Makalah Cara Pemeriksaan Perkara, di Pengadilan Tingkat Pertama
Cara Pemeriksaan Perkara,
di Pengadilan Tingkat Pertama
Disusun oleh:
ADI HARMANTO
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengadilan
Agama merupakan kerangka sistem dan tata hukum Nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berlakunya UU No. 7/1989, secara
konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang
disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai
Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi
Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai
Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing
Departemen yang bersangkutan.
Jenjang
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri atas pereadilan agama
sebagai pengadilan tinggi toimgkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai
pengadilan tingkat banding. Pengadilan agama berkedudukan di kota atau ibu kota
kabupaten dan daerah hukumnya mencakup daerah kota atau kabupaten. Adapun
pengadilan tinggi agama berkedudukan di provinsi, dan daerah hukumnya mencakup
wilayah provinsi.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini, kami (pemakalah) akan coba menjelaskan tentang
bagaimana tata cara pemeriksaan perkara di Pengdilan Agama tingkat Pertama dan
hal-hal yang berkaitan dengannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan sidang pertama?
2.
Dan
bagaimanakah proses atau cara pemeriksaannya?
3.
Juga, apa
sajakah yang berkaitan dengannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sidang pertama dan pengertiannya
Sidang pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan
menentukan dalam beberapa hal, misalnya sebagai berikut:[1]
1. Jika tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil
dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada siding pertama,
ia akan diputus verstek.
2. Jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa
sahnya tidak datang menghadap pada siding pertama, ia akan diputus dengan
digugurkan perkaranya.
3. Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama.
Kalau sudah diajukan sesudah waktu itu, tidak akan diperhatikan lagi.
4. Gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama.
Oleh karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya,
supaya tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi.
Sidang pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang
tertera dalam Penetapan Hari Sidang (PHS) yang ditetapkan oleh Ketua Majelis,
atau dapat juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat
panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat. Untuk kongkritnya
dicontohkan sebagai berikut:[2]
Tergugat Ridwan dipanggil untuk hadir pada tanggal 20 Agustus 1987 atas
gugatan dari penggugat Susilawati dan Susilawati juga dipanggil yang sama. Pada
tanggal tersebut, penggugat hadir tetapi tergugat tidak. Untuk itu pengadilan
masih dapat (kalau mau) untuk memanggil lagi terhadap tergugat untuk kali yang
lain, misalnya untuk tanggal 27 Agustus 1987. Jika tergugat tidak hadir juga,
ia atau kuasa sahnya pada tanggal 27 Agustus 19787 tersebut maka ia akan
diputus dengan verstek.
Tanggal 20 Agustus bagi Susilawati (penggugat) disebut “sidang pertama”,
dus ia tidak bisa lagi diputus untuk digugurkan perkaranya sekalipun misalnya
pada sidang-sidang seterusnya bahkan ketika pengucapan keputusan, ia tidak
hadir. Bagi tergugat (Ridwan), tanggal 27 Agustus 1987 itulah yang disebut
“sidang pertama” baginya.
Andaikata pengadilan, sesudah ketidakhadiran Ridwan pada tanggal 27
Agustus 1987 tersebut, tidak bersedia lagi untuk memanggilnya yang kedua
kalinya maka tanggal 27 Agustus 1987 tersebut adalah sidang pertama baginya,
dus ia bisa diputus verstek.
Contoh konkrit lagi, misalnya dalam hal tergugat lebih dari seorang,
pada panggilan pertama ada yang hadir dan ada yang tidak, sebagai berikut.[3]
Tergugat Karim dan Fatimah, penggugatnya adalah Samsuar, yang semuanya
dipanggil untuk sidang tanggal 15 April 1987. Pada hari itu penggugat Samsuar
hadir, tergugat Karim hadir tetapi tergugat Fatimah tidak. Samsuar dan Karim
dipanggil lagi untuk kali yang lain dengan cara memberitahukan langsung
sedangkan Fatimah dengan panggilan tertulis, misalnya untuk sidang tanggal 22
April 1987.
Tanggal 15 April 1987 adalah “sidang pertama” bagi Samsuar, dus ia tidak
bisa lagi diputus dengan digugurkan perkaranya, tetapi belum merupakan sidang
pertama bagi Fatimah sehingga Fatimah (otomatis termassuk Karim) belum bisa
diputus verstek.
