorang wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya. lalu datanglah seorang lelaki yang melemparkan bajunya kepada si
Wanita itu. Maka si lelaki tersebutlah yang lebih berhak terhadap diri wanita
itu Lalu turunlah firman-Nya:[45] Hai
orang-orang yang beriman. tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan
jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Ali ibnu Abu
Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan
jalan paksa. (An-Nisa: 19) Apabila seorang lelaki mati meninggalkan
anak perempuan, maka kerabat terdekatnya melemparkan baju kepada si perempuan
itu, maka dia berhak mencegahnya dikawini oleh orang lain. Jika si perempuan
itu cantik dan ia suka, maka ia mengawininya; tetapi jika si perempuan
bertampang tidak cantik, ia mengurungnya hingga mati, lalu ia mewarisinya.[46]
Al-Aufi
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah apabila ada seorang
kerabatnya yang meninggal dunia, maka ia melemparkan baju kepada istri si
mayat. Dengan demikian, dialah yang mewarisi nikahnya dan tidak boleh orang
lain menikahinya. Ia dapat saja mengurungnya di dalam rumah hingga istri si
mayat membayar tebusan kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:[47] Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan
jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Zaid ibnu Aslam
mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa dahulu penduduk Yasrib (Madinah)
di masa Jahiliah, apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka yang mati,
istrinya ikut diwaris oleh orang yang mewarisi hartanya. Lalu si pewaris
menyusahkannya hingga ia mewarisi hartanya atau menikahkannya dengan orang yang
ia kehendaki. Dahulu penduduk Tihamah seorang lelaki dari kalangan mereka biasa
memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik hingga ia menceraikannya,
tetapi dengan syarat 'hendaknya si istri tidak kawin kecuali dengan lelaki yang
disetujuinya, sebelum si istri membayar tebusan kepadanya dengan sebagian dari
maskawin yang pernah diberikannya'. Maka Allah melarang orang-orang mukmin
melakukan perbuatan tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim[48].
Abu Bakar ibnu
Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu
Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan
kepada kami Ali ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Fudail, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Muhammad ibnu Abu Umamah ibnu Sahl ibnu
Hanif, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa ketika Abu Qais ibnul Aslat
meninggal dunia, anak lelakinya bermaksud mengawini istri (ibu tiri)nya. Hal
ini di masa Jahiliah berlaku di kalangan mereka. Maka Allah menurunkan
firman-Nya:[49]
tidak
halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa:
19)
Ibnu Jarir
meriwayatkannya melalui hadis Muhammad Ibnu Fudail dengan lafaz yang sama.
Kemudian ia meriwayatkan pula melalui jalur Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa
Ata pernah bercerita kepadanya, "Di masa lalu orang-orang Jahiliah itu
apabila ada seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istri, maka si istri
dikurung oleh keluarga si mayat dan dipaksa mengasuh seorang bayi yang ada di
kalangan mereka (keluarga si mayat)." [50]Maka
turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: tidak halal bagi kalian mempusakai wanita
dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij
mengatakan, Mujahid pernah mengatakan bahwa dahulu bila ada seorang lelaki
meninggal dunia, maka anak laki-lakinya lebih berhak terhadap istrinya. Dengan
kata lain, ia boleh mengawininya jika si istri itu bukan ibunya; atau boleh
pula menikahkannya dengan siapa yang disukai anaknya, baik dengan saudaranya
ataupun anak saudaranya.
Ibnu Juraij
mengatakan, Ikrimah pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan
dengan Kabisyah binti Ma'an ibnu Asim ibnul Aus yang suaminya (yaitu Abu Qais
ibnul Aslat) meninggal dunia, lalu anak (tiri)nya mencintainya. Maka Kabisyah
datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak
dapat mewaris harta suamiku dan tidak pula dibiarkan nikah dengan orang
lain." Maka Allah menurunkan ayat ini.
As-Saddi
meriwayatkan dari Abu Malik, bahwa dahulu di masa Jahiliah bila seorang wanita
ditinggal mati suaminya, maka wali suaminya datang dan melemparkan baju
kepadanya. Jika si mayat mempunyai seorang anak lelaki yang masih kecil atau
seorang saudara laki-laki. maka si wali mengurung wanita itu hingga si anak
dewasa atau si wanita itu mati. Lalu anak mewarisinya. Tetapi jika si wanita
melarikan diri ke rumah keluarganya dan belum sempat dilempari baju, beratii ia
selamat. Maka Allah menurunkan firman-Nya: tidak halal bagi kalian mempusakai wanita
dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19)
Mujahid
mengatakan sehubungan dengan ayat ini. bahwa dahulu ada seorang lelaki yang
dalam asuhannya terdapat seorang anak yatim perempuan. sedangkan ia menjadi
wali dari anak perempuan yatim itu, maka ia mengurungnya dengan harapan kalau
istrinya mati nanti ia mengawininya, atau mengawinkannya dengan anak
laki-lakinya sendiri. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim.
