Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Sanad
Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Sanad
Sanad secara bahasa berarti almu’tamad yaitu “yang dipegangi (yang
kuat)/yang bisa dijadikan pegangan.” Atau, dapat juga diartiakan dengan ma
irtafa min al ardhi, “sesuatu yang terangkat tinggi dari tanah.”[1]
Sedangkan secara istilah sanad berarti silsilah para perawi yang
bersambung sampai ke matan.[2]
Dengan ungkapan mudahnya, sanad adalah para perawi atau penyampai
Hadist.
Sebagai contoh dari sanad adalah
seperti terlihat dalam Hadist berikut:
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ
حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
Artinya: “Imam Al-Bukhari berkata, ‘Musaddad telah
bercerita kepada kami, ia berkata, ‘Yahya telah bercerita kepada kami, dari
Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas RA, dari Nabi Muhammad SAW.’ Dari Husain
Al-Mu’allim, ia berkata, ‘Qatadah telah bercerita kepada kami, dari Anas, dari
Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, ‘Tidak sempurna iman salah seorang kalian
sehingga ia mencintai saudaranya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri.’’
Nama-nama seperti Musaddad, Yahya,
Syu’bah, Qatadah, Husain Al-Mu’allim, dan Anas disebut dengan rawi atau
informan Hadits. Deretan silsilah atau rangkaian nama-nama rawi dari Musaddad
hingga kepada Anas bin Malik disebut dengan sanad.
Sanad menempati
kedudukan yang penting dalam Hadist. Karenya sebuah berita yang dinyatakan
seseorang sebagai sebuah Hadits, tidaklah dapat diterima jika tidak memiliki sanad.
Saking urgennya sebuah sanad Abdullah bin Al Mubarak menyatakan
bahwa:
إن الإسناد من الدين، ولولا
الإسناد لقال من شاء ما شاء
“Sanad Hadits merupakan bagian dari
agama. Sekiranya sanad Hadits tidak ada, orang-orang akan bebas menyatakan apa
yang ia kehendaki.”
Selain itu, para ulama Hadits juga
menjadikan ayat Alquran dan Hadis sendiri sebagai dasar perlunya keberadaan sanad
dalam sebuah berita, sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ
قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ ٦
“jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak tertimpa
suatu musibah”[3]
Adapun sabda Nabi yang memiliki
substansi sama: “Semoga Allah memberikan kebaikan kepada seseorang yang
mendengarkan sesuatu dariku, kemudian menyampaikannya kepada orang lain sesuai
dengan apa yang didengarnya. Pada umumnya penyampai berita itu lebih menghayati
dari pada pendengarnya.”[4]
Ayat dan Hadits tersebut mengandung
prinsip yang sangat mendasar, artinya usaha menerima dan menyampaikan serta
merawat hadis seharusnya dilakukan dengan teliti dan tepat. Oleh itu, para
sahabat amat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan suatu Hadits.
Terlebih jika menemukan suatu kejanggalan atau keraguan prihal kejujuran
seorang perawi. Oleh itu juga, kemudian lahir suatu usaha untuk merumuskan
teori kritik sanad Hadist sebagai teori yang digunakan dalam menyeleksi Hadist
apakah bisa diterima atau ditolak. Al adlabi menyebutnya dengan naqd
khariji,”kritik ekstern”.[5]
Kritik sanad inilah langkah pertama yang dibahas dan dikaji para ulama
Hadits dalam melakukan penelitian Hadits.
Agar suatu sanad dikatakan shahih
dan dapat diterima, maqbul, maka ia harus memenuhi beberapa syarat
berikut ini:[6]
1.
Harus muttashil (bersambung), yakni setiap perawi mengambil
Hadist dari perawi sebelumnya lalu menyampaikannya kepada perawi setelahnya
tanpa melalui perantara yang lain selain perawi-perawi yang disebutkan di sanad.
Karena, bila Hadist itu sampai kepada perawi, namun dengan perantara yang
lain, yang tidak dikenal dan namanya pun tidak tertulis dalam sanad itu,
maka dimungkinkan perawi itu seorang pendusta, banyak kesalahan dan lupanya,
tertuduh melakukan dusta dalam meriwayatkan Hadits, buruk hafalannya, daya ingatnya
sudah kacau, fasik atau pelaku bid’ah atau pun cacat yang lain.