Ketentuan pasal 127 HIR yang belum boelh melakukan pemeriksaan kepada
penggugat Samsuar dan kepada tergugat Karim untuk sidang tanggal 15 April 1987,
adalah tidak rasional, bukankah telah membuang waktu sia-sia, toh bisa
dilakukan pemeriksaan terhadap yang telah hadir sedangkan sidanng itu sendiri
belumlah tahap jawab-berjawab dan belum tahap pembuktian. Tegasnya, tidak ada
keberatannya kecuali larangan HIR sendiri, karenanya terserah kebijaksanaannya
majelis hakim, dengan catatan harus dimaklimi yang sama oleh pengadilan tingkat
banding dan Mahkamah Agung seandainya perkara itu sampai banding atau kasasi.[4]
Selain daripada yang termasuk kategori sidang pertama, disebut sidang
lanjutan, hal mana tidak menentukan lagi tahap 4 hal seperti telah kita
sebutkan di muka.
B. Jalannya Sidang Pertama Atau Tata Cara Sidang Pertama
1. Tugas panitera sesaat sebelum sidang
Panitera sidang, pada hari, tanggal dan jam sidang yang telah
ditentukan, mempersiapkan dan men-chek segala sesuatunya untuk sidang. Setelah
siap, panitera melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang siap menunggu
di ruang sidang pada tempat duduk yang disediakan baginya dan telah siap memakai
baju penitera sidang.
Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu yang
khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu majelis
hakim memasuki ruang sidang, panitera mempersilakan hadirin berdiri dan setelah
hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk duduk. Tugass ini bukan hanya
untuk sidang pertama tetapi berlaku dalam segala persidangan.[5]
Pada sidang pertama yang ditetapkan melalui Penetapan Hari Sidang,
meskipun para pihak sudah dipanggil ada kemungkinan pihak tidak hadir dalam
persidangan, ketidakhadiran pihak menuntukan keadaan pemeriksaan yang
dilakukan.
a. Ketidakhadiran penggugat
Jika penggugat/kuasanya tidak hadir tetapi tergugat hadir, maka gugatan
dapat dinyatakan gugur atau sidang ditunda untuk memanggil penggugat sekali
lagi dan jika tetap tidak hadir gugatan dinyatakan gugur, penggugat dapat
mengajukan perkara perkara yang baru dengan membayar lagi panjar biaya perkara
atau bisa juga langsung mengajukan banding. Jika penggugat lebih dari seorang
dan ada sebagian yang tidak hadirr setelah dipanggil kedua kalinya tetap tidak
hadir gugatan tidak dapat dinyatakan gugur, tetapi diperiksa seperti biasa.[6]
b. Ketidakhadiran tergugat
Apabila dalam sidang pertama penggugat hadir, tetapi tergugat/kuasanya maka
asalkan tergugat sudah dipanggil secara resmi dan patut, gugatan dapat diputus
verstek (putusan di luar hadir tergugat) yang biasanya juka gugatan memang
beralasan dan tidak melawan hukum akan mengabulkan gugatan penggugat dan
mengalahkan tergugat secara tidak hadir. Tetapi, dapat pula tergugat dipanggil
sekali lagi dan bial tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah sementara
penggugat yang hadir tidak bersedia mencabut gugatan dan tetap meminta untuk
diputuskan, maka diputus verstek. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan
apabila tergugat hanya satu orang (tergugat), jika tergugat lebih dari sau
orang dan ada sebagian yang tidak hadir, sidang harus diundur untuk memanggil
tergugat yang tidak hadir sekali lagi, jika setelah itu masih ada yang tidak
hadir pemeriksaan dilanjutkan terhadap tergugat yang hadir sebagaimana mestinya
dan tidak diputus verstek.
Apabila tergugat, meskipun tidak hadir, ada mengirimkan surat jawaban,
surat itu tidak akan diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada kecuali berisi
eksepsi (bantahan) bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili, maka
harus diperiksa oleh hakim dengan mendengar penggugat, bila eksepsi diterima
dengan alasan pengadilan tidak berwenang
tetapi jika eksepsi ditolak karena menurut hakim pengadilan tersebut
berwenang maka diputus dengan verstek.
