Hadis Ahkam Tentang Poligami
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama fitrah, agama yang sejalan dengan tuntutan watak dan
sifat pembawaan kejadian manusia. Oleh karena itu, Islam memperhatikan
kenyataan-kenyataan manusiawi, kemudian mengaturnya agar sesuai dengan
nilai-nilai keutamaan. Pengaruh iklim membawakan perbedaan-perbedaan dalam
kenyataan hidup manusia. Tiap-tiap individu mempunyai pembawaan yang mungkin
berbeda dengan individu yang lain. Keadaan sosial dalam suatu masyarakat pada
masa terterntu mengalami problem-problem yang minta pemecahan.
Sebenarnya tujuan dari peraturan tentang poligami
dalam Islam itu diantaranya ialah untuk menyelamatkan dan menolong kaum wanita,
sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah SAW terhadap istri-istri beliau.
Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) : 3 berfungsi memberikan batasan serta syarat yang
ketat, yaitu batasan maksimal empat istri dengan ketentuan mesti berlaku adil.
Artinya tidak boleh ada anggapan bahwa Al-Qur’an mendorong poligami, tetapi
justru memberikan jalan keluar apabila dalam suatu keadaan terpaksa seorang harus
memilih antara perzinahan dan poligami, atau antara membiarkan wanita terlantar
dan sengsara tak bisa nikah dan menjadi istri kedua.
Pembacaan terhadap dasar nash maupun hadits berkenaan dengan masalah ini
hendaknya dilakukan secara utuh. Untuk menentukan seatu hukum atas boleh atau
tidaknya poligami harus mengkaji semua ayat maupun hadits yang berkenaan
dengannya dengan selektif dan penafsiran yang memperhatikan berbagai
persepektif, baik secara tetkstual maupun kontektual. Untuk mengambil suatu
kesimpulan hukum tidak bisa dilakukan secara parsial atau setengah-setengah
dalam pembacaannya. Karena itu makalah ini, penulis mencoba memaparkan hadits
mengenai masalah poligami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Matan Hadis
حدثنا هناد. حدثنا عبدة عن سعيد
بن ابي عروبة, عن معمر , عن الزهري , عن سالم بن عبد الله , عن بن عمر , أن غيلان
بن سلمة الثقفي أسلم وله عشر نسوة في الجاهلية, فأسلمن معه. فأمره النبي صلى الله
عليه و سلم ان
يتخير اربعا منهن. ( رواه ترميدي )[1]
أخرجه
ابن ماجه في : (9) كتاب النكاح (40) باب الرجل يسلم وعنده اكثر من اربع نسوة ؛
حديث رقم (1953)[2]
B.
Terjamahan Hadis
Dari ibnu
Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia mempunyai
sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam
bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih empat istri
saja.[3]
(HR. Tirmidzi)
Abu Isa
berkata, “Begitulah Ma’mar meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Salim, dari
ayahnya.”
Ia berkata,
“Aku mendengar Muhammad bin Ismail mengatakan bahwa hadis ini tidak akurat.
Yang benar adalah hadis yang diriwayatkan Syu’aib bin Abu Hamzah dan yang lain
dari Az-Zuhri.”
Ia berkata,
“Aku diberitahu dari Muhammad bin Suwaid Ats-Tsaqafi bahwa Ghailan bin Salamah
masuk Islam dan ia punya sepuluh istri.”
Muhammad
berkata, “Hadist Zuhri berasal dari Salim, dari ayahnya: ‘Seorang lelaki dan
Tsaqif menceritakan istri-istrinya’. Lalu Umar berkata kepadanya, ‘Sungguh,
engkau rujuk kembali istri-istrimu atau aku akan melempari kuburan seperti
halnya kuburan Abu Righal’.”
Abu Isa
berkata, “Hadis Ghailan bin Salamah diamalkan oleh sahabat-sahabat kita, di
antaranya adalah Syafi’I, Ahmad, dan Ishak.” [4]
C.
Takhrijul Hadis
Syekh
Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata; Hadist ini Hasan Shahih di dalam kitab
al-irwaa no. 1885, dan Shahih Abu Daud no. 1939[5]
D.
Biografi Periwayat Hadis
Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama
ayahnya. Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang
Badar, namun Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya
adalah Perang Khandaq. Ia ikut berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang
Mu'tah, dan turut pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu
Makkah). Setelah Nabi Muhammad meninggal, ia ikut dalam Perang
Yarmuk dan dalam penaklukan Mesir serta daerah lainnya di Afrika.