Untuk mendapatkan informasi mengenai
riwayat hidup para perawi, beberapa kitab yang disebutkan berikut ini dapat
dipergunakan dalam melakukan penelitian: Tahdzib al-Tahdzib, Taqrib al
Tahdzib dan lainnya. Dari penilitian ini kemudian melahirkan cabang ilmu
yang dikenal dengan ilmu tarikh al ruwwat. Ilmu untuk mengetahui para
perawi Hadist dari sisi keterhungan dan hubunganya dengan usaha periwayatan
mereka terhadap Hadist.
2.
Para perawinya adil, yaitu telah diakui keadilan dan keteguhan
agamanya, yang benar-benar muncul dari nuraninya, sehingga membuat ia takut
untuk melakukan kebohongan, penyimpangan atau pun gegabah dalam urusan agama
Azza wajalla.[7]
Pengertian adil secara umum di kalangan ahli Hadits adalah bahwa seorang itu
harus memenuhi kriteria: 1. Muslim, 2. Baligh. 3. Berakal sehat.4. tidak
berbohong dan 5. Tidak terganggu akalnya.[8]
3.
Para perawi harus dhabit, yakni telah dikenal memiliki daya
hafal yang kuat, bila Hadits itu diriwayatkan dengan hafalan, atau memiliki catatan
yang akurat, bila Hadits itu diriwayatkan melalui tulisan. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari kesalahan, kekeliruan ataub cacat lainnya. Bila seorang
perawi memenuhi kedua kriteria ini (adil dan dhabit), maka ia
disebut dengan tsiqah. Dan bila suatu sanad memenuhi syarat itu,
maka secara lahiriyah dinilai shahih. Akan tetapi, demi menambah
ketepatan dan ketelitian, para ulama menembahkan dua syarat utama, yaitu:[9]
Dari penilitian ini kemudian
melahirkan cabang ilmu yang dikenal dengan al jarh wa ta’dil, ilmu untuk
mengetahui para perawi Hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi Hadist.
4.
Tidak syadz, yaitu, sering terjadi sanad itu shahih
bila diukur dengan kriteria di atas, tetapi terdapat sanad lain yang
berbeda dan nilainya lebih kuat, lantaran adanya lebih banyak periwayat tsiqah
yang berbeda dengan perawi-perawi pada sanad yang pertama atau
kerena memiliki daya hafal atau ketelitian lebih dibandingkan dengan
perawi-perawi pada sanad pertama. Dalam kondisi seperti ini, sanad pertama
dinilai dhaif, dan biasa disebut dengan istilah sanad syadz, sedang
sanad yang lain menjadi kuat, dan biasa dikenal dengan istilah sanad
mahfudz.[10]
5.
Sanad itu tidak
mengandung illat qadihah, yaitu sering terjadi suatu sanad terlepas
dari syadz, tetapi tidak terlepas dari illat qadihah. Misalnya
secara lahiriyah sanad itu bersambung dan shahih, tetapi ada
sementara ahli yang melihat bahwa sanad itu munqathi. Dalam
kondisi seperti inilah para kritikus yang jeli akan mampu menilai bahwa sanad
itu mengandung illat, meskipun secara lahiriyah terlihat shahih.[11]
Klasifikasi di atas sangat berguna
untuk menentukan status sebuah Hadist. Apakah ia shaheh, hasan atau dhaif.
Jika syarat-syarat di atas terpenuhi maka status sebuah Hadits disebut dengan shahih.
Bila salah satunya tidak terpenuhi maka statusnya akan jatuh ke dalam level
dhaif. Jika kekuatan daya ingatan perawinya kuat maka ia masuk ke
kategori shahih, bila kurang ia akan disebut dengan hadist yang hasan.
Setelah diperoleh kesimpulan melalui
langkah-langkah penelitian di atas, bahwa sanad suatu Hadist, misalnya, shahih,
maka langkah penelitian selanjutnya diarahkan kepada matan sebuah
Hadits bersangkutan.
[1] M. Syuhdi Ismali, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992) h. 23
[2] Amar Abdul Mun’im, Taisir Ulum Al Hadits, (Tt: Dar al
Dhiya’, tt) h. 10
[3] Qs. Al Hujarat: 6
[4] At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, (Beirut: Dar al Ihya al
Turats al Arabi, tt), No 2657 juz 5, h 34.
[5] Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Inda Ulama’
al Hadits al Nabawi, (Al Qahirah: Dar AlFath, tt), h. 19
[6] Ibid, h. 40
[7] Ibid,
[8] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Tebing Tinggi: Mutiara Sumber
Widya, 1998), h. 360
[9] Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, loc cit.
[10] Ibid,
[11] Ibid,
0 Response to "Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Sanad"
Post a Comment