/

Makalah Cara Pemeriksaan Perkara, di Pengadilan Tingkat Pertama




          
Cara Pemeriksaan Perkara,
di Pengadilan Tingkat Pertama






Disusun oleh:

ADI HARMANTO

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengadilan Agama merupakan kerangka sistem dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
Jenjang pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri atas pereadilan agama sebagai pengadilan tinggi toimgkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. Pengadilan agama berkedudukan di kota atau ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya mencakup daerah kota atau kabupaten. Adapun pengadilan tinggi agama berkedudukan di provinsi, dan daerah hukumnya mencakup wilayah provinsi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami (pemakalah) akan coba menjelaskan tentang bagaimana tata cara pemeriksaan perkara di Pengdilan Agama tingkat Pertama dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan sidang pertama?
2.      Dan bagaimanakah proses atau cara pemeriksaannya?
3.      Juga, apa sajakah yang berkaitan dengannya?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sidang pertama dan pengertiannya
Sidang pertama bagi pengadilan mempunyai arti yang sangat penting dan menentukan dalam beberapa hal, misalnya sebagai berikut:[1]
1.      Jika tergugat atau termohon (dalam perkara contentiosa) sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada siding pertama, ia akan diputus verstek.
2.      Jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, ia atau kuasa sahnya tidak datang menghadap pada siding pertama, ia akan diputus dengan digugurkan perkaranya.
3.      Sanggahan (eksepsi) relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Kalau sudah diajukan sesudah waktu itu, tidak akan diperhatikan lagi.
4.      Gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama.
Oleh karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya, supaya tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi.
Sidang pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera dalam Penetapan Hari Sidang (PHS) yang ditetapkan oleh Ketua Majelis, atau dapat juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat. Untuk kongkritnya dicontohkan sebagai berikut:[2]
Tergugat Ridwan dipanggil untuk hadir pada tanggal 20 Agustus 1987 atas gugatan dari penggugat Susilawati dan Susilawati juga dipanggil yang sama. Pada tanggal tersebut, penggugat hadir tetapi tergugat tidak. Untuk itu pengadilan masih dapat (kalau mau) untuk memanggil lagi terhadap tergugat untuk kali yang lain, misalnya untuk tanggal 27 Agustus 1987. Jika tergugat tidak hadir juga, ia atau kuasa sahnya pada tanggal 27 Agustus 19787 tersebut maka ia akan diputus dengan verstek.
Tanggal 20 Agustus bagi Susilawati (penggugat) disebut “sidang pertama”, dus ia tidak bisa lagi diputus untuk digugurkan perkaranya sekalipun misalnya pada sidang-sidang seterusnya bahkan ketika pengucapan keputusan, ia tidak hadir. Bagi tergugat (Ridwan), tanggal 27 Agustus 1987 itulah yang disebut “sidang pertama” baginya.
Andaikata pengadilan, sesudah ketidakhadiran Ridwan pada tanggal 27 Agustus 1987 tersebut, tidak bersedia lagi untuk memanggilnya yang kedua kalinya maka tanggal 27 Agustus 1987 tersebut adalah sidang pertama baginya, dus ia bisa diputus verstek.
Contoh konkrit lagi, misalnya dalam hal tergugat lebih dari seorang, pada panggilan pertama ada yang hadir dan ada yang tidak, sebagai berikut.[3]
Tergugat Karim dan Fatimah, penggugatnya adalah Samsuar, yang semuanya dipanggil untuk sidang tanggal 15 April 1987. Pada hari itu penggugat Samsuar hadir, tergugat Karim hadir tetapi tergugat Fatimah tidak. Samsuar dan Karim dipanggil lagi untuk kali yang lain dengan cara memberitahukan langsung sedangkan Fatimah dengan panggilan tertulis, misalnya untuk sidang tanggal 22 April 1987.
Tanggal 15 April 1987 adalah “sidang pertama” bagi Samsuar, dus ia tidak bisa lagi diputus dengan digugurkan perkaranya, tetapi belum merupakan sidang pertama bagi Fatimah sehingga Fatimah (otomatis termassuk Karim) belum bisa diputus verstek.