Kemudian Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, Ata ibnu Abu Rabah,
Abu Mijlaz, Ad-Dahhak, Az-Zuliri, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan
lial yang semisal.[51]
Firman Allah :
dan
janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.
(An-Nisa: 19)
Janganlah
kalian dalam mempergauli mereka menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka
membiarkan kamu mengambil apa yang telah kamu serahkan kepada mereka sebagai
maskawinnya, atau mengambil sebagiannya, atau salah satu hak mereka yang ada
padamu, atau sesuatu dari hal tersebut karena kalian ambil dari mereka dengan
cara paksa dan menimpakan mudarat terhadap mereka.[52]
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari
lbnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena Artinya.
janganlah kalian memaksa mereka. karena hendak mengambil kembali sebagian dan
apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19) Seorang
lelaki yang mempunyai istri, sedangkan dia tidak menyukainya, padahal dia telah
membayar maskawin kepadanya. maka ia bersikap menyusahkan dirinya dengan tujuan
agar si istri menebus kebebasannya dengan maskawin yang telah dibayarkan
kepadanya dari dia. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh para ulama dan
bukan hanya seorang. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.[53]
Ibnul Mubarak
dan Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah
menceritakan kepadaku Sammak ibnul Fadl, dan lbnu Salmani yang menceritakan
bahwa salali satu dari kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan kebiasaan di
zaman Jahiliah, sedangkan yang lainnya diturunkan berkenaan dengan apa yang
terjadi di masa (permulaan) Islam. Abdullah lbnul Mubarak mengatakan, yang
dimaksud ialah firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan
jalan paksa. (An-Nisa: 19) Yakni seperti yang biasa terjadi di masa
Jahiliah. dan
janganlah kalian menyusahkan mereka. (An-Nisa: 19) Seperti yang
terjadi pada jaman permulaan Islam.[54]
Firman Allah :
terkecuali
bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
Ibnu Mas'ud,
Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab. Asy-Sya'bi. Al-Hasan Al-Basri, Muhammad ibnu
Sirin. Said ibnu Jubair. Mujahid. lkrimah, Ata Al-Khurraaani. Ad-Dahhak. Abu
Qilabah, Abu Saleh, As-Saddi. Zaid ibnu Aslam. dan Sa'id ibnu Abu Hilal
inengatakan, yang dimaksud dengan fahisyah atau perbuatan keji ini
adalah perbuatan zina.[55]
Dengan kata
lain, bila si istri berbuat zina, maka kamu boleh mengambil kembali darinya
maskawin yang telah kamu berikan kepadanya, misalnya kamu bersikap menyusahkannya
hingga ia membiarkan maskawin itu diambil olehmu dan meminta khulu' darimu.
Seperti pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya:
Tidak
halal bagi kalian mengambil kembali sesuasu dari yang telah kalian berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya kha watir tidak akan dapat menegakkan
hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah:
229), hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas,
Ikrimah, dan Ad-Dahhak rnengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata adalah
membangkang dan durhaka.[56]
Sedangkan Ibnu
Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata mencakup
semuanya, yakni zina dan durhaka, membangkang dan bermulut kotor. serta
lain-lainnya. Dengan kata lain, reaksi seperti itu dari istri membolehkan pihak
suami bersikap menyusahkannya agar si istri membebaskan seluruh haknya atau
sebagiannya yang ada pada tanggungan suaminya, lalu si suami menceraikannya.
Pendapat ini dinilai cukup baik.[57]
Dalam
pembahasan yang lalu terdapat sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud
secara munfarid
(menyendiri) melalui jalur Yazid An-Nahwi. dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak
men-ambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
(An-Nisa: 19) Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian itu karena di masa lalu
seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya yang meninggal dunia, lalu ia bersikap
menyusahkannya hingga istri si mayat mati atau mengembalikan maskawin
kepadanya. Maka Allah memutuskan perbuatan-tersebut, yakni melarangnya.[58]
Ikrimah dan
Al-Hasan Al-Basri mengatakan. hal ini memberikan pengertian bahwa konteks
seluruh ayat ini berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan di masa Jahiliah.
Tetapi Allah melarang kaum muslim mengerjakannya dalam masa Islam.[59]
Abdur Rahman
ibnu Zaid mengatakan, kebiasaan bersikap menyusahkan istri ini biasa dialami
orang-orang Quraisy di Mekah. Seorang lelaki dari kalangan mereka mengawini
seorang wanita yang terhormat. manakala terjadi pihak istri tidak cocok dengan
suaminya itu. maka si suami mau menceraikannya dengan syarat bahwa si istri
tidak boleh kawin lagi kecuali dengan seizinnya. Untuk itu pihak suami mendatangkan
beberapa orang saksi, kemudian mencatat syarat tersebut atas diri si istri,
lalu dipersaksikan. Bilamana datang seorang pelamar dan si istri memberi bekas
suaminya serta membuatnya puas dengan jalan yang diterimanya. barulah bekas'
suami mengizinkannnya.. Karena itu, maka turunlah firman-Nya: dan
janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19). hingga
akhir ayat.[60]
Mujahid
mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.
