Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Matan
Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Matan
Kata dasar matan dalam bahasa
Arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol ke
atas”.[1]
Apabila dirangkai menjadi matn hadits, menurut Al-Thibby, seperti yang
dinukil oleh Musfir al-Damini, adalah:
“kata-kata Hadits yang dengannya
terbentuk makna-makna”. Definisi ini
sejalan dengan pandangan Ibnu al-Atsir al-Jazari bahwa setiap matan Hadits
tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep).[2]
Dengan demikian, komposisi ungkapan matan Hadits pada hakikatnya adalah
pencerminan konsep ide, yang intinya dirumuskan berbentuk teks.
Al-adlabi menyitir pernyataan Ahmad
Amin yang menyebutkan bahwa para ahli Hadits sangat mengutamakan kritik ekstern
atau sanad, dan tidak mengindahkan kritik intern, yang ia sebut juga
dengan “naqd al-dakhili”. Mereka telah melakukan usaha yang berlebihan,
kata Amin, berkenaan dengan jarh dan ta’dil terhadap para perawi
Hadits. Mereka memberikan penilaian pada para perawi itu dengan tsiqah atau
tidak. Dengan ukuran-ukuran seperti itu pula mereka mengklasifikasikan Hadits
menjadi shahih, hasan, dhaif, mursal, munqathi’, syadz, dan lainnya.
Mereka tidak melakukan usaha untuk melakukan penelitian atau kritik matan.
Akibatnya mereka tidak pernah mempedulikan matan Hadits itu sesuai atau
tidak.[3]
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
mereka juga tidak banyak memperhatiakan iklim politik yang mendorong terjadinya
pemalsuan Hadits. Akibatnya mereka tidak merasa ragu sedikitpun terhadap
beberapa Hadits, meskipun isinya jelas memberi dukungan politik terhadap
Dauwlat Amawiyah, Abasiyah, ataupun Alawiyah dan tidak melakukan studi
komprehensif terhadap situasi sosial masa Nabi Saw, Khulafau’urrasyidin, untuk
mengetahui apakah suatu Hadits dengan situasi sosial saat Hadist itu diucapkan
atau justru bertolak belakang.[4]
Kemudian beliau juga menjelaskan,
seandainya mereka banyak melakukan studi kritik matan dan tidak semata
terpaku pada kritik sanad, maka akan ditemukan sebenarnya banyak Hadist
yang berstatus palsu.[5]
Jauh ditarik ke belakang,
sebenarnya, kritik terhadap dominasi pada penelitian sanad Hadist sudah
bersahut-sahutan, bahkan para teolog Mu’tazilah menyebarkan asumsi bahwa
ulama Hadist hanya sekadar, zawamil asfar , unta pengangkut barang yang
tidak pernah mautahu apa isi barang yang ia pikul. Tidak merasa tertarik
untuk mengadakan pemikiran dan penalaran. Para ahli Hadist, menurut mereka,
hanya bermaksud melakukan kritik sanad, tanpa beranjak ke sisi lain,
kritik matan.[6]
Pada umumnya, dalam penelitian
(kritik) matan dilakukan perbandingan-perbandingan, seperti
memperbandingkan Hadits dengan Alquran, Hadits dengan Hadits, Hadits dengan
peristiwa dan kenyataan sejarah, nalar atau rasio, dan dengan lainnya.[7]
Adapun rincian penjelasan ini, sebagai berikut:
a) Penelitian Terhadap Riwayat-Riwayat yang Bertentangan dengan
Alquran Al Karim
Tidak diragukan lagi, bagi setiap
muslim, bahwa riwayat manapun yang berasal dari Nabi yang bertentangan dengan nash
Alquran bukanlah kalam kenabian. Sebagaimana terlihat dalam ayat Alquran
berikut ini:
وَإِذَا
تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَاتُنَا بَيِّنَٰتٖ قَالَ ٱلَّذِينَ لَا يَرۡجُونَ
لِقَآءَنَا ٱئۡتِ بِقُرۡءَانٍ غَيۡرِ هَٰذَآ أَوۡ بَدِّلۡهُۚ قُلۡ مَا يَكُونُ
لِيٓ أَنۡ أُبَدِّلَهُۥ مِن تِلۡقَآيِٕ نَفۡسِيٓۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا
يُوحَىٰٓ إِلَيَّۖ إِنِّيٓ أَخَافُ إِنۡ عَصَيۡتُ رَبِّي عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ
١٥
“Dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan
Kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah
dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak
diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar
(kiamat)"[8]
Jika menemukan sebuah Hadist yang matannya
Nampak bertentangan dengan AlQuran, maka ada dua sudut pandang yang dapat
ditawarkan: pertama, dari sudut wurud. Alquran seluruhnya adalah qath’I
wurud, benar dengan tingkat kebenaran yang tidak menagandung keraguan
sedikit pun. Sedangkan Hadis-hadis nabi adalah dzanni wurud kecuali
hadis mutawatir yang jumlahnya tidak banyak. Dengan argument akal dapat
dikemukakan bahwa yang dzhanni harus ditolak bila bertentangan dengan
yang qhat’i. kedua, dari sudut dalalah. Alquran maupun Hadits
adakalanya qathi dan dzanni.[9]
b)Penelitian Terhadap Riwayat-Riwayat yang Bertentangan dengan Hadist
dan Sirah Nabawiyah yang Shahih
Caranya adalah dengan membandingkan
antara riwayat yang berbeda mengenai suatu Hadist. Dengan cara ini, seorang
peneliti Hadis akan mengetahui beberapa hal:
1)
Adanya idraj, yaitu lafaz Hadist yang bukan berasal dari
nabi saw, yang disisipkan oleh salah seorang dari para perawinya, baik perawi
dari kalangan sahabat atau yang lainnya.