Ketentuan pasal 127 HIR yang belum boelh melakukan pemeriksaan kepada penggugat Samsuar dan kepada tergugat Karim untuk sidang tanggal 15 April 1987, adalah tidak rasional, bukankah telah membuang waktu sia-sia, toh bisa dilakukan pemeriksaan terhadap yang telah hadir sedangkan sidanng itu sendiri belumlah tahap jawab-berjawab dan belum tahap pembuktian. Tegasnya, tidak ada keberatannya kecuali larangan HIR sendiri, karenanya terserah kebijaksanaannya majelis hakim, dengan catatan harus dimaklimi yang sama oleh pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Agung seandainya perkara itu sampai banding atau kasasi.[4]
Selain daripada yang termasuk kategori sidang pertama, disebut sidang lanjutan, hal mana tidak menentukan lagi tahap 4 hal seperti telah kita sebutkan di muka.
B.     Jalannya Sidang Pertama Atau Tata Cara Sidang Pertama
1.      Tugas panitera sesaat sebelum sidang
Panitera sidang, pada hari, tanggal dan jam sidang yang telah ditentukan, mempersiapkan dan men-chek segala sesuatunya untuk sidang. Setelah siap, panitera melapor kepada ketua majelis, lalu panitera sidang siap menunggu di ruang sidang pada tempat duduk yang disediakan baginya dan telah siap memakai baju penitera sidang.
Selanjutnya majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu yang khusus untuknya, dalam keadaan sudah berpakaian toga hakim. Begitu majelis hakim memasuki ruang sidang, panitera mempersilakan hadirin berdiri dan setelah hakim duduk, mempersilahkan kembali hadirin untuk duduk. Tugass ini bukan hanya untuk sidang pertama tetapi berlaku dalam segala persidangan.[5]
Pada sidang pertama yang ditetapkan melalui Penetapan Hari Sidang, meskipun para pihak sudah dipanggil ada kemungkinan pihak tidak hadir dalam persidangan, ketidakhadiran pihak menuntukan keadaan pemeriksaan yang dilakukan.
a.       Ketidakhadiran penggugat
Jika penggugat/kuasanya tidak hadir tetapi tergugat hadir, maka gugatan dapat dinyatakan gugur atau sidang ditunda untuk memanggil penggugat sekali lagi dan jika tetap tidak hadir gugatan dinyatakan gugur, penggugat dapat mengajukan perkara perkara yang baru dengan membayar lagi panjar biaya perkara atau bisa juga langsung mengajukan banding. Jika penggugat lebih dari seorang dan ada sebagian yang tidak hadirr setelah dipanggil kedua kalinya tetap tidak hadir gugatan tidak dapat dinyatakan gugur, tetapi diperiksa seperti biasa.[6]
b.      Ketidakhadiran tergugat
Apabila dalam sidang pertama penggugat hadir, tetapi tergugat/kuasanya maka asalkan tergugat sudah dipanggil secara resmi dan patut, gugatan dapat diputus verstek (putusan di luar hadir tergugat) yang biasanya juka gugatan memang beralasan dan tidak melawan hukum akan mengabulkan gugatan penggugat dan mengalahkan tergugat secara tidak hadir. Tetapi, dapat pula tergugat dipanggil sekali lagi dan bial tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah sementara penggugat yang hadir tidak bersedia mencabut gugatan dan tetap meminta untuk diputuskan, maka diputus verstek. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan apabila tergugat hanya satu orang (tergugat), jika tergugat lebih dari sau orang dan ada sebagian yang tidak hadir, sidang harus diundur untuk memanggil tergugat yang tidak hadir sekali lagi, jika setelah itu masih ada yang tidak hadir pemeriksaan dilanjutkan terhadap tergugat yang hadir sebagaimana mestinya dan tidak diputus verstek.
Apabila tergugat, meskipun tidak hadir, ada mengirimkan surat jawaban, surat itu tidak akan diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada kecuali berisi eksepsi (bantahan) bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili, maka harus diperiksa oleh hakim dengan mendengar penggugat, bila eksepsi diterima dengan alasan pengadilan tidak berwenang  tetapi jika eksepsi ditolak karena menurut hakim pengadilan tersebut berwenang maka diputus dengan verstek.
