Dialektika Musik dan Spiritualitas dalam Islam: Simfoni Ketundukan dan Kegelisahan Syariah
Perdebatan tentang musik dalam Islam bukan sekadar perselisihan fiqhiyah yang berputar di antara gugus halal dan haram, tetapi juga refleksi dari pergulatan epistemologis yang lebih dalam: bagaimana wahyu dan akal menafsirkan estetika, bagaimana jiwa merespons irama, dan bagaimana syariat menimbang suara yang bergetar di antara dua kutub—ekstase ilahi dan kecemasan duniawi.
Musik, dalam denyut sejarah peradaban Islam, bukan hanya lantunan nada yang berakhir pada hiburan, tetapi juga getaran yang mampu menggugah kesadaran, menghantar manusia pada tafakkur, dan menyingkap dimensi batin yang sering tersembunyi di balik lapisan-lapisan dunia.
Namun, bagi fikih yang bertugas menjaga keseimbangan antara hakikat dan batasan, musik tidak selalu dipandang sebagai jembatan menuju ma'rifah. Ia juga dapat menjadi jalan menuju ghaflah, kelalaian yang mengalihkan manusia dari orientasi ukhrawi.
Di antara para ulama, perdebatan ini menjelma menjadi simfoni argumen yang menggema dari masa ke masa.
Ibn Hazm, dengan rasionalisme-tekstualnya yang kokoh, menegaskan bahwa tidak ada satu pun dalil qath’i yang mengharamkan musik, sehingga ia tetap berada dalam ranah mubah.
Sebaliknya, Ibn al-Jawzi menulis Talbis Iblis sebagai peringatan bahwa musik, jika tidak dikendalikan, dapat menjadi tipu daya yang memperdaya ruhani.
Al-Ghazali, yang selalu menempuh jalan pertengahan, mengakui bahwa musik memiliki daya yang bisa membawa manusia pada kebajikan atau kebinasaan, tergantung bagaimana ia diresapi oleh jiwa.
Sementara itu, Ibn Taymiyyah, dengan pendekatan sad al-dzari’ah, mengkhawatirkan bahwa musik akan lebih banyak membuka pintu fitnah ketimbang membimbing manusia menuju ketundukan sejati.
Namun, fikih tidak dapat berjalan sendiri tanpa naungan maqashid syariah. Jika diterapkan kaidah al-ashlu fil asyya’ al-ibahah—bahwa hukum asal sesuatu adalah mubah—maka musik tidak serta-merta menjadi haram kecuali ada dalil yang secara pasti melarangnya.
Lebih dari itu, musik juga harus ditimbang dalam keseimbangan antara sad al-dzari'ah (pencegahan mudarat) dan fath al-dzari'ah (pembukaan jalan menuju maslahat).
Sejarah peradaban Islam sendiri telah mencatat bagaimana musik berkembang di pusat-pusat kebudayaan Islam—dari Al-Andalus hingga Istanbul, dari Persia hingga Nusantara—sebagai medium ekspresi yang tidak hanya berakar pada kesenangan, tetapi juga ketundukan.
Bagi para sufi, musik bukan sekadar susunan nada, melainkan gema dari realitas yang lebih tinggi. Al-Rumi menuturkan bahwa semesta ini sendiri adalah tarian yang berpadu dengan irama ilahi—setiap desir angin, setiap gerakan planet, setiap debar rindu adalah bagian dari simfoni kosmik yang mengajak jiwa untuk kembali pada-Nya.
Al-Sarraj, dalam al-Luma’, menegaskan bahwa musik yang mengantarkan pada wajd bukanlah semata lantunan suara, melainkan pancaran harmoni yang sejalan dengan fitrah manusia. Sebaliknya, al-Syatibi dalam al-I’tisham mengingatkan agar ekspresi spiritual tidak sampai melampaui batas-batas syariat, sebab ekstase yang kehilangan kendali bisa tergelincir menjadi ilusi.
Kini, dalam lanskap era digital, musik bukan lagi sekadar bunyi yang bergema di ruang-ruang terbatas, tetapi telah menjelma menjadi aliran yang mengisi setiap sudut kehidupan. Ia merasuk dalam ruang-ruang ibadah, menyusup dalam geliat perlawanan sosial, dan bahkan menjadi bagian dari dinamika spiritualitas kontemporer.
Oleh karena itu, diskursus tentang musik hari ini tidak bisa lagi berhenti pada tanya klasik: "halal atau haram?" Melainkan, ia harus melangkah lebih jauh: bagaimana musik membentuk kesadaran religius manusia? Apakah ia membawa manusia pada tazkiyat al-nafs—pembersihan jiwa—atau justru menjebak dalam euforia yang membutakan?
Pada akhirnya, sebagaimana setiap ayat dalam kitab kehidupan, musik pun membutuhkan pembacaan yang lebih adil. Ia tidak cukup hanya ditimbang dengan kalkulasi hitam-putih hukum, tetapi juga dengan kebijaksanaan yang memahami hakikatnya—sebagai suara yang bisa melalaikan, tetapi juga bisa menyadarkan; sebagai denting yang bisa menenggelamkan, tetapi juga bisa mengangkat manusia lebih dekat kepada-Nya.
Sebab dalam Islam, musik bukan hanya tentang bunyi yang didengar telinga, tetapi gema dari suara hati yang terus mencari-Nya.
0 Response to "Dialektika Musik dan Spiritualitas dalam Islam: Simfoni Ketundukan dan Kegelisahan Syariah"
Post a Comment