2)
Adanya idhthirab, yaitu pertentangan antara dua riwayat yang
sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih terhadap
salah satunya.
3)
Adanya Al qalb, yaitu pemutarbalikan matan Hadits,
yang mana hal ini terjadi karena tidak dhabitnya salah seorang perawi
dalam hal matan Hadist, sehingga dia mendahulukan atau mengkemudikan
lafaz yang seharusnya tidak demikian, atau ada pengubahan yang merusak matan
Hadist
4)
Adanya penambahan lafaz dalam sebagian riwayat, atau yang disebut
dengan ziyadah al-tsiqah.[10]
Di samping itu, dalam menolak suatu
riwayat yang disandarkan kepada Nabi karena riwayat tersebut bertentangan
dengan riwayat yang lain, haruslah dipenuhi dulu dua syarat berikut ini:
Pertama, bahwa kedua riwayat tersebut tidak mungkin dikompromikan. Apabila
keduanya bisa dikompromikan secara wajar, tanpa terkesan dipaksakan, maka tidak
ada alas an untuk menerima salah satunya sembari menolak yang lain. Apabila
tidak dapat dikompromikan, maka langkah beriktnya adalah dengan melakukan tarjih,
yaitu meneliti hal-hal yang dapat menguatkan salah satu dari keduanya
sehingga ditemukan mana yang rajah lalu mengamalkannya. Kemudian yang marjuh
yang ditinggalkan dan tidak diamalkan.
Kedua, bahwa salah satu dari Hadist yang bertentangan tersebut berstatus mutawatir,
sehingga dapat menolak Hadist lain yang bertentangan dengannya, yang tentu,
statusnya bukan mutawatir. Syarat yang kedua ini pada dasarnya
mengisyaratkan perlunya mempertimbangkan statuk kuat atau lemahnya eksistensi
suatu Hadist dibandingkan dengan Hadist lain yang bertentangan dengannya. Hadis
yang berstatus mutawatir eksistensinya adalah qathi tsubut sedangkan
hadist non mutawatir eksistensinya adalah nisbi, dzanni.[11]
c) Penelitian Terhadap Riwayat-Riwayat yang Bertentangan dengan Akal,
Indera, dan Sejarah
Termasuk hal
yang menunjukkan kebatilan Hadits yang diriwayatkan dari Nabi Saw adalah
eksistensi Hadits itu bertentangan dengan akal, indra atau sejarah. ini adalah
langkah selanjutnya yang dilakukan dalam rangka meneliti keshahihan
sebuah matan suatu Hadits.
Para ulama
sepakat menyatakan bahwa Hadits-Hadits nabi tidak bertentangan dengan akal
sehat manusia. Namun, jangkauan akal manusia antara satu dan yang lain adalah
berbeda. Karenanya yang dimaksud dengan akal sehat di sini adalah akal atau
nalar yang disinari petunjuk Al Quran dan Hadist nabi yang sudah mempunyai
kedudukan yang tetap dan bukan semata-mata akal.[12]
Para ulama juga
sepakat bahwa Hadits-Hadits Nabi yang tidak bertentangan dengan pengamatan
panca indra manusia, dan bukanlah watak dari ajaran Nabi Saw untuk menuntut
manusia agar menerima sesuatu yang bertentangan dengan pengamatan dan panca
indra mereka. Akan tetapi, hal ini tidak berarti, bahwa segala sesuatu yang
dibawa oleh Nabi harus dapat dijangkau oleh panca indra. Oleh karenanya ,
terhadap apa yang diperintahkan rasul yang tidak terjangkau oleh akal indra
kita, maka kita wajib menerimanya; dan sebaliknya, segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh panca indra kita, maka rasul tidak akan memerintahkan kita
dengan sesuatu yang berlawanan atau bertentangan dengannya.[13]
Selanjutnya,
para ulama Hadits pun sepakat bahwa Hadits Nabi tidak mungkin bertentangan
dengan fakta dan peristiwa sejarah. Oleh karena itu, apabila ada suatu riwayat
yang dinyatakan sebagai Hadits namun bertentangan dengan fakta dan peristiwa
sejarah, maka riwayat tersebut haruslah ditolak. Hal demikian bukan berarti
bahwa setiap terjadi pertentangan antara suatu Hadits dengan sejarah, maka
Hadits tersebut langsung ditolak, akan tetapi mestilah peristiwa sejarah
tersebut terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya dengan bukti-bukti yang lebih
meyakinkan, sehingga statusnya menjadi yakin.[14]
[1] Hasjim Abbad, Kritik Matan Hadits, (Yogyakarta: Teras,
2004), h. 13
[2] Ibid,
[3] Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, op cit. h. 19
[4] Ibid, h. 20
[5] Ibid,
[6] Ibid, h. 18
[7] Nawir Yuslem, opcit, h. 364
[8] QS. Yunus: 15
[9] Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, op cit.h. 259
[10] Nawir Yuslem, opcit, h. 367
[11] Ibid, h. 369
[12] Nawir Yuslem, opcit, h. 370
[13] Ibid,
[14] Ibid, h. 374-375
0 Response to "Model Penelitian Hadits yang Berpusat pada Matan"
Post a Comment