Mencari Hakikat Fikih: Makna Fikih yang Termapankan
Baca Juga
Makna Fiqh yang Termapankan
Kemudian pada periode-periode berikutnya fiqh akan menjelma dalam
terminologi yang lebih spesifik dan teknikal. Menurut Ahmad Hasan, sebagaimana
dikutip Sirry, terminologi fiqh belum dipahami sebagai suatu kajian yang
berspektrum khusus hingga masa pemerintahan Al Makmun, yaitu sekitar abad ke 2
Hijriyah.[1]
Pada abad ini pulalah para pendiri mazhab-mazhab besar melakukan ijtihad.
Abu Hanifa mendefinisakan fiqh secara terminologi dengan “ma’rifat
annafsi maa lahaa wa maa ‘alaiha” pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan
kewajibannya. Definisi ini masih memberikan gambaran umum tentang fiqh yang
meliputi semua aspek kehidupan keagamaan dari hukum, akidah, iman, akhlak dan
tasawuf. Dan inilah dia yang disebut dengan fiqh akbar.[2]
Di sini, pengertian fiqh masih hampir sama dengan pengertian fiqh
pada periode awal Islam yang telah disebutkan di atas.
Kemudian para periode Syafi’lah, fiqh mengalami penyempitan
makna, fiqh menjelma menjadi sesuatu, sebagaimana disebut di atas, yang
lebih spesifik dan teknikal. As syafi’i, memberikan mengartikan fiqh secara
terminologi dengan:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من
أدلتها التفصلية
“Ilmu
tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari
dalil-dalil terperinci.”[3]
Definisi ini, menurut Zuhaili, adalah definisi fiqh paling masyhur yang
digunakan oleh para ulama setelah Syafi’i.[4] Sebagaimana terlihat definisi yang sama dalam Al
Bajury. Ibrahim Al Bajury sendiri, menyebutkan di sana, bahwa definisi ini
adalah definisi yang menjadi pilihan dalam mazhab Syafi’i, sebagaimana
dicetuskan sendiri oleh Imam Syafi’i sebagai imam mazhabnya.[5]
Muhammad Abu Zahrah juga memberikan terminology fiqh yang dapat
dikatakan sama dengan terminologi fiqh syafi’yah di atas, yaitu “Ilmu
tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (yang digali) dari
dalil-dalil terperinci.”[6]
Terminologi ini seolah telah ter“established”, termapankan. Sebagaimana
dapat dilihat dalam Mu’jam At Ta’riifat,[7]
Al Munjid,[8]
Tarikh at Tasyri’ al Islami,[9]’Ilmu
Ushul al Fiqh.[10]
Kendati demikian, Al Syirazi, seorang ulama ushul bermazhab
Syafi’i, memberikan definisi yang terlihat agak longgar dan to the point,
namun masih memiliki kesamaan dengan definisi di atas. Yaitu, “Pengetahuan
terhadap hukum-hukum syari’ah yang jalan penetapannya melalui ijtihad.[11]
Kelonggaran dari definisi ini dibanding dengan sebelumnya adalah terletak pada
tidak disebutkannya term amaliyah. Sementara ke-to-the-point-annya
terletak pada peringkasan ungkapan “al muktasab min adillatiha at
tafshiliyyah” ke term “ijtihad”. Yang sebenarnya bermakna
sama, karena penggalian hukum dari dalil-dalil yang terperinci tidak lain
adalah bagian dari kerja ijtihad itu sendiri.[12]
Merujuk kepada terminologi fiqh yang telah dipaparkan di atas,
maka dapat diambil beberapa pengertian yang dapat mengungkapkan hakikat fiqh,
sebagai berikut:
1. Term ilmu
yang ada pada definisi fiqh di atas adalah pengetahuan yang hanya
sampai pada tingkat dugaan (dzann), karena pada umumnya, ilmu memiliki
dua pengertian, yaitu ilmu dalam arti pengetahuan yang mencapai tingkat
keyakinan dan ilmu dalam arti pengetahuan yang hanya mencapai pada taraf dugaan
atau asumsi.[13]
Dan fiqh, sebagaimana disebut di atas, hanya sampai pada taraf asumtif.