Khalifah Utsman bin Affan pernah menawari Ibnu Umar untuk
menjabat sebagai hakim, tapi ia tidak mau menerimanya. Setelah Utsman terbunuh,
sebagian kaum muslimin pernah berupaya membai'atnya menjadi khalifah, tapi ia
juga menolaknya. Ia tidak ikut campur dalam pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia cenderung
menjauhi dunia politik, meskipun ia sempat terlibat konflik dengan Abdullah bin Zubair yang pada saat itu telah
menjadi penguasa Makkah.
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist terbanyak kedua setelah
Abu
Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah
pergi. Bahkan Aisyah
istri Rasulullah
pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak
langkah Rasulullah
di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah dilakukan Ibnu
Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist Nabi.
Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti tradisi dan sunnah Rasulullah,
karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada
kesempatan lainnya. Di antara para Tabi'in,
yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba sahayanya, Nafi'.
Kesalehan Ibnu Umar sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi
dan kaum muslimin lainnya. Jabir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di
antara kami disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar
dan putranya Abdullah." Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan: "Ibnu
Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup pada masa banyak
orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu Umar hidup pada masa yang tidak
ada seorang pun yang sebanding dengan dia".
Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya, tetapi juga
banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia
kehilangan pengelihatannya pada masa tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80
tahun, dan merupakan salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di
kota Makkah.
Ibnu Umar sangat
bergairah ketika panggilan jihad berkumandang. Tetapi sungguh suatu kenyataan
ia anti kekerassan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam.[6]
E. Asbabul Wurud Hadis
Hadits
tersebut di atas, membicarakan tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang mana sebelum
masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Ketika ia masuk Islam ke sepuluh
orang istrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Oleh karena dalam Islam
seorang laki-laki tidak boleh beristri lebih dari empat, maka Nabi menyampaikan
hadits di atas. Yakni, menyuruh atau memerintah mempertahankan empat diantara
mereka dan menceraikan yang lainnya.
Hadits
senada dengan riwayat di atas adalah sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibn
Majah dan Ahamad dari jalan yang berbeda, yaitu :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَن سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَسْلَمَ غَيْلَانُ بْنُ سَلَمَةَ
وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خُذْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا . (رواه ابن
ماجه([7]
Telah
bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada kami Muhammad bin
Ja’far; telah bercerita kepada kami Ma’mar; dari Az-Zuhri; dari Salim; dari
ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam, sedangkan padanya ada
sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya ; “silahkan ambil
(pertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Ibnu Majah)
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ
أَرْبَعًا. (رواه أحمد( [8]
Telah bercerita kepada kami Ismail; telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar
dari Az-Zuhri, dari Salim, dari bapaknya, bahwa Ghailan bin Salamah masuk
Islam, dan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya;
“pilihlah empat diantara mereka”. (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW memberikan ancaman terhadap suami yang tidak berlaku adil
terhadap para istrinya ;
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : مَنْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَمَالَ إِلَى أَحَدِهِمَا فِيْ الْقِسْمِ
جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ أَحَدُ شَاقَيْهِ مَائِلاً . (
رواه أبو داود و النّسائى و ابن ماجة و أحمد
)
“Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
“Barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu ia lebih condong pada salah
satunya dalam memberikan bagian, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak
salah satu betisnya dalam kedaan miring (pincang)”.[9]
Dalam suatu
riwayat, ketika putri Rasulullah Fatimah hendak dipoligami oleh Ali bin Abi
Thalib RA. Ketika beliau mendengar rencana poligami ini, beliau langsung masuk
ke masjid dan naik mimbar, berseru : “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin
al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin
Abi Thalib,-ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau
menceraikan putriku, silahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu
bagian dariku; apa yang mengganggau perasaannya adalah menggangguku juga, apa
yang menyakiti hatinya adalah menyakitiku juga”.
ketika putri beliau Fatimah binti Muhammad AS
akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika beliau mendengar rencana poligami
ini, beliau langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, berseru : “Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan
putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib,-ketahuilah-, aku tidak akan
mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan,
kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, silahkan mengawini
putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggau
perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah
menyakitiku juga”. (Jami’ al-Ushul, juz XII, 162, no. hadits: 9026).
Larangan ini dari Nabi Saw, berarti pelarangan poligami juga bisa sunnah. Ali
bin Abi Thalib ra sendiri baru mengawini perempuan lain setelah Fatimah ra
wafat.
Larangan ini
dari Nabi Saw, berarti pelarangan poligami juga bisa sunnah. Ali bin Abi Thalib
ra sendiri baru mengawini perempuan lain setelah Fatimah ra wafat.[10]
F.