Putusan verstek dijatuhkan tanpa membuktikan dalil-dalil gugat karena dianggap tidak dibantah tergugat dengan ketidakhadirannya. Akan tetapi, dalam perkara perceraian untuk menghindari kebohongan dan sandiwara dalam perceraian, sebelum diputus verstek dalil-dalil gugat tetap harus dibuktikan penggugat, di samping juga melaksanakan asa Undang-Undang perkawinan yang mempersulit terjadinya perceraian.[7]
Terhadap putusan verstek dapat dilakukan upaya hukum verzet / perlawanan, sehingga pemeriksaan dilanjutkan dengan memanggil kembali para pihak dalam persidangan. Verzet sudah diajukan paling lambat 14 hari sejak pemberitahuan putusan verstek, jika pemberitahuan disampaikan melalui kepala desa karena tidak dapat secara langsung dan tergugat tidak melaksanakan putusan secara suka rela, maka Ketua Pengadilan akan memanggilnya untukn mendapat teguran, maka batas waktu verzet adalah 8 hari setelah pemberian teguran. Apabila ketika dipanggilk untuk mendapat teguran itu tergugat tidak datang, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi, bagi tergugat dapat mengajukan verzet selambat-;ambatnya 8 hari dari tanggal eksekusi. Khusus perkara perceraian atau perkara lain yang tidak memerluka eksekusi, tenggang waktu verzet hanya dihitung 14 hari sejak putusan diberitahukan.[8]
Apabila pihak penggugat terhadap putusan verstek, justru mengajukan banding, maka tergugat tidak dapat mengajukan verzet tetapi ia hanya boleh mengajukan banding bersama penggugat, jika penggugat tidak banding, maka tergugat hanya bisa verzet, setelah putusan dihasilkan melalui acara verzet barulah Ia dapat mengajukan banding.
Tuntutan verzet dibuat seperti biasa dan dimasukkan sama seperti mendaftarkan perkara biasa, tetapi dengan biaya perkara nihil dan nomor perkara sama dengan nomor perkara yang dilawan. Verzet berkedudukan sebagai jawaban dari tergugat atas gugatan penggugat sehingga pemeriksaan tetap mengacu pada gugatan asal (conventie). Dalam pemeriksaan verzet jika tergugat tetap tidak hadir, maka pengadialn memsutus verstek untuk kedua kalinya dimana tergugat tidak dapat lagi mengajukan verzet, jika tergugat hadir, maka pemeriksaan dilakukan seperti biasa sampai dihasilkan putusan verzet dan para pihak terhadap putusan verzet dapat mengajukan banding.[9]
2.      Ketua Majelis membuka sidang
Ketua Majelis membuka sidang dan sekaligus dinyatakan terbuka untuk umum dengan ketokan palu 1 atau 3 kali. Khusus bagi Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam, sebaiknya dibuka dengan membaca basmalah, missal: “Sidang Pengadilan Agama… dalam perkara… antara penggugat… berlawanan dengan tergugat… dibuka dengan sama-sama membaca basmalah dan dinyatakan terbuka untuk umum.” Hakim akan berdoa, itu boleh saja, asal saja dilakukan sebelum sidang dibuka secara resmi.[10]
UU Nomur 14 tahun 1970 Pasal 17 (1) mengharuskan semua sidang pemeriksaan perkara di pengadilan, terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Tidak dipenuhinya ketentuan ini menyebabkan putusan batal demi hukum dan ketentuan ini berlaku untuk semua lingkungan Peradilan di Indonesia.[11]
Pasal 18 dari UU tersebut mengatakan bahwa semua putusan pengadilan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan ini berlaku untuk semua putusan termasuk penetapan, sekalipun umpamanya sidang-sidang sebelumnya dilakukan dalam sidang tertutup.
Menurut UU Nomor 14 tahun 1985. LN 1985-73 tentang Mahkamah Agung, tidak dipenuhinya kewajiban sidang terbuka untuk umum ini dapat digunakan sebagai salah satu alasan memohon kasasi.
Sidang terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh mengikuti/mendengarkan jalannya sidang, boleh masuk ruang sidang, asal tidak mengganggu atau membuat keonaran dalam sidang. Juga pihak-pihak bagi keperluan perkaranya, jika dirasa perlu boleh merekam jalnnya sidang dengan tape-recorder, sehingga mereka sesewaktu dapat menyimak sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya..
