Lailatul Qadar: Bukan tentang Malam Itu, Tapi tentang Diri Kita
Setiap tahun, ketika Ramadan memasuki sepuluh malam terakhir, umat Islam di seluruh dunia larut dalam perburuan satu malam istimewa: Lailatul Qadar.
Riuhnya spekulasi tentang waktu pastinya bergaung di berbagai mimbar, dari masjid-masjid hingga forum daring. Ada yang bersikukuh bahwa ia jatuh pada malam ke-27, merujuk pada hadis Ubay bin Ka‘b yang diriwayatkan oleh Muslim (Shahih Muslim, no. 762).
Sementara yang lain menegaskan bahwa ia bisa berada di malam ganjil mana pun dalam sepuluh hari terakhir, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Shahih al-Bukhari, no. 2017; Shahih Muslim, no. 1167).
Sejumlah orang bahkan berupaya mengalkulasi dengan pendekatan matematis, mencari pola-pola tertentu dalam kalender hijriah atau menyandingkannya dengan fenomena alam.
Namun, apakah esensi Lailatul Qadar benar-benar terletak pada kepastian tanggalnya? Ataukah ada sesuatu yang lebih fundamental yang justru sering luput dari perhatian kita?
Jika kita menelisik akar kata "qadar" di dalam Lisan al 'Arabi'-nya Ibnu Manzur, misalnya, kita tidak hanya menemukan makna "kemuliaan" atau "ketentuan," tetapi juga ada makna yg lainnya, yaitu "ukuran," "kapasitas," dan "ketetapan hukum".
Ini bukan sekadar perbedaan semantik, melainkan pintu menuju pemahaman yang lebih luas: Lailatul Qadar bukan hanya tentang malam di mana keberkahan diturunkan, tetapi juga tentang seberapa lapang seseorang dalam menampungnya. Ia bukan sekadar fenomena kosmik yang terjadi secara acak, melainkan peristiwa yang berkelindan dengan kesiapan batin manusia.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Ajibah dalam Bahr al-Madid, makna "qadar" tidak hanya merujuk pada suatu ketetapan ilahi, tetapi juga pada kapasitas hamba dalam menerima limpahan cahaya Tuhan.
Di sinilah letak "kekeliruan" banyak orang: mereka sibuk menghitung-hitung, tetapi lupa memantaskan diri. Mereka bertanya, "Malam mana yang paling mulia?" padahal pertanyaan yang lebih esensial adalah: "Siapa yang pantas menerima kemuliaan itu?"
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menjelaskan bahwa cahaya spiritual tidak akan menerangi hati yang dipenuhi kegelapan syahwat dan kelalaian. Allah tidak menurunkan cahaya kepada wadah yang tertutup, sebagaimana air hujan tidak akan meresap ke dalam batu yang keras.
Maka, perdebatan tentang tanggal yang pasti menjadi tidak relevan jika kita belum menyiapkan diri sebagai penerima rahmat itu. Lailatul Qadar bukan sekadar koordinat waktu yang harus ditemukan, tetapi keadaan jiwa yang harus diciptakan.
Sebab keberkahan bukan soal kapan ia turun, melainkan siapa yang pantas menampungnya. Ia bukan tentang mencari di luar, tetapi tentang menyiapkan ruang di dalam.
0 Response to "Lailatul Qadar: Bukan tentang Malam Itu, Tapi tentang Diri Kita"
Post a Comment