Kosa Kata
نسوة: secara leterlek berarti perempuan atau wanita, tetapi
dalam konteks hadits di atas ” نِسْوَةٍ “ diarikan istri.
الجاهليه: zaman sebelum Islam. Dalam hal ini yang dimaksud adalah
sebelum Ghailan masuk Islam.
يتخير: Memilih
G.
Penjelasan
Kandungan Hukum Hadis
Malik berpendapat:
memilih diantara mereka (istri-istri) empat orang dan juga sama dengan Syafi’i,
Ahmad dan Abu Daud. Sedangkan Abu Hanifah, Ast-tsuar, dan Ibni Abi Lail
berpendapat : memilih mereka para istri yang pertama-tama kali diakad nikahi.[11]
Secara eksplisit
hadits Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad menunjukkan bolehnya berpoligami dengan
ketentuan tidak boleh lebih dari empat. Seandainya poligami tidak boleh
mestinya Nabi memerintahkan Ghailan memilih salah satu saja dari sepuluh orang
istrinya dan menceraikan yang lain. Ini menunjukkan bahwa batasan maksimal
seorang laki-laki yang berpoligami adalah empat orang istri.
Namun,
apakah bolehnya berpoligami itu mutlak untuk semua orang tanpa ada ketentuan
dan syarat yang harus dipenuhi. Apabila kita baca surat An-Nisa’ ayat 3 dan
korelasi dengan hasits-hadits lain, seperti hadits tentang pelarangan Ali yang
hendak melakukan poligami, serta ancaman Rasulullah SAW bagi seorang suami yang
tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya sebagaimana tersebut di
atas, maka dapat dipahami bahwa Islam tidak memerintah,
apalagi mewajibkan poligami, dan tidak memberikan kesempatan yang longgar
kepada kaum Muslimin untuk berpoligami. Artinya, seorang yang hendak
berpoligami harus memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
Banyak
penafsiran mengapa Nabi Saw melarang putrinya dipoligami Ali bin Abi Thalib ra
adalah putri Abu Jahl bin Hisyam, musuh Allah Swt dan musuh Nabi Saw. tetapi
beberapa penafsiran lain menyebutkan memang karena Nabi Saw tidak menginginkan
putri beliau Fathimah ra dipoligami dengan siapapun, karena poligami itu
menyakiti hatinya, dan yang menyakiti hatinya juga menyakiti hati Nabi Saw.
Karena itu, seperti dinyatakan Ibn Hajar al-‘Asqallani, ada ulama yang
menyatakan bahwa poligami bisa saja dilarang jika bisa menimbulkan kerusakan
dan kezaliman, tentu terhadap perempuan dan anak-anak.
Dan dalam
satu riwayat, di dalam kisah larangan memadu Fatimah r.a. dengan anak perempuan
Abu Jahal terdapat hikmah yang sangat mulia, yaitu bahwa ketika seorang perempuan
menikah, ia akan mengikuti derajat (status sosial) sang suami. Apabila ia
berasal dari golongan mulia dan suaminya juga demikian, maka keduanya akan
tetap berada pada posisi yan mulia. Demikian juga yang berlaku pada diri
Fatimah r.a dan Ali bin Abu Thalib r.a.
Allah swt
tidak pernah menyamakan kedudukan Fatimah dengan anak perempuan Abu Jahal, baik
status dirinya maupun keturunannya. Keduanya sangatlah berbeda. Oleh karena
itu, memadu Fatimah dengan anak perempuan Abu Jahal bukanlah prilkau yang baik
dalam pandangan agama ataupun pandangan etika sosial.[12]
Dari sudut
fiqh, sebagai rekaman dari sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan ‘poligami itu
sunnah’ juga merupakan reduksi yang sangat besar. Sunnah dalam bahasa fiqh
adalah sesuatu yang jika dilakukan memperoleh pahala, dan jika ditinggalkan
tidak memperoleh dosa. Pelabelan sunnah dengan makna fiqh ini terhadap poligami
adalah sesuatu yang perlu diluruskan. Dalam hal nikah bisa saja, fiqh
menawarkan berbagai predikat hukum tergantung kondisi calon suami, calon isteri
atau kondisi masyarakat; bisa wajib, sunnah, mubah atau sekedar diizinkan.
Bahkan Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani menyatakan bahwa nikah bisa
diharamkan ketika calon suami tahu bahwa dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak isterim, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Dalam hal ini,
poligami juga harus dikaitkan dengan situasi sosial, kondisi calon suami dan
calon isteri, tidak sesederhana pernyataan bahwa poligami adalah sunnah.
