Mencari Hakikat Fikih: Perjalanan Fikih dari Masa ke Masa
Perjalanan Fikih dari Masa ke Masa
Dalam Lisan al ‘Arabi, secara etimologi fiqh diartikan dengan
mengetahui sesuatu sekaligus memahaminya. Fiqh pada dasarnya bermakna alfahm,
pemahaman[1],
sehingga orang-orang Arab saat selesai memaparkan sesuatu, mereka akan bertanya
pada sekitarnya dengan menggunakan redaksi “afaqihta” yang bermakna sama
dengan redaksi “afahimta” apakah kamu paham?[2]
Sejalan dengan itu, Al Jurjani dalam Mu’jam al Ta;riifaat, sebuah kitab
yang mendaftar berbagai macam istilah penting dalam disiplin keilmuan Islam,
juga menyebutkan fiqh secara bahasa sebagai “ungkapan dari pemahaman maksud
pembicara dari perkatannya.”[3]
Sementara, dalam Al Munjid, kata faqaha memiliki makna
yang identik dengan kata alima, sehingga jika dikatakan fahqan
arrajula dapat bermakna dengan seseorang yang pengetahuan atau pemahamannya
luas. Seperti terlihat pada keterangan lanjutan dalam kitab tersebut, yang
mencantumkan kata hazq (keterampilan) dan fatnah (kecerdasan)
sebagai makna etimologi fiqh juga. Kata faqiha, faquhu, faqiihu, faqihatun,
faqiihatun, fuqahaa’ faqaaihu kesemuanya
mengarah pada satu makna: orang-orang yang memiliki pemahaman yang dalam dan
berakal cerdas.[4]
Kata fiqih juga, pada mulanya, digunakan orang-orang Arab untuk
seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina
yang sedang birahi dengan unta betina yang sedang bunting.[5]
Dengan demikian, fiqih secara bahasa dapat dimaknai sebagai sebuah
pemahaman secara mendalam terhadap sesuatu yang membutuhkan kepada keterampilan
dan kecerdasan akal. Pemahaman di sini masih bersifat umum dan luas. Dengan
kata lain, seseorang yang mempunyai ilmu dan pemahaman yang luas terhadap suatu
bidang apa pun akan disebut sebagai orang yang faqih.
Alqur’an tidak pernah menyebutkan kata yang persis dengan fiqh
sendiri. Tetapi kata yang merupakan derivasi atau turunan dari kata fiqh,
dapat ditemukan dalam 20 tempat di Al Quran.[6]
Seperti tafqahuuna ditemukan dalam QS Al Isra’ ayat 17, nafqahu QS
Hud ayat 91, yafqahu QS Thaha ayat 28, yafqahuuna, ditemukan
paling banyak, yakni terdapat di 13 tempat.[7]
Yafqahuhu terdapat di 3 tempat: QS Al An’am ayat 25, QS Al Isra’ ayat 46
dan QS Al Kahfi ayat 57. Dan yatafaqqhu ditemukan dalam QS At Taubah
ayat 122.[8]
Seluruh derivasi kata fiqh tersebut, umumnya, dimaknai dengan pemahaman,
pengertian, terhadap masalah apa pun, termasuk kegamaan sesuai dengan konteks
pembicaraan ayat. Allah swt, misalnya, kerap mempertanyakan dan menyinggung
ketidakpahaman atau ketidakmengertian suatu kaum terhadap sesuatu masalah
dengan menggunakan redaksi turunan kata fiqh di atas.