Walaupun ilmu lazimnya digunakan untuk pengetahuan yang dimensi kebenarannya
bersifat pasti, qath’i, sementara mayoritas persoalan fiqh hanya
berakhir pada dzann, sebatas dugaan saja, fiqh masih bisa
dikatakan dengan ilmu. Hal ini, menurut Ar Ru’aini, dikarenakan dzan dalam
fiqh itu dipandang cukup kuat, maka ia mendekati ilmu, yaqin.[14]
2. Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’. Dengan
demikian, segala hal yang tidak berkaitan dengan hukum tidaklah termasuk dalam
pengertian fiqh. seperti materi dan sifat tidaklah termasuk dalam
pengertian fiqh. Seperti: mengetahui tentang “apa itu (zat) batu?”,
“Bagaimana (sifat) putih itu?”, pengetahuan semacam ini bukanlah pengetahuan
tentang hukum, melainkan pengetahuan tentang tashawwur, deskriptif.
3. Penggunaan
kata syara’ dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu
menyangkut ketentuan syara’, sesuatu yang berasal dari pembuat syariat,
Allah. Karenanya sesuatu yang berada
diluar cakupan syara’ tidaklah termasuk ke dalam pengertian fiqh. Hukum
yang berasal dari indrawi seperti api itu panas, hukum yang berasal dari akal
semata, seperti satu ditambah sama dengan dua.
4. Kata amaliyah
dalam pengertian fiqh itu, menunjukkan, bahwa fiah hanya
membicarakan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis, amaliyah. Dengan
kata lain, fiqh itu hanya menyangkut, perbuatan, tindak-tanduk manusia
yang bersifat lahiriyah. Karena itu, hal-hal yang bukan bersifat amaliyah,
seperti keimanan (i’tiqodiyah), misalnya pengetahuan Allah
itu esa, tidaklah termasuk dalam teritori fiqh. Demikian juga,
hukum-hukum yang bersifat qalbiyah-khuluqiyah seperti ikhlas, riya dan
sebagainya tidak pula termasuk hukum fiqh.
5. Kata al
muktasab mengandung pengertian bahwa fiqh itu adalah hasil
penggalian dan penemuan mujtahid atas ketentuan yang belum disebutkan
secara eksplisit oleh nash yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Dan ini, menurut Zuhaili, turut menguatkan “ke-ilmu-an” fiqh, karena almuktasab
merupakan tabiat dari ilmu itu sendiri.[15]
Dengan demikian ilmunya Allah, Malaikat dan rasul yang diperoleh dari wahyu
tanpa melakukan kegiatan ijtihad, ilmu yag tidak memerlukan penjelasan, ilmu dharury
yang tidak membutuhkan kepada dalil dan penalaran, tidaklah tercakup dalam
pengertian fiqh.
6. Ungkapan min
adillatha attafshiliyyah berarti penggalian hukum yang dilakukan oleh para mujtahid
berangkat dari dalil-dalil yang terperinci, spesifik. Dalil-dalil yang
terdapat dan terpapar dalam nash di mana satu per satunya menunjuk pada
satu hukum tertentu.
Adapun yang
menjadi objek pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan orang mukallaf. Atau
dengan kata lain, sasaran ilmu fiqh adalah manusia serta dinamika dan
perkembangannya yang semuanya merupakan gambaran nyata dari perbuatan-perbuatan
orang mukallaf yang hendak dipolakan dalam tata nilai yang menjamin
tegaknya suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang baik.[16]
Perbuatan
tersebut jika dikelompokkan dalam kelompok besar, terdapat tiga buah perbuatan:
ibadah, mu’amalah dan ‘uqubah. Segala perbuatan yang dikerjakan
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti salat, puasa, haji dan
sebagainya termasuk ke dalam kelompok fiqh ibadah. Segala perbuatan yang
mengatur hubungan antar sesama manusia dikelompokkan ke dalam fiqh
mu’amalah. Dan, segala persoalan yang mencakup kepada tindak pidana,
seperti pembunuhan, pencurian, pemberontakan dan lain lain digolongkan kepada
bagian ‘uqubah.[17]
Oleh karena
itu, ulama fiqh dalam membicarakan perbuatan-perbuatan mukallaf seperti