Putusan verstek dijatuhkan tanpa membuktikan dalil-dalil gugat karena
dianggap tidak dibantah tergugat dengan ketidakhadirannya. Akan tetapi, dalam
perkara perceraian untuk menghindari kebohongan dan sandiwara dalam perceraian,
sebelum diputus verstek dalil-dalil gugat tetap harus dibuktikan penggugat, di
samping juga melaksanakan asa Undang-Undang perkawinan yang mempersulit
terjadinya perceraian.[7]
Terhadap putusan verstek dapat dilakukan upaya hukum verzet /
perlawanan, sehingga pemeriksaan dilanjutkan dengan memanggil kembali para
pihak dalam persidangan. Verzet sudah diajukan paling lambat 14 hari sejak
pemberitahuan putusan verstek, jika pemberitahuan disampaikan melalui kepala
desa karena tidak dapat secara langsung dan tergugat tidak melaksanakan putusan
secara suka rela, maka Ketua Pengadilan akan memanggilnya untukn mendapat
teguran, maka batas waktu verzet adalah 8 hari setelah pemberian teguran.
Apabila ketika dipanggilk untuk mendapat teguran itu tergugat tidak datang,
maka Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi, bagi tergugat dapat
mengajukan verzet selambat-;ambatnya 8 hari dari tanggal eksekusi. Khusus
perkara perceraian atau perkara lain yang tidak memerluka eksekusi, tenggang
waktu verzet hanya dihitung 14 hari sejak putusan diberitahukan.[8]
Apabila pihak penggugat terhadap putusan verstek, justru mengajukan
banding, maka tergugat tidak dapat mengajukan verzet tetapi ia hanya boleh
mengajukan banding bersama penggugat, jika penggugat tidak banding, maka
tergugat hanya bisa verzet, setelah putusan dihasilkan melalui acara verzet
barulah Ia dapat mengajukan banding.
Tuntutan verzet dibuat seperti biasa dan dimasukkan sama seperti mendaftarkan
perkara biasa, tetapi dengan biaya perkara nihil dan nomor perkara sama dengan
nomor perkara yang dilawan. Verzet berkedudukan sebagai jawaban dari tergugat
atas gugatan penggugat sehingga pemeriksaan tetap mengacu pada gugatan asal
(conventie). Dalam pemeriksaan verzet jika tergugat tetap tidak hadir, maka
pengadialn memsutus verstek untuk kedua kalinya dimana tergugat tidak dapat
lagi mengajukan verzet, jika tergugat hadir, maka pemeriksaan dilakukan seperti
biasa sampai dihasilkan putusan verzet dan para pihak terhadap putusan verzet
dapat mengajukan banding.[9]
2. Ketua Majelis membuka sidang
Ketua Majelis membuka sidang dan sekaligus dinyatakan terbuka untuk umum
dengan ketokan palu 1 atau 3 kali. Khusus bagi Peradilan Agama sebagai
Peradilan Islam, sebaiknya dibuka dengan membaca basmalah, missal: “Sidang
Pengadilan Agama… dalam perkara… antara penggugat… berlawanan dengan tergugat…
dibuka dengan sama-sama membaca basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum.”
Hakim akan berdoa, itu boleh saja, asal saja dilakukan sebelum sidang dibuka
secara resmi.[10]
UU Nomur 14 tahun 1970 Pasal 17 (1) mengharuskan semua sidang
pemeriksaan perkara di pengadilan, terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang. Tidak dipenuhinya ketentuan ini menyebabkan putusan batal
demi hukum dan ketentuan ini berlaku untuk semua lingkungan Peradilan di
Indonesia.[11]
Pasal 18 dari UU tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan sah
dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Ketentuan ini berlaku untuk semua putusan termasuk penetapan, sekalipun
umpamanya sidang-sidang sebelumnya dilakukan dalam sidang tertutup.
Menurut UU Nomor 14 tahun 1985. LN 1985-73 tentang Mahkamah Agung, tidak
dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk umum ini dapat digunakan sebagai
salah satu alasan memohon kasasi.