Ungkapan liyafatafagqohu fiddin,
“agar mereka melakukan pemahaman dalam agama”, yang memakai kata
derivasi fiqih,yang terdapat pada QS At Taubah ayat 122, menunjukkan,
bahwa di masa Rasulullah, masa turunnya Al Qur’an, istilah fiqh tidak hanya
digunakan dalam pengertian hukum saja, sebagaimana akan terlihat nanti, tetapi
juga memiliki arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam agama (Islam),
mulai dari teologis hingga hukum dan sebagainya.Diceritakan bahwa Rasulullah
telah mendoakan Ibnu ‘Abbas dengan mengatakan “Allahmma faqqihhu fiddin”
yang artinya “Ya Allah berikanlah padanya pemahaman dalam agama.” Dalam do’a
tersebut Rasulullah tidak memaksudkan pemahaman dalam hukum semata, tetapi
pemahaman tentang agama Islam secara umum.[9]
Patut dicatat, terdapat sebuah riwayat yang menunjukkan bahwa, di
hadapan Umar bin Khattab para fuqaha tak berani angkat bicara, karena
Umar melebihi mereka dalam fiqh (kecerdasan) dan ilm (pengetahuan)
yang dimilikinya.[10]
Di sini, istilah fuqaha (para pakar fiqh) nampaknya bermakna
sebagai orang-orang terkemuka yang mampu mempergunakan nalar dan kecerdasan
dalam mengatasi berbagai persoalan agama. Umar bin Khattab dalam pidatonya di
Jabiyah, dikabarkan telah mengatakan: “Barangsiapa yang berkeinginan untuk mencari
fiqh, hendaklah menemui Mu’adz bin Jabal.”[11]
Karena Mu’az pernah menjalankan tugas di Yaman semasa hidup Rasulullah,
sehingga menurut Ahmad Hasan, mungkin sekali Umar merujuk pada kecerdasan dan
pengalaman hukum Mu’azd.[12]
Bahkan, menurut Sirry, fiqh juga, pada periode Islam awal ini,
mencakup pengertian asketis dalam pengungkapan tasawuf. Sebagaimana terlihat
dalam salah satu riwayat yang menyebutkan, suatu ketika seorang sufi bernama
Farqad berdiskusi dengan Hasan Al Bashri. Melihat gagasan-gagasan Hasan Al
Basri yang terasa “asing” di tengah-tengah masyarakat, Farqad mengatakan bahwa
para fuqoha akan menentang sikap Al Basri tersebut. Tetapi Hasan Al Basri malah
menjawab, bahwa seorang faqih yang sebenarnya adalah seseorang yang
memandang hina kehidupan dunia, senang kepada kehidupan akhirat, memiliki ilmu
yang mendalam tentang agama, benar dan taat dalam beribadat, tidak meremehkan
sesama Muslim dan memperjuangkan kepentingan umum.[13]
Pengertian fiqh sampai di sini telah mengalami sedikit
pergeseran. Orang-orang Arab sebelumnya, mengartikan fiqh sebagai
“pemahaman” dan “ilmu” secara umum, kemudian Al Qur’an, sebagaimana dapat
dipahami dari ayat-ayat Al Quran di atas, menaknai fiqh sebagai
pemahaman ilmu agama atau pemahaman keagamaan. Pemahaman yang dimaksud adalah
pemahaman secara mendalam yang membutuhkan kecerdasan dan keterampilan. Baik
pehamaman umum maupun pemahaman kegamaan. di samping pemahaman intelektual
murni, fiqh juga mengarah pada kedalaman dan intensitas keyakinan,
tauhid, hukum-hukum peribadatan dan ajaran Islam lainnya. Baca bagian berikutnya
[1] Ibnu Manzhur, Lisan
al ‘Arabi, (Al Qahirah: Dar al Ma’arif, 1119), h. 3450
[2] dalam lisan al Arabi, dicontohkan dengan
seorang lelaki dari suku Kilab, setelah ia selesai berbicara, ia kemudian
bertanya, apakah yang hadir memahami pembicarannya, dgn kalimat “afaqihta”
lihat Ibnu Manzhur, ibid,
[3] Ali bin Muhammad Al Jurjani, Mu’jam al Ta;riifaat, (Al
Qahirah: Dar al Fadilah, tt), h. 141
[4] Luois Ma’luf, Al Munjdi fi al Lughat, (Beirut:
Mathba’at al Kastuliyyah, 1956), h. 591
[5] Marzuki, Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013), h. 18
[6] Muhammad Fuad Abdul Baqi, al Mu’jam al Mufahras Li
Alfadzi al Qur’an al Karim, (Al Qahirah: Dar al Hadits, 1364), h. 525
[7] QS An Nisa’ ayat 78, QS Al An’am: 65 dan 98, QS Al
A’raf: 179, QS An Anfal: 68, QS At Taubah:81,87 dan 127, QS Al KAhfi: 18, Al
Fath: 15, Al Hasyr:13, dan QS Al Munafiqun: 3 dan 7. Ibid,
[8] Ibid,
[9] Marzuki, op cit, h. 19
[10] Ibnu Sa’ad, Al
Thabat al Kubra, (Beirut: TP, 1956), h. 336
[11] Ibid, h.
348
[12] Ahmad Hasan, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, terj The Early Development of Islamic
Jurisprudence, (Bandung: PUSTAKA, 2001), h. 6
[13] Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1995), h. 12
0 Response to "Mencari Hakikat Fikih: Perjalanan Fikih dari Masa ke Masa"
Post a Comment