(An-Nisa: 19) Bahwa sikap menyusahkan dalam ayat ini semakna dengan pengertian
yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah (ayat 229).
Firman Allah :
Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.
(An-Nisa: 19)
Bertutur sapa
dengan baiklah kalian kepada mereka, dan berlakulah dengan baik dalam semua
perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan
kemampuan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka,
maka lakukan olehmu hal yang semisal terhadap mereka. Seperti pengertian yang
terdapat di dalam firman-Nya:[61]
Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (Al-Baqarah: 228)
Firman Allah:
kemudian
bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena barangkali kalian
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa: 19)
Dengan kata
lain, barangkali sikap sabar kalian memegang mereka tetap menjadi istri kalian padahal
kalian tidak suka kepada mereka mengandung kebaikan yang banyak bagi kalian di
dunia dan akhirat.[62]
Seperti apa
yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini; yang dimaksud ialah hendaknya
si suami tetap berlemah lembut kepada istrinya (yang tidak ia sukai itu), maka
pada akhirnya ia akan dianugerahi seorang anak dari istrinya, dan dari anaknya
itu ia mendapatkan kebaikan yang banyak.[63]
F.
Hukum Petunjuk
Dan Pelajaran Ayat
1. Para suami wajib
memberi mahar kepada para isteri
2. Isteri boleh memberi
sebagian maharnya kepada suami dengan syarat sukarela atau dengan senang hati
3. Suami halal mamakan
sebagian mahar yang diberikan isteri dengan sukarela
4. Tidak halal bagi suami
memakan mahar isteri apabila isteri memberikannya dengan tidak sukarela
5. Boleh membayar mahar
dengan harta yang banyak, karena jumhrur ulama berpendapat tidak ada batas
maksimal ukuran mahar
6. Tidak boleh menikahi
perempuan dengan jalan memaksa
7. Suami tidak boleh
mengambil mahar yang sudah diberikan kepada isteri
8. Suami tidak boleh
melarang isteri untuk menikah setelah ditalaknya
9. Suami boleh berlepas
diri dari isteri, apabila isteri melakukan perbuatan keji seperti isteri nusyz
atau durhaka, isteri berzina, berkata kotor dan sebagainya
10. Anjuran untuk bersabar
dan memberikan maaf
11. Anjuran untuk
berperasangka baik ( husnu adz-zan)
G. Kesimpulan
Mahar adalah pemberian wajib dari pihak suami kepada
pihak isteri, para ulama sepakat tidak ada batas maksimal jumlah mahar, isteri
boleh memberikan sebagian maharnya kepada suami asalkan ia rela dan berkenan,
para ulama berbeda pendapat masalah kepada siapa ayat 4 surat an-nisaa’
ditujukan, ada yang mengatakan khitab nya kepada suami dan ada yang
berpendapat khitab nya kepada wali, namun pendapat yang lebih rajih khitab
nya adalah kepada para suami.
Tidak boleh menikahi perempuan itu dengan jalan
memaksanya, juga tidak boleh bagi suami mengambil mahar yang sudah diberikannya
kepada isteri, suami boleh melepas diri dari isterinya apabila isterinya nusyz
(durhaka), berzina, berkata kotor dan sebagainya, para suami juga harus
bersabar dan tawakkal kepada ketentuan Allah.
Wallahu
A’lam
[1] Departemen Agama RI, Mashap Al-Qur’an
Dan Terjahamannya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 77
[3] Bisri dan Munawwir, Kamus Arab-Indonesia
Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 404
[5] Ibid,
h. 465
[6] Ibid,
h. 761
[7] Ibid,
h. 681
[8]
Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsiru al-Ayati al-Ahkam Min al-Qur’an,
terjamahan, juz I (Damsyik : Maktabah Ghazali, 1980) h. 450
[10] Ibid,
h. 633
[11]
Ash-Shabuni, Loc,cit
[13] Ibid,
h.559
[14]
Al-Syaukani, Fathul Qadiir, Maktabah Syamilah
[15] Ibid
[16]
Ash-Shabuni, Opt.cit, h. 418
[17]
Al-Syaukani, Loc.cit
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
[22]
Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Maktabah Syamilah
[23] Abu
Hasan, AL-Wajiiz, Maktabah Syamilah
[24]
Al-Qurtubi, Aljami’u li ahkamil Qur’an. Maktabah Syamilah
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid
[28]
Ash-Shabuni, Opt.cit, h. 447
[29]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim, Maktabah Syamilah
[30] Ibid
[31] Ibid
[32]
Ash-Shabuni, Opt.cit, h. 449
[33]
Ibnu Katsir, Loc.cit
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Ibid
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Ibid
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid
[46] Ibid
[47] Ibid
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Ibid
[51] Ibid
[52] Ibid
[53] Ibid
[54] Ibid
[55] Ibid
[56] Ibid
[57] Ibid
[58] Ibid
[59] Ibid
[60] Ibid
[61] Ibid
[62] Ibid
[63] Ibid
0 Response to "Makalah Tentang Mahar: Tafsir Ahkam"
Post a Comment