Sidang terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh
mengikuti/mendengarkan jalannya sidang, boleh masuk ruang sidang, asal tidak
mengganggu atau membuat keonaran dalam sidang. Juga pihak-pihak bagi keperluan
perkaranya, jika dirasa perlu boleh merekam jalnnya sidang dengan
tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu dapat menyimak sidang bagi kepentingan
pembelaan perkaranya..
Sidang tertutup dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada alasan
khusus yang dijadikan oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut majelis
dikabulkan. Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan khusus, pasal
17 ayat (3) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut, sidang permusyawaratan majelis
hukum bersifat rahasia, dus selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum.
Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebut, pemeriksaan perkara gugatan cerai
selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7
tahun 1989 menyebut, pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang
tertutup.[12]
Contoh sidang tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang
dikabulkan oleh majelis hakim, seperti karena perkaranya tersebut sangat
berkaitan langsung dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusiilaan dan
kehormatan pihak atau pihak-pihak.
Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus dengan
penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam Berita Acara Sidang saja, tidak
perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela disitu tidak
memengaruhi kepada putusan akhir (eind vonnis).[13]
Sidang tertutup untuk umum maksudnya ialah bahwa selain daripada yang
berkepentingan langsung atau yang diizinkan oleh majelis hakim, harus
meninggalkan ruangan sidang. Tentu saja di luar harus diawasi oleh petugas
pengadilan agar tidak ada yang menguping, termasuk mik dan speaker (pengeras
suara) supaya disingkirkan.
Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis, ketua
majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruangan sidang. Atas izin ini,
panitera sidang dan petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-pihak untuk
masuk dan duduk pada kursi yang telah disediakan untuknya.
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik sidang yang baik,
penggugat duduk di sebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya ketua majelis hakim
akan menanyakan identitas pihak-pihak.[14]
3. Ketua Majelis Hakim Menanyakan Identitas Pihak-Pihak
Penanyaan identitas bersifat formal, meskipun majelis hakim sudah
mengenali pihak-pihak tetap harus dilakukan penanyaan identitas bersifat
kebijaksanaan umum dalam dalam persidangan yang dilakukan oleh ketua majelis
yang bertanggung jawab mengenai arah pemeriksaan.
Pertanyaan pertama ketua majelis adalah mana penggugat dan mana
tergugat, untuk mengatur tempat duduknya. Lalu dilanjutkan dengan menanyakan
identitas pihak-pihak, dimulai dari penggugat, seterusnya tergugat, yang
meliputi nama, binti/bin, alias/julukan/gelar (kalau ada), umur, agama,
pekerjaan, tempat tinggal terakhir.
Perlu dikemukakan dua hal disini:[15]
a. Menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang
bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh ketua majelis, sebab
ketua majelislah yang bertanggung jawab akan arahnya pemeriksaan/sidang.
b. Hakim yang baik dan manusiawi, apabila sebagai Hakim Agama, hendaklah
selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga mereka tidak merasa gentar
yang akhirnya terbukalah tabir persoalan yang sebenarnya.
Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada pihak, apakah
tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda dengan para hakim dan
panitera yang sedang menyidangkan perkara. Kalau dijawab ada, sidang akan
memperbincangkan sejenak, apakah ada kewajiban hakim untuk mengundurkan diri
sehubungan dengan adanya hubungna itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan
damai antarpihak yang berperkara.[16]
4. Anjuran damai
Pada sidang pertama jika kedua belah pihak hadir maka pengadilan
berusaha mendamaikan mereka, jika berhasil perkara diakhiri dengan perdamaian yang
dituangkan dalam Akta Perdamaian yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan,
tetapi tidak dapat disbanding atau diajukan lagi. Akta Perdamaian hanya dapat
dibuat dalam perkara mengenai sengketa kebendaan saja yang memungkinkan untuk
dieksekusi.[17]
Hasil akhir perdamaian harus benar-benar hasil kesepakatan melalui
kehendak bebas kedua belah pihak, sebab perdamaian dipandang dari sudut
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP/BW) termasuk bidang hukum perjanjian yang
menuntut terpenuhinya syarat-syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 dan
1321 KUH Perdata. Yakni pertama, adanya kesepakatan berdasarkan kehendak
bebas kedau belah pihak. Kedua, kesepakatan itu tidak boleh mengandung
kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) baik fisik maupun psikis,
ataupun penipuan (bedrog). Ketiga, adanya kecakapan bertindak
hukum. Keempat, didasarkan atas sebab yang halal (goorloofde oorzak).