Sidang tertutup dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada alasan khusus yang dijadikan oleh pihak atau pihak-pihak yang menurut majelis dikabulkan. Contoh bolehnya sidang tertutup karena ada ketentuan khusus, pasal 17 ayat (3) UU Nomor 14 tahun 1970 menyebut, sidang permusyawaratan majelis hukum bersifat rahasia, dus selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975 menyebut, pemeriksaan perkara gugatan cerai selalu dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Pasal 68 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989 menyebut, pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.[12]
Contoh sidang tertutup atas permintaan pihak atau pihak-pihak yang dikabulkan oleh majelis hakim, seperti karena perkaranya tersebut sangat berkaitan langsung dengan nama baik, harkat dan martabat atau kesusiilaan dan kehormatan pihak atau pihak-pihak.
Pertimbangan hakim majelis mengabulkan sidang tertutup harus dengan penetapan sela, tetapi cukup dicantumkan dalam Berita Acara Sidang saja, tidak perlu dengan penetapan tersendiri, sebab penetapan sela disitu tidak memengaruhi kepada putusan akhir (eind vonnis).[13]
Sidang tertutup untuk umum maksudnya ialah bahwa selain daripada yang berkepentingan langsung atau yang diizinkan oleh majelis hakim, harus meninggalkan ruangan sidang. Tentu saja di luar harus diawasi oleh petugas pengadilan agar tidak ada yang menguping, termasuk mik dan speaker (pengeras suara) supaya disingkirkan.
Sesudah sidang dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis, ketua majelis mengizinkan pihak-pihak untuk memasuki ruangan sidang. Atas izin ini, panitera sidang dan petugas lain yang ditunjuk, memanggil pihak-pihak untuk masuk dan duduk pada kursi yang telah disediakan untuknya.
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa menurut etik sidang yang baik, penggugat duduk di sebelah kiri dari tergugat. Selanjutnya ketua majelis hakim akan menanyakan identitas pihak-pihak.[14]
3.      Ketua Majelis Hakim Menanyakan Identitas Pihak-Pihak
Penanyaan identitas bersifat formal, meskipun majelis hakim sudah mengenali pihak-pihak tetap harus dilakukan penanyaan identitas bersifat kebijaksanaan umum dalam dalam persidangan yang dilakukan oleh ketua majelis yang bertanggung jawab mengenai arah pemeriksaan.
Pertanyaan pertama ketua majelis adalah mana penggugat dan mana tergugat, untuk mengatur tempat duduknya. Lalu dilanjutkan dengan menanyakan identitas pihak-pihak, dimulai dari penggugat, seterusnya tergugat, yang meliputi nama, binti/bin, alias/julukan/gelar (kalau ada), umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal terakhir.
Perlu dikemukakan dua hal disini:[15]
a.       Menanyakan identitas pihak-pihak, saksi-saksi atau lain-lain yang bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan selalu oleh ketua majelis, sebab ketua majelislah yang bertanggung jawab akan arahnya pemeriksaan/sidang.
b.      Hakim yang baik dan manusiawi, apabila sebagai Hakim Agama, hendaklah selalu berusaha menggugah hati para pihak sehingga mereka tidak merasa gentar yang akhirnya terbukalah tabir persoalan yang sebenarnya.
