Makalah Sikap Dan Mental Hakim Dalam Menjatuhkan Hukum
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah puji dan syukur, marilah senantiasa selalu
bersyukur atas rahmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita, sehingga pada
saat ini masih dalam keadaan sehat wal ‘afiyah.
Shalawat beserta salam sama-sama kita haturkan buat
baginda Rasulullah SAW,. Yang telah membawa ummatnya dari zaman kebodohan
menuju zaman yang serba ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan kita semua mendapatkan
syafa’at beliau di hari kelak nanti. Aamiin
Kemudian, pemakalah juga tidak lupa mengucapkan ribuan
terima kasih kepada bapak dosen Rahman Alwi, M.Ag selaku dosen pengajar mata
kuliah HADITS AHKAM III yang telah mengamanahkan tugas makalah ini untuk
didiskusikan nantinya.
Selanjutnya,
penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan-kekurangan sana sini. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari para audiens sekalian.
Pekanbaru,
15 Desember 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hakim
adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut
undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas
bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan
kekuasaan kehakiman hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat
mempengaruhi putusannya nanti. Dengan demikian jabatan hakim ini menjadi sangat
penting karena memutus suatu perkara bukanlah hal mudah. Ia harus sangat
berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah sebab yang bersalah
kadang-kadang dibenarkan. Sedang yang benar terkadang disalahkan.
Seorang
hakim menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan akan berbagai
penyimpangan baik yang dilakukan secara sengaja misalnya memutus seseorang yang
bersalah kemudian dibenarkan hanya karena memberikan uang kepada hakim tersebut
ataupun yang dilakukannya secara tidak sengaja misalnya memutus seseorang yang
tidak bersalah karena bukti-bukti yang menunjukan demikian.
Segala
sesuatunya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Oleh sebab itu
jabatan hakim mendapat perhatian khusus, antara lain dalam hukum positif
terlihat dengan adanya undang-undang pokok kehakiman yang secara khusus
mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan hakim. Tak hanya dalam hukum
positif dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian khusus dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang jabatan hakim ini bahkan jauh sebelum
hukum positif mengaturnya.
BAB II
PEMBAHSAN
A. Hadis
Tentang Sikap Dan Mental Hakim Dalam Menjatuhkan Vonis
كَتَبَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبِي بَكْرَةَ قَالَ إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ
أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ
بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
صَحِيحٌ وَأَبُو بَكْرَةَ اسْمُهُ نُفَيْعٌ
Janganlah
seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam
keadaan marah (emosional)
Keputusan
seorang presiden adalah dasar dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga
keputusan seorang pimpinan dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam
menjalankan roda organisasi. Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau
mengeluarkan kebijakan, seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan
“panas”, marah, atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadis nabi
s.a.w melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori
manajemen organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan atau
membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak stabil. Bila tidak,
akan ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam memutuskan
sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil keputusan maka
terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan menengkan pikiran sehingga
semua pertimbangan bisa kita akomodir secara seimbang dipaksakan, maka
keputusan itu dihasilakan dari sebuah proses yang kurang matang dan
terburu-