Hakim dalam melaksanakan fungsi mendamaikan harus senantiasa memerhatikan
beberapa aspek itu sehingga tidak terjadi bentuk perdamaian yang dihasilakan
merupakan kehendak sepihak dari pihak yang kuat.[18]
Dalam sengketa perceraian, anjuran damai menjadi satu asas hukum acara
Peradilan Agama yang menjadi kewajiban hakim untuk mengupayakannya dalam setiap
kesempakatan pemeriksaan. Upaya mendamaikan menjadi kewajiban hukum bagi hakim
yang bersifat imperatif terutama dalam sengketa perceraian atas alasan
perselisihan dan pertengkaran, upaya yang ditempuh oleh hakim harus merupakan
usaha yang nyata dan optimal bahkan jika tidak berhasil pada sidang pertama
dapat tersu diupayakan selama perkara belum diputus dan dalam proses tersebut
hakim dapat meminta bantuan kepada orang atau kepada badan hukum lain yang
ditunjuk, seperti mediator. Berbeda dengan kasus perceraian dengan alasan lain
semisal alasan zina, cacat basdan atau jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan
kewajiban atau perkara lainnya diluar perceraian, upaya mendamaiakan bukan
merupakan kewajiban hukum, tetapi fungsinya merupakan kewajiban moral.[19]
Bahkan menurut M. Yahya Harahap, putusan perkara perceraian atas alasan
perselisihan dan pertengkaran yang belum memenuhi usaha mendamaikan secara
optimal dapat dibatalkan secara hukum, karena dianggap belum memenuhi tata
tertib beracara dan untuk itu pengadilan banding atau kasasi harus
memerintahkan pemeriksaan ulang melalui putusan sela untuk mengupayakan
perdamaian secara optimal.[20]
Asas kewajiban mendamaikan bagi Peradilan Agama diatur dalam berbagai
produk peraturan perundang-undangan, diantaranya di dalam Pasal 56 ayat (2),
65, 70, 82, 83, penjelasan ayat (4) Pasal 82 UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 31-32, penjelasan pasal 16
dan ayat (2) Pasal 3 1, PP No. 9 tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan, dan Pasal 115, 143, 144 Inpres No. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam.
Dari keseluruhan redaksi pasal-pasal di atas yang berkaitan dengan asas
mendamaikan memang tidak ditemukan satu pun kata yang bermakan kewajiban atau
keharusan bagi hakim untuk mengupayakan perdamaian antara suami istri secara
lebih jauh dan optimal. Akan tetapi, jika melihat dari rumusan
kalimat-kalimatnya jelas penekanannya menunjukkan usaha mendamaikan harus lebih
jauh dan dengan upaya-upaya yang lebih nyata dan optimal, tidak hanya sekedar
memenuhi tuntutan formalitas saja.
Apabila upaya damai berhasil, maka perkara dicabut tanpa dibuat Akta
Perdamaian karena perjanjian berupa tindak-tanduk, sikap, dan tindakan dalam
rumah tangga jika dilanggar tidak mungkin dieksekusi dan akibat dari
pelanggaran itu tidak menyebabkan putusnya perkawinan. Di kemudian hari jika
mereka kembali menginginkan perceraian, dimungkinkan mengajukan perkara baru
dengan alasan baru bukan dengan alasan sebelumnya yang sudah tercapai
perdamaian. Apabila perkara perceraian sampai di tingkat banding atau kasasi upaya
damai masih bisa diusahakan yang jika tercapai, maka perkara dicabut disertai
Penetapan oleh Pengadilan Banding atau Kasasi yang membatalkan putusan
pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan perceraian karena terjadi
perdamaian sebelum putusan berkekuatan hukum tetap.[21]
5. Pembacaan surat gugatan
Pembacaan surat ini, sebaiknya dilakukan mendahului dari anjuran damai
dan pembacaan surat gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya,
kecuali kalau penggugat buta huruf atau menyerahkannya kepada panitera sidang.