Setelah selesai masalah identitas, hakim menanyakan kepada pihak, apakah tidak ada hubungan keluarga atau hubungan semenda dengan para hakim dan panitera yang sedang menyidangkan perkara. Kalau dijawab ada, sidang akan memperbincangkan sejenak, apakah ada kewajiban hakim untuk mengundurkan diri sehubungan dengan adanya hubungna itu. Selanjutnya hakim akan menganjurkan damai antarpihak yang berperkara.[16]
4.      Anjuran damai
Pada sidang pertama jika kedua belah pihak hadir maka pengadilan berusaha mendamaikan mereka, jika berhasil perkara diakhiri dengan perdamaian yang dituangkan dalam Akta Perdamaian yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan, tetapi tidak dapat disbanding atau diajukan lagi. Akta Perdamaian hanya dapat dibuat dalam perkara mengenai sengketa kebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi.[17]
Hasil akhir perdamaian harus benar-benar hasil kesepakatan melalui kehendak bebas kedua belah pihak, sebab perdamaian dipandang dari sudut Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP/BW) termasuk bidang hukum perjanjian yang menuntut terpenuhinya syarat-syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 dan 1321 KUH Perdata. Yakni pertama, adanya kesepakatan berdasarkan kehendak bebas kedau belah pihak. Kedua, kesepakatan itu tidak boleh mengandung kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) baik fisik maupun psikis, ataupun penipuan (bedrog). Ketiga, adanya kecakapan bertindak hukum. Keempat, didasarkan atas sebab yang halal (goorloofde oorzak). Hakim dalam melaksanakan fungsi mendamaikan harus senantiasa memerhatikan beberapa aspek itu sehingga tidak terjadi bentuk perdamaian yang dihasilakan merupakan kehendak sepihak dari pihak yang kuat.[18]
Dalam sengketa perceraian, anjuran damai menjadi satu asas hukum acara Peradilan Agama yang menjadi kewajiban hakim untuk mengupayakannya dalam setiap kesempakatan pemeriksaan. Upaya mendamaikan menjadi kewajiban hukum bagi hakim yang bersifat imperatif terutama dalam sengketa perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran, upaya yang ditempuh oleh hakim harus merupakan usaha yang nyata dan optimal bahkan jika tidak berhasil pada sidang pertama dapat tersu diupayakan selama perkara belum diputus dan dalam proses tersebut hakim dapat meminta bantuan kepada orang atau kepada badan hukum lain yang ditunjuk, seperti mediator. Berbeda dengan kasus perceraian dengan alasan lain semisal alasan zina, cacat basdan atau jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajiban atau perkara lainnya diluar perceraian, upaya mendamaiakan bukan merupakan kewajiban hukum, tetapi fungsinya merupakan kewajiban moral.[19]
Bahkan menurut M. Yahya Harahap, putusan perkara perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran yang belum memenuhi usaha mendamaikan secara optimal dapat dibatalkan secara hukum, karena dianggap belum memenuhi tata tertib beracara dan untuk itu pengadilan banding atau kasasi harus memerintahkan pemeriksaan ulang melalui putusan sela untuk mengupayakan perdamaian secara optimal.[20]
Asas kewajiban mendamaikan bagi Peradilan Agama diatur dalam berbagai produk peraturan perundang-undangan, diantaranya di dalam Pasal 56 ayat (2), 65, 70, 82, 83, penjelasan ayat (4) Pasal 82 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 tentang  Perkawinan, Pasal 31-32, penjelasan pasal 16 dan ayat (2) Pasal 3 1, PP No. 9 tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dan Pasal 115, 143, 144 Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Dari keseluruhan redaksi pasal-pasal di atas yang berkaitan dengan asas mendamaikan memang tidak ditemukan satu pun kata yang bermakan kewajiban atau keharusan bagi hakim untuk mengupayakan perdamaian antara suami istri secara lebih jauh dan optimal. Akan tetapi, jika melihat dari rumusan kalimat-kalimatnya jelas penekanannya menunjukkan usaha mendamaikan harus lebih jauh dan dengan upaya-upaya yang lebih nyata dan optimal, tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan formalitas saja.
Apabila upaya damai berhasil, maka perkara dicabut tanpa dibuat Akta Perdamaian karena perjanjian berupa tindak-tanduk, sikap, dan tindakan dalam rumah tangga jika dilanggar tidak mungkin dieksekusi dan akibat dari pelanggaran itu tidak menyebabkan putusnya perkawinan. Di kemudian hari jika mereka kembali menginginkan perceraian, dimungkinkan mengajukan perkara baru dengan alasan baru bukan dengan alasan sebelumnya yang sudah tercapai perdamaian. Apabila perkara perceraian sampai di tingkat banding atau kasasi upaya damai masih bisa diusahakan yang jika tercapai, maka perkara dicabut disertai Penetapan oleh Pengadilan Banding atau Kasasi yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yang mengabulkan perceraian karena terjadi perdamaian sebelum putusan berkekuatan hukum tetap.[21]
5.      Pembacaan surat gugatan
Pembacaan surat ini, sebaiknya dilakukan mendahului dari anjuran damai dan pembacaan surat gugatan selalu oleh penggugat atau oleh kuasa sahnya, kecuali kalau penggugat buta huruf atau menyerahkannya kepada panitera sidang. Di tingkat banding dan tingkat kasasi lain halnya, yang membacakan segala berkas yang perlu itu, adalah panitera langsung, sebab pihak tidak hadir lagi di muka sidang.[22]
Selesai gugatan dibacakan, majelis menganjurkan damai dan kalau tidak tercapai, ketua majelis melanjutkan dengan menanyakan kepada tergugat, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis dan kalau akan menjawab tertulis apakah sudah siap atau memerlukan waktu berapa lama untuk itu. Bila keadaannya seperti terakhir ini, tentu saja sidang kali itu akan ditutup, akan dilanjutkan di kali yang lain.