Poligami itu
sunnah’ adalah penyederhanaan terhadap persoalan yang sebenarnya kompleks.
Sunnah sendiri, atau teks-teks hadis tidak sesederhana ungkapan tersebut,
bahkan fiqh juga mengaitkannya dengan berbagai latar kondisi. Lebih tepat untuk
dikatakan bahwa monogami-poligami dalam karakteristik fiqh Islam adalah
termasuk persoalan parsial, bukan prinsip, yang predikat hukumnya mengikuti
kondisi ruang dan waktu. Prinsipnya adalah keadilan, membawa kemaslahatan,
tidak mendatangkan mudharat dan kerusakan (mafsadah).
Untuk
mengidentifikasi nilai-nilai ini dalam kaitannya dengan praktek
monogami-poligami, semestinya harus melibatkan perempuan, yang akan memperoleh
imbas langsung dari keputusan dan kebijakan apapun dalam poligami. Ini
dilakukan dengan pengujian empirik dan inter-disipliner yang obyektif terhadap
efek poligami dan kondisi sosial masyarakat. Mungkin jika dilakukan, kebanyakan
orang seperti Syeikh Muhammad ‘Abduh, Nashr Hamid Abu Zaid, Aminah Wadudu dan
yang lain lebih memilih untuk mengatakan bahwa Islam itu pada dasarnya adalah
monogam. Bahkan ia menyarankan pelarangan poligami yang pada prakteknya banyak
mencelakakan perempuan dan merusak keutuhan keluarga. Dalam konteks ini ‘Abduh
menyindir teks hadits Nabi Saw : “Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar)
terhadap diri atau orang lain”. (Jami’a al-Ushul, VII, 412, no. hadits:
4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan ‘poligami itu sunnah.
Dengan
memperhatikan konteks Ayat 3 QS. An Nisa’ yang membolehkan perkawinan poligami
tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut ajaran
Islam merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan yang mendesak.
Dalam keadaan biasa, Islam berpegang kepada prinsip monogami, kawin hanya
dengan seorang istri saja, yang dalam Alquran tersebut dinyatakan akan lebih
menjamin suami tidak akan berbuat aniaya.[13]
Pembatasan
Poligami
Imam Syafi’i berkata, “Telah dijelaskan di dalam sunnah Rasulullah saw.
Larangan Allah swt. Yang memaparkan bahwa tak seorang laki-laki pun, kecuali
Rasulullah saw., diperbolehkan untuk menikahi lebih dari empat orang
perempuan.”[14]
Demikian pendapat Syafi’i yang juga disepakati oleh para ulama, kecuali
sekelompok ulama dari mazhab Syi’ah yang mengatakan bahwa seorang laki-laki
boleh menikahi lebih dari empat orang perempuan. Bahkan sebagian dari mereka
berkata, “Pembolehan (untuk menikahi perempuan) lebih dari satu itu tidak
dibatasi.”
Dalam mengemukakan pendapat, sebagian ulama Syi’ah berpegang teguh pada apa
yang telah diperaktikkan oleh Rasulullah saw., dimana beliau menikahi lebih
dari empat perempuan: perempuan-perempuan yang beliau nikahi semua berjumlah
sembilan, sebagaimana disebutkan di dalam hadist sahih.[15]
Hukum
Berlaku Adil Kepada Para Istri
Allah berfirman:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbua demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung...” (an-Nisa’ [4]: 129)
Keadilan yang dimaksud oleh ayat pertama adalah adil secara lahir, dalam
hal-hal yang bersifat materi dan dapat diukur, bukan adil dalam rasa cinta dan
kasih sayang, karena hal itu sangat mustahil dapat dilakukan oleh semua orang.
Keadilan yang dinafikan oleh ayat kedua adalah keadilan dalam perasaan cinta,
kasih dan hubungan seksual.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ubaidah tentang
maksud ayat ini dan ia menjawabnya, ‘Maksud ayat ini adalah (adil) dalam rasa
cinta dan hunbungan seksual.’”
Abu bakar bin Arabi berkata, “Sangatlah benar pendapat yang mengatakan
bahwa keadilan dalam perasaan cinta tidak bisa dilakukan oleh siapa pun karena
hati manusia berada dalam kekuasaan Allah swt, yang dapat membolak-balikkannya
sesuai dengan kehendak-Nya.[16]
Hak Istri Untuk Meminta
Tidak Dimadu
Sebagaimana Islam telah mensyaratkan poligami dengan kewajiban berbuat adi
dan membatasi jumlah istri empat orang saja, Islam juga memberikan hak kepada perempuan
atau walinya untuk mensyaratkan (pernikahannya) bahwa ia tidak akan dimadu.
Apabila dalam akad nikah seorang istri menyebutkan syarat bahwa suaminya
tidak boleh dan tidak akan pernah memadunya, maka akad tersebut sah dan
berlaku.[17]
Demikianlah pendapat Imam Ahmad yang ditegaskan kembali oleh Ibnu Taimiyah
dan Ibnu Qayyim. Mereka menganggap bahwa syarat yang disebutkan dalam akad
nikah lebih besar pengaruhnya daripada syarat dalam akad jual-beli,
sewa-menyewa, atau akad-akad lainnya. Oleh karena itu, kewajiban menepati
persyaratan tersebut lebih ditekankan dan ditegaskan.
Diantara Hikmah Poligami
§ Negara sebagai pendukung risalah Islam sering kali dihadapkan kepada bahaya
peperangan (jihad) sehingga sebagian besar penduduknya menjadi korban
(meninggal). Oleh karena itu perlindungan terhadap para janda korban perang
yang mati syahid harus selalu diperhatikan. Satu-satunya cara untuk melindungi
janda-janda tersebut tak lain dengan menikahi mereka. Salah satu cara untuk
mengobati rasa kehilangan mereka adalah dengan lahirnya keturunan yang banyak,
dan poligami adalah salah satu cara untuk memperbanyak keturunan.[18]
§ Terkadang jumlah perempuan dalam suatu bangsa lebih banyak dari jumlah
laki-laki yang ada. Hal ini bisa terjadi di negara-negara yang terjebak dalam
peperangan. Bahkan, terkadang pula jumlah perempuan di sejumlah negara yang
aman hampir mencapai jumlah penduduk yang ada.
§ Adakalanya seorang istri mandul atau terkena sakit menahun (yang tak
mungkin dapat disembuhkan). Dalam kondisi ini sang istri masih ingin
mempertahankan kelangsungan pernikahannya, sedangkan sang suami ingin sekali
memiliki anak dan istri yang dapat mengurus keperluannya di rumah.[19]
§ Dan sebagainya.
WALLAHU A’LAM
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, persoalan poligami adalah persoalan budaya yang ada sejak
ribuan tahun sebelum Islam.Bisa dinyatakan bahwa poligami tidak ada kaitannya
dengan keberagamaan seseorang, keimanan, ketakwaan dan ketaatannya kepada Allah
Swt. Justru yang terkait dengan keIslaman dan keimanan adalah sejauh mana
setiap orang bisa berbuat baik terhadap orang-orang terlantar dan yang
dipinggirkan serta mereka yang menjadi korban kekerasan struktur sosial.
Ijmak ulama termasuk imam Syafi’i membolehkan
poligami dengan syarat adil dan tidak boleh lebih dari empat orang istri
kecuali ulama para syiah mereka membolehkan poligami terhadap lebih dari empat
orang istri karena nabi Muhammad saw menikah lebih dari empat orang istri.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Musnad Ahmad,
Juz IX, Beirut : Dar al-Fikri, 1995
At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, juz II, Beirut : Dar al-Fikri, 1994
Hepi Andi Bastoni, 101 Sahabat Nabi, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2002)
Ibn Majah, Sunan Ibn
Majah, juz VI, Beirut : Dar al-Fikri, 1995
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut : Dar al-Fikri, 595 H)
Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Perkawinan Islam, Cet. XI, Yogyakarta
: UII Press, 2007
Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah & Keluarga, Jakarta : Gema
Insani, 1999
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih
Sunan At-Tirmidzi, terj Ahmad Yuswaji, Cet I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2003
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj
Moh. Abidin dkk, cet. I Jakarta: Pena Pundi Aksara
http//makalah%20tentang%20penetapan%20hukum%20poligami%20serta%20asbabun%20nuzulnya..!!%20-%20kata%20bijak.htm
[3] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan
At-Tirmidzi, terj Ahmad Yuswaji, Cet I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), h.
866
[5] Muhammad
Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Ibnu Majah, terj Ahmad Taufik
Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 213
[10] Abdullah Taslim, Poligami, Bukti Keadilan Hukum Allah, diakses pada 9 Juni 2016 dari http//makalah%20tentang%20penetapan%20hukum%20poligami%20serta%20asbabun%20nuzulnya..!!%20-%20kata%20bijak.htm
[12] Ibid, 429
[13]Ahmad Azhar Basyir, MA,
Hukum Perkawinan Islam, Cet. XI, (Yogyakarta : UII Press, 2007), h. 39
[16] Ibid
0 Response to "Hadis Ahkam Tentang Poligami"
Post a Comment