Di tingkat banding dan tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan segala
berkas yang perlu itu, adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir lagi
di muka sidang.[22]
Selesai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak
tercapai, ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat, apakah
ia akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab tertulis apakah
sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu. Bila keadaannya seperti
terakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup, akan dilanjutkan di kali
yang lain.
Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan menjawab tertulis tetapi
sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan jawaban tersebut.
Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat ini disebut “replik”
sedangkan jawaban penggugat atas jawaban ini disebut “duplik”. Begitulah
seterusnya, replikl-duplik, replik-duplik.
Kalau ruplik tersebut berlangsung lisan, pihak mau, hakim tidak
berkeberatan, waktu mengizinkan, mungki saja sidang pertama itu berlangsung
sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja sampai pada tahap musyawarah
majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau langsung sampai tahap pengucapan
keputusan. Dikatakan aneh sebab putusan baru boleh diucapkan setidak-tidaknya
sudah dalam keadaan terkonsep rapi (walaupun belum diketik) dan penulis merasa
bahwa panitera Pengadilan Agama, juga hakim-hakimnya, bukanlah komputer atau
robot.[23]
Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di depan sidang selalu pada
tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih ada yang
akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis, sudah ngawur alias tidak
lagi relevan. Itu berarti segala pemeriksaan dalam semua tahap, selalu dimulai
dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak tergugat, tidak putar balik,
apalagi terbalik.
6. Pembuktian
Pada dasarnya setelah acara replik dan duplik berakhir, majelis hakim
sudah dapat mempertimbangkan apakah gugatan dapat diterima untuk diberi putusan
akhir, yaitu ketika seluruh dalil-dalil gugatan sudah jelas, diakui atua tidak
disangkal lawan. Tetapi, jika dalil-dalil gugat masih belum jelas maka diperlukan
pembuktian, Ketua Majelis akan menentukan pihak yang harus menghadirkan bukti
melalui putusan sela.[24]
Pembuktian merupakan rangkaian tindakan hakim dalam melaksanakan tugas
pokok pemeriksaan perkara, yaitu mengonstatir perkara, hakim harus pasti akan
kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya sehingga hasil konstatiringnya itu
bukan sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal dan gegabah. Hakim harus
menggunakan sarana atau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran
peristiwa yang bersangkutan.
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta
/ peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian
yang berlaku. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian bahwa suatu
peristiwa / fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan
putusan yang benar dan adil.
Hakim membebankan kepada para pihak untuk menghadirkan bukti
masing-masing, penggugat harus membuktikan dalil-dalil gugatannya dan tergugat
harus membuktikan dalil-dalil bantahnnya. Dalam hal ini penggugat tidak harus
membuktikan kebenaran sanggahan tergugat, begitu juga tergugat tidak mesti
membuktikan semua fakta yang diajukan penggugat. Apabial penggugat tidak dapat
membuktikan dalil gugatannya ia dianggap kalah, begitu juga jika tergugat tidak
dapat membuktikan dalil-dalil bantahannya ia dinyatakan kalah.[25]
Alat-alat bukti yang dapat dikemukakan di muka sidang terdiri dari: Alat
bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan di tempat,
saksi ahli, pembukuan dan pengetahuan hakim. Tiap-tiap alat bukti mempunyai
kekuatan pembuktian tersendiri menurut hukum pembuktian.[26]
7. Kesimpulan para pihak (koreklus/konklusi)
Setelah tahap pembuktian berakhir sebelum dibacakan keputusan, para
pihak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat akhir yang merupakan
kesimpulan mereka terhadap hasil pemeriksaan selama persidangan. Konklusi
sifatnya membantu Majelis Hakim, pihak yang sudah biasa berperkara biasanya
selalu membuat catatan-catatan penting mengenai persidangan dan catatan itulah
biasanya yang diajukan sebagai konklusi, mengingat haki adalah juga manusia
biasa yang kemampuan ingatannya juga terbatas, di samping mungkin ada
pergantian Majelis Hakim dalam persidangan. Dalam perkara-perkara yang
sederhana dan jika memang tidak diperlukan konklusi para pihak dapat
ditiadakan.[27]
8. Musyawarah majelis hakim
Terhadap hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan selanjutnya majelis
hakim akan melakukan sidang tertutup
untuk melakukan perundingan dalam merumuskan putusan melalui musyawarah majelis
hakim. Musyawarah majelis hakim dilaksanakan secara rahasia dan tertutup untuk
umum.