Jika tergugat akan menjawab lisan atau akan menjawab tertulis tetapi sudah siap ditulisnya, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan jawaban tersebut. Jawaban pertama, baik lisan ataupun tertulis dari tergugat ini disebut “replik” sedangkan jawaban penggugat atas jawaban ini disebut “duplik”. Begitulah seterusnya, replikl-duplik, replik-duplik.
Kalau ruplik tersebut berlangsung lisan, pihak mau, hakim tidak berkeberatan, waktu mengizinkan, mungki saja sidang pertama itu berlangsung sampai pada tahap pembuktian bahkan mungkin saja sampai pada tahap musyawarah majelis hakim, tetapi aneh sekali kalau langsung sampai tahap pengucapan keputusan. Dikatakan aneh sebab putusan baru boleh diucapkan setidak-tidaknya sudah dalam keadaan terkonsep rapi (walaupun belum diketik) dan penulis merasa bahwa panitera Pengadilan Agama, juga hakim-hakimnya, bukanlah komputer atau robot.[23]
Perlu diingatkan bahwa hak bicara terakhir di depan sidang selalu pada tergugat, jadi replik-duplik belum akan berakhir sepanjang tergugat masih ada yang akan dikemukakannya, kecuali kalau menurut majelis, sudah ngawur alias tidak lagi relevan. Itu berarti segala pemeriksaan dalam semua tahap, selalu dimulai dari pihak penggugat dan diakhiri dari pihak tergugat, tidak putar balik, apalagi terbalik.
6.      Pembuktian
Pada dasarnya setelah acara replik dan duplik berakhir, majelis hakim sudah dapat mempertimbangkan apakah gugatan dapat diterima untuk diberi putusan akhir, yaitu ketika seluruh dalil-dalil gugatan sudah jelas, diakui atua tidak disangkal lawan. Tetapi, jika dalil-dalil gugat masih belum jelas maka diperlukan pembuktian, Ketua Majelis akan menentukan pihak yang harus menghadirkan bukti melalui putusan sela.[24]
Pembuktian merupakan rangkaian tindakan hakim dalam melaksanakan tugas pokok pemeriksaan perkara, yaitu mengonstatir perkara, hakim harus pasti akan kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya sehingga hasil konstatiringnya itu bukan sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal dan gegabah. Hakim harus menggunakan sarana atau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan.
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta / peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian bahwa suatu peristiwa / fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan yang benar dan adil.
Hakim membebankan kepada para pihak untuk menghadirkan bukti masing-masing, penggugat harus membuktikan dalil-dalil gugatannya dan tergugat harus membuktikan dalil-dalil bantahnnya. Dalam hal ini penggugat tidak harus membuktikan kebenaran sanggahan tergugat, begitu juga tergugat tidak mesti membuktikan semua fakta yang diajukan penggugat. Apabial penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya ia dianggap kalah, begitu juga jika tergugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil bantahannya ia dinyatakan kalah.[25]
Alat-alat bukti yang dapat dikemukakan di muka sidang terdiri dari: Alat bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan di tempat, saksi ahli, pembukuan dan pengetahuan hakim. Tiap-tiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri menurut hukum pembuktian.[26]
7.      Kesimpulan para pihak (koreklus/konklusi)
Setelah tahap pembuktian berakhir sebelum dibacakan keputusan, para pihak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan mereka terhadap hasil pemeriksaan selama persidangan. Konklusi sifatnya membantu Majelis Hakim, pihak yang sudah biasa berperkara biasanya selalu membuat catatan-catatan penting mengenai persidangan dan catatan itulah biasanya yang diajukan sebagai konklusi, mengingat haki adalah juga manusia biasa yang kemampuan ingatannya juga terbatas, di samping mungkin ada pergantian Majelis Hakim dalam persidangan. Dalam perkara-perkara yang sederhana dan jika memang tidak diperlukan konklusi para pihak dapat ditiadakan.[27]
8.      Musyawarah majelis hakim
Terhadap hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan selanjutnya majelis hakim  akan melakukan sidang tertutup untuk melakukan perundingan dalam merumuskan putusan melalui musyawarah majelis hakim. Musyawarah majelis hakim dilaksanakan secara rahasia dan tertutup untuk umum.
Tujuan diadakannya musyawarah adalah untuk menyamankan persepsi agar perkara yang diadili dapat dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Ketua Majelis memimpin musyawarah dengan member kesempatan kepada hakim anggota mengemukakan pendapatnya, setiap hakim mempunyai hak yang sama dalam mengkonstatir, mengualifisir, dan mengonstituir perkara.
Majelis Hakim, karena jawabannya, harus menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan para pihak, majelis wajib member keputusan semua bagian gugatan dan dilarang memutuskan tentang hal-hal yang tidak dimohonkan, hasil musyawarah hanya dapat diketahui pada saat dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.[28]
9.      Pembacaan putusan hakim
Pembacaan putusan dilakukan oleh Ketua Majelis, jiak putusannya terlalu panjang dapat dilakukan secara bergantian antara anggota majelis dengan ketentuan bagian pendahuluan dibacakan oleh Ketua Majelis, bagian duduknya perkara dibacakan oleh hakim anggota yunior dan tentang hukumnya dibacakan oleh hakim anggota senior, sedangkan amar putusan dibacakan kembali oleh Ketua Majelis. Untuk menghindari terjadinya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis, putusan baru boleh diucapkan minimal konsep jadi putusan telah disiapkan dengan sebaik-baiknya dan telah di paraf oleh semua anggota majelis.[29]
Pengucapan keputusan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, setelah keputusan selesai terkonsep dengan rapi. Apa yang diucapkan, titik maupun koma apalagi kata maupun kalimat tidak boleh berbeda antara yang diucapkan dengan yang tertulis. Setelah pembacaan putusan, kepada para pihak baik penggugat maupun tergugat ditanyakan sikap mereka apakah menerima atau menolak putusan yang sudah dihasilkan, jika keduanya sama-sama menerima, maka putusan akan langsung berkekuatan hukum tetap (in crath) dan tertutup upaya hukum banding, tetapi bagi yang belum menyatakan sikap, maka ada tenggang waktu 14 hari sejak dibacakan putusan untuk menyatakan menerima atau menolak putusan, bagi yang tidak hadir tenggang waktunya mulai dihitung sejak pemberitahuan putusan.
Dalam perkara perceraian putusan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka, dan suatu perceraian berikut akibat-akibatnya dianggap terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Panitera Pengadilan wajib mengirim salinan putusan kepada pegawai pencatatyang akan memasukkan dalam daftar putuusan perceraian. Kelalaian pengiriman salinan putusan menjadi tanggung jawab panitera jika menimbulkan kerugian bagi bekas suami istri.[30]
C.     Suatu catatan tentang pengucapan keputusan
Sekaligus disini penulis akan memberikan sedikit catatan sehubungan dengan pengucapan keputusan di atas, yang pernah penulis temui di lapangan sebagai berikut:[31]
a.       Pengucapan keputusan hanya dibacakan butir diktum putusan saja, tidak lengkap seluruhnya. Ini tidak berhalangan kalau memang kondisi perkara banyak, tetapi yang sebaiknya adalah dibacakan selengkapnya.
b.      Dalam sidang yang terdiri dari beberapa perkara untuk kali itu, sering membuka dan menutup sidang hanya dilakukan pada awal sekali dan terakhir sekali dari seluruh perkara (singkatnya buka-tutp borongan), sedangkan buka-tutup untuk dan setelah musyawarah majelis hakim tidak pernah ada.
Cara ini tentu saja tidak benar, apalagi kasus perkara lain-lain, mungkin ada sidang tertutup lagi pula antara satu perkara dengan perkara lainnya tentu diselingi waktu yang tidak termasuk waktu sidang. Musyawarah mejelis hakim juga harus jelas bagi tiap-tiap perkara itu.
Oleh karena itu, buka tutup sidang, tutup-buka kembali musyawarah majelis hakim, mutlak perlu diikuti dengan prosedurnya satu persatu, walaupun mungkin hanya singkat sekilas, sebab Acara di muka pengadilan sebagaimana sudah sering dikemukakan, sangatlah bersifat formal. Kalau perkara yang disidangkan misalnya lebih dari satu, sejenis, misalnya 5 perkara tentang kewarisan semuanya, bisa saja bukanya sekali, dan tutupnya sekali, tutup untuk musyawarah majelis hakim sekali dan bukanya kembali sekali, tetapi ketika membuka sidang harus disebutkan kelimma perkara dimaksudkan, begitu pula ketika tutup, ketika tutup untuk musyawarah majelis hakim. Tapi perkara itu semuanya sejenis dan sama-sama dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Seandainya perkara sekalipun sejenis, sama-sama perkara permohonan untuk menceraikan istri atau sama-sama perkara tentang gugatan cerai, tentu saja wajib dilakukan satu persatu, lantaran untuk perkara-perkara itu ditentukan oleh undang-undang wajib dilaksanakan dalam sidang tertutup dan bukanlah dikatakan tertutup kalau semua boleh mendengarkan sidang.
c.       Ada pula sidang Pengadilan Agama yang setiap diktum dari keputusannya diikuti dengan satu kali pukulan palu, sehingga kalau diktumnya 8 berarti pukulan palu menjadi 8 ditambah 3 sama dengan 11 kali pukul. Kita masih bersyukur bahwa palu dan meja sidang Pengadilan Agama cukup kuat untuk dipukulkan dan menerima pukulan.
Cara ini tentu saja tidak benar. Cukuplah sekali pukul setelah semua diktum dibacakan, kemudian 3 kali pukulan yang digabung dengan pukulan menutup sidang.[32]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Cara pemeriksaan perkara di pengadilan tingkat pertama yaitu dimulai oleh petugas panitera sesaat sebelum sidang setelah panitera merasa sudah beres semua hal-hal yang mesti dipersiapkan pada sidang, kemudian dilaporkan kepada ketua majelis hakim yang masuk dari pintu belakang yang sudah disediakan dengan memakai toga hakim beserta pemanggilan pihak-pihak yang berperkara oleh panitera.
Kemudian ketua majelis membuka sidang dengan patokan palu 1 atau 3 kali, kemudian Ketua Majelis menanyakan identitas para pihak, selanjutnya hakim akan menganjurkan damai setelah itu pembacaan surat gugatan oleh penggugat atau kuasa sahnya.
Kemudian akan terjadi jawab-berjawab antara penggugat dan tergugat atau dikenal dengan istilah replik-duplik sampai pada proses pembuktian, setelah demikian didapatilah kesimpulan kemudian diadakan musyawarah majelis hakim dan selanjutnya yang terakhir yaitu pembacaan putusan oleh ketua majelis hakim.

B.     Kritik dan Saran






DAFTAR PUSTAKA

A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta:RajaGrafindo 2007

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Jakarta:Rajawali Pres, 2013




[1] A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:RajaGrafindo 2007), hal 93
[2] Ibid, hal 94
[3] Ibid
[4] Ibid, hal 95
[5] Ibid, hal 96
[6] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:Rajawali Pres, 2013), hal 15
[7] Ibid, hal 17
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] A. Rasyid, Loc.Cit
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 97
[13] Ibid, hal 98
[14] Ibid
[15] Ibid, hal 99
[16] Ibid
[17] Aris Bintania, Opt.Cit, hal 19
[18] Ibid, hal 20
[19] Ibid
[20] ibid
[21] Ibid, hal 23
[22] A. Rasyid, Opt.Cit, hal 100
[23] Ibid, hal 101
[24] Aris Bintania, Opt.Cit, hal 26
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid, hal 27-28
[28] Ibid
[29] Ibid, hal 29
[30] Ibid, hal 29-30
[31] A. Rasyid, Opt.Cit, hal 140
[32] Ibid, hal 141

Related Posts

0 Response to "Makalah Cara Pemeriksaan Perkara, di Pengadilan Tingkat Pertama"

Post a Comment