di atas bertujuan untuk mengetahui apa hukum (syar’i)-nya bagi
masing-masing perbuatan tersebut. Hukum-hukum syar’i itu sendiri,
sebagaimana disebutkan oleh Al Syirazi, adalah wajib, mandub, mubah, mahzur,
makruh, shahih, dan bathil.[18]
Hukum-hukum syar’i yang baru saja disebutkan di atas, oleh para ulama mengelompokkannya lagi ke dalam dua kelompok. Pertama, hukum taklifi, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dengan tuntutan atau pilihan. Jika tuntutan itu bersifat tegas, maka dinamakan wajib, atau tuntutan tidak tegas, dinamakan dengan mandub, larangan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan larangan yang tegas, maka dinamakan haram, atau larangan tidak tegas, dinamakan makruh. Sedangkan yang kedua, hukum wadhi’i, adalah titah yang menegaskan keberadaan sesuatu sebagai sebab (sabab), syarat (syarth), pencegah (maani’) yang sah (shahih ) dan yang batil ( bathil, fasid).[19]
Dengan demikian, setelah mengetahui hakikat fiqh, pertanyaan ontologis selanjutnya, yang merupakan pertanyaan pokok dalam memperoleh sebuah pengetahuan, adalah “Apa yang hendak diketahui atau apa sasaran yang dikaji oleh ilmu fiqh tersebut?” beradasarkan pemaparan di atas, jawabannya adalah hukum apa yang hendak diketahui tentang perbuatan-perbuatan mukallaf yang berasal dari an nushusul muqaddasah, teks-teks suci, Al Qur’an dan Hadis. Hasilnya adalah ahkamul khomsah yakni, wajib, sunnah/mandub, mubah, makruh dan haram. Perbuatan manusia tidak dapat dilepaskan dari hukum tersebut.[20]
[1] Ibid,
[2] Wahbah Azzuhaili, Al Fiqh al Islam Wa Adillatuhu, (Beirut,
Al Maktabah al Islami, tt), h. 15
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibrahim Al Bajury, Hasyiyah Al Bajury, juz 1,
(Surabaya: Pustaka As Salam, tt), h. 19
[6] Muhammad Abu
Zahrah, Ushul al Fiqh, (TT: Dar al Fikr al ‘Arabi, tt), h. 6
[7] Ali bin Muhammad Al Jurjani, loc cit
[8] Luois Ma’luf, loc cit
[9] Manna’ Al
Qaththan, Tarikh at Tasyri’ al Islami, Jilid v (Kairo: Dar al Kitab al Arabiyyah, 2001), h.
183
[10] Abdul Wahhab
Khallaf, ’Ilmu Ushul al Fiqh, (Kairo: Dar al ‘Ilmi, 1978), h. 11
[11] Al Syirazi, Al Luma’ fi Ushul al Fiqh, (Indonesia:
Al Haramain, tt), h. 3
[12] Husein Muhammad menyebut bahwa, ijtihad adalah suatu
aktivitas intelektual yang keras untuk memahami teks-teks sumber otoritatif,
yakni Al Qur’an dan Sunnah guna menyebutkan hukum yang tidak disebut keduanya
secara eksplisit. Lihat Husein Muhammad, Menuju Fiqh Baru, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2020), h. 13
[13] Noor Harisudin, Pengantar Ilmu Fiqh, cet V
(Surabaya: Pena Salsabila, 2019), h. 2
[14] Muhammad bin
Muhammad Ar-Ru’aini, Qurrah Al ‘Aini Li Syarh Al Waraqat Imam AL Haramaini, (Surabaya:
Al Hidayah, tt), h. 6
[15] Wahbah Azzuhaili, loc cit. lihat, misalnya,
definisi ilmu yang dikemukakan oleh Abdul Muqsith Ghazali dkk, menurut mereka,
ilmu adalah sebuah proses sofistifikasi terhadap persoalan yang sederhana.
Berbeda dengan dogma, yaitu sebuah proses simplifikasi terhadap persoalan yang
rumit. Abdul Muqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al Qur’an, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 209), h. 1
[16] Marzuki, h. 20
[17] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, cet v
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 5
[18] Al Syirazi, Loc, cit
[19] Ahmad bin Abdul Lathif, An Nafahat ‘Ala Syarh Al
Waraqat, (Surabaya: Dar Ihya’ al Kutub,tt), h. 16
[20] Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Medan:
Cita Pustaka, 2007), h. 6
0 Response to "Mencari Hakikat Fikih: Makna Fikih yang Termapankan"
Post a Comment