Tujuan diadakannya musyawarah adalah untuk menyamankan persepsi agar
perkara yang diadili dapat dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya sesuai
ketentuan hukum yang berlaku. Ketua Majelis memimpin musyawarah dengan member
kesempatan kepada hakim anggota mengemukakan pendapatnya, setiap hakim
mempunyai hak yang sama dalam mengkonstatir, mengualifisir, dan mengonstituir
perkara.
Majelis Hakim, karena jawabannya, harus menambah dasar-dasar hukum yang
tidak dikemukakan para pihak, majelis wajib member keputusan semua bagian
gugatan dan dilarang memutuskan tentang hal-hal yang tidak dimohonkan, hasil
musyawarah hanya dapat diketahui pada saat dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum.[28]
9. Pembacaan putusan hakim
Pembacaan putusan dilakukan oleh Ketua Majelis, jiak putusannya terlalu
panjang dapat dilakukan secara bergantian antara anggota majelis dengan
ketentuan bagian pendahuluan dibacakan oleh Ketua Majelis, bagian duduknya
perkara dibacakan oleh hakim anggota yunior dan tentang hukumnya dibacakan oleh
hakim anggota senior, sedangkan amar putusan dibacakan kembali oleh Ketua
Majelis. Untuk menghindari terjadinya perbedaan antara bunyi putusan yang
diucapkan dengan yang tertulis, putusan baru boleh diucapkan minimal konsep
jadi putusan telah disiapkan dengan sebaik-baiknya dan telah di paraf oleh
semua anggota majelis.[29]
Pengucapan keputusan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, setelah
keputusan selesai terkonsep dengan rapi. Apa yang diucapkan, titik maupun koma apalagi
kata maupun kalimat tidak boleh berbeda antara yang diucapkan dengan yang
tertulis. Setelah pembacaan putusan, kepada para pihak baik penggugat maupun
tergugat ditanyakan sikap mereka apakah menerima atau menolak putusan yang
sudah dihasilkan, jika keduanya sama-sama menerima, maka putusan akan langsung
berkekuatan hukum tetap (in crath) dan tertutup upaya hukum banding,
tetapi bagi yang belum menyatakan sikap, maka ada tenggang waktu 14 hari sejak
dibacakan putusan untuk menyatakan menerima atau menolak putusan, bagi yang
tidak hadir tenggang waktunya mulai dihitung sejak pemberitahuan putusan.
Dalam perkara perceraian putusan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka, dan suatu perceraian berikut akibat-akibatnya dianggap terjadi
terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Panitera Pengadilan wajib mengirim salinan putusan kepada pegawai pencatatyang
akan memasukkan dalam daftar putuusan perceraian. Kelalaian pengiriman salinan
putusan menjadi tanggung jawab panitera jika menimbulkan kerugian bagi bekas
suami istri.[30]
C. Suatu catatan tentang pengucapan keputusan
Sekaligus
disini penulis akan memberikan sedikit catatan sehubungan dengan pengucapan
keputusan di atas, yang pernah penulis temui di lapangan sebagai berikut:[31]
a. Pengucapan keputusan hanya dibacakan butir diktum putusan saja, tidak
lengkap seluruhnya. Ini tidak berhalangan kalau memang kondisi perkara banyak,
tetapi yang sebaiknya adalah dibacakan selengkapnya.
b. Dalam sidang yang terdiri dari beberapa perkara untuk kali itu, sering
membuka dan menutup sidang hanya dilakukan pada awal sekali dan terakhir sekali
dari seluruh perkara (singkatnya buka-tutp borongan), sedangkan buka-tutup
untuk dan setelah musyawarah majelis hakim tidak pernah ada.
Cara ini tentu saja tidak benar, apalagi
kasus perkara lain-lain, mungkin ada sidang tertutup lagi pula antara satu
perkara dengan perkara lainnya tentu diselingi waktu yang tidak termasuk waktu
sidang. Musyawarah mejelis hakim juga harus jelas bagi tiap-tiap perkara itu.
Oleh karena itu, buka tutup sidang,
tutup-buka kembali musyawarah majelis hakim, mutlak perlu diikuti dengan
prosedurnya satu persatu, walaupun mungkin hanya singkat sekilas, sebab Acara
di muka pengadilan sebagaimana sudah sering dikemukakan, sangatlah bersifat
formal. Kalau perkara yang disidangkan misalnya lebih dari satu, sejenis,
misalnya 5 perkara tentang kewarisan semuanya, bisa saja bukanya sekali, dan
tutupnya sekali, tutup untuk musyawarah majelis hakim sekali dan bukanya
kembali sekali, tetapi ketika membuka sidang harus disebutkan kelimma perkara
dimaksudkan, begitu pula ketika tutup, ketika tutup untuk musyawarah majelis
hakim. Tapi perkara itu semuanya sejenis dan sama-sama dilakukan dalam sidang
terbuka untuk umum. Seandainya perkara sekalipun sejenis, sama-sama perkara
permohonan untuk menceraikan istri atau sama-sama perkara tentang gugatan
cerai, tentu saja wajib dilakukan satu persatu, lantaran untuk perkara-perkara
itu ditentukan oleh undang-undang wajib dilaksanakan dalam sidang tertutup dan
bukanlah dikatakan tertutup kalau semua boleh mendengarkan sidang.
c. Ada pula sidang Pengadilan Agama yang setiap diktum dari keputusannya
diikuti dengan satu kali pukulan palu, sehingga kalau diktumnya 8 berarti
pukulan palu menjadi 8 ditambah 3 sama dengan 11 kali pukul. Kita masih
bersyukur bahwa palu dan meja sidang Pengadilan Agama cukup kuat untuk
dipukulkan dan menerima pukulan.
Cara ini tentu saja tidak benar. Cukuplah
sekali pukul setelah semua diktum dibacakan, kemudian 3 kali pukulan yang
digabung dengan pukulan menutup sidang.[32]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cara pemeriksaan perkara di pengadilan tingkat pertama yaitu dimulai
oleh petugas panitera sesaat sebelum sidang setelah panitera merasa sudah beres
semua hal-hal yang mesti dipersiapkan pada sidang, kemudian dilaporkan kepada
ketua majelis hakim yang masuk dari pintu belakang yang sudah disediakan dengan
memakai toga hakim beserta pemanggilan pihak-pihak yang berperkara oleh
panitera.
Kemudian ketua majelis membuka sidang dengan patokan palu 1 atau 3 kali,
kemudian Ketua Majelis menanyakan identitas para pihak, selanjutnya hakim akan
menganjurkan damai setelah itu pembacaan surat gugatan oleh penggugat atau
kuasa sahnya.
Kemudian akan terjadi jawab-berjawab antara penggugat dan tergugat atau
dikenal dengan istilah replik-duplik sampai pada proses pembuktian, setelah
demikian didapatilah kesimpulan kemudian diadakan musyawarah majelis hakim dan
selanjutnya yang terakhir yaitu pembacaan putusan oleh ketua majelis hakim.
B. Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,
Jakarta:RajaGrafindo 2007
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan
Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Jakarta:Rajawali Pres, 2013
[1] A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan
Agama, (Jakarta:RajaGrafindo 2007), hal 93
[2] Ibid, hal 94
[3] Ibid
[4] Ibid, hal 95
[5] Ibid, hal 96
[6] Aris Bintania, Hukum Acara
Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:Rajawali Pres,
2013), hal 15
[7] Ibid, hal 17
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] A. Rasyid, Loc.Cit
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 97
[13] Ibid, hal 98
[14] Ibid
[15] Ibid, hal 99
[16] Ibid
[17] Aris Bintania, Opt.Cit, hal
19
[18] Ibid, hal 20
[19] Ibid
[20] ibid
[21] Ibid, hal 23
[22] A. Rasyid, Opt.Cit, hal 100
[23] Ibid, hal 101
[24] Aris Bintania, Opt.Cit, hal
26
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid, hal 27-28
[28] Ibid
[29] Ibid, hal 29
[30] Ibid, hal 29-30
[31] A. Rasyid, Opt.Cit, hal 140
[32] Ibid, hal 141
0 Response to "Makalah Cara Pemeriksaan Perkara, di Pengadilan Tingkat Pertama"
Post a Comment