Bagaimana Dunia Maya Menyuburkan Dengki?
Ketika pertama kali saya menulis tentang kisah dengki—dari Iblis, Qabil, saudara-saudara Yusuf hingga Kita—yang ada dalam benak saya adalah bagaimana sebuah penyakit batin, yang tampaknya sederhana, mampu meruntuhkan makhluk-makhluk mulia dan membalikkan takdir sejarah manusia.
Namun semakin saya renungkan, semakin jelas bahwa kisah itu bukan hanya milik masa lalu. Ia terus berulang, menjelma, dan bahkan berevolusi dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks.
Apa yang dulu membakar hati seseorang, kini membakar sistem sosial. Apa yang dahulu menjadi bisikan sunyi dalam dada, kini menjadi industri besar yang menggerakkan dunia.
Dulu, dengki menghancurkan satu individu. Kini, dengki menghancurkan sistem. Kita hidup di zaman yang menjadikan dengki sebagai komoditas: diproduksi, dikemas, dan dipasarkan secara masif.
Media sosial, yang pada mulanya dijanjikan sebagai ruang berbagi, perlahan-lahan berubah menjadi panggung perbandingan tanpa akhir. Setiap scroll adalah bara kecil yang dinyalakan di dalam hati: siapa yang lebih kaya, siapa yang lebih cantik, siapa yang lebih sukses, siapa yang lebih dicintai.
Budaya kapitalisme menanamkan mantra halus dalam jiwa kita: kamu belum cukup, kamu harus lebih, kamu harus memenangkan perlombaan imajiner ini. Dengki hari ini bukan sekadar perasaan pribadi yang lahir secara alami; ia adalah produk industri. Ia dibungkus dalam algoritma, dijual dalam iklan, dan dikirimkan setiap hari dalam paket impian palsu yang membuat manusia terus merasa kurang—kurang cantik, kurang berhasil, kurang bahagia.
Dulu, Qabil hanya membunuh satu Habil. Hari ini, jutaan orang membunuh jutaan potensi dalam dirinya sendiri—setiap kali mereka membiarkan rasa iri menelan rasa syukur.
Dulu, Iblis hanya menolak satu perintah. Hari ini, jutaan manusia menolak untuk berbahagia, hanya karena tidak tahan melihat kebahagiaan orang lain.
Di zaman kapitalisme digital ini, dengki bahkan tidak lagi dianggap aib. Ia dibungkus dalam glamor kompetisi. Kita diajarkan untuk merasa kalah kalau tidak lebih viral, tidak lebih tampan, tidak lebih kaya, tidak lebih dikagumi.
Dunia hari ini menghidupi dirinya dengan energi negatif manusia: energi iri, energi kecewa, energi cemburu sosial.
Tidak lagi cukup satu tetangga yang lebih makmur untuk membuat manusia iri. Kini, jutaan wajah berseliweran di layar genggaman kita setiap hari, mempercepat perbandingan, mempercepat pembusukan jiwa.
Kita tidak lagi iri kepada sesama dalam ruang nyata; kita iri kepada semua orang dalam ruang maya.
Kita tidak lagi bersaing sehat; kita saling melukai diri dalam keheningan pikiran masing-masing.
Kita tidak lagi hidup untuk memperbaiki diri; kita hidup untuk membuktikan kepada dunia bahwa kita lebih layak dikagumi.
Ini bukan sekadar perubahan zaman. Ini adalah mutasi peradaban.
Dalam dunia yang mengajarkan kita membandingkan segalanya—dari wajah, tubuh, karier, rumah, pasangan, hingga ekspresi kebahagiaan—maka bersyukur adalah bentuk pemberontakan tertinggi. Lapang dada adalah revolusi sunyi melawan budaya yang mendewakan iri.
Maka, jalan keselamatan bukan hanya dengan menutup mata dari media sosial. Jalan keselamatan adalah membangun benteng jiwa dari dalam: benteng syukur yang tidak tergoyahkan, benteng kelapangan yang tidak runtuh oleh pameran kekayaan dunia.
Sebagaimana doa yang Allah ajarkan:
"Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman. Janganlah Engkau biarkan kedengkian bersarang di hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hasyr: 10)
Karena musuh terbesar bukanlah orang lain yang lebih sukses atau lebih memesona.
Musuh terbesar adalah api kecil yang kita biarkan tumbuh di dalam dada—api kecil yang lambat laun membakar taman jiwa kita, menghancurkan kita hidup-hidup dari dalam.
Dan di zaman ini, melindungi hati dari dengki adalah bentuk perlawanan suci terhadap dunia yang mengajarkan kita untuk membenci.
Melindungi hati adalah jihad abadi manusia beriman.
Melindungi hati adalah jalan pulang ke surga—sebelum surga itu sendiri terbuka.
0 Response to "Bagaimana Dunia Maya Menyuburkan Dengki?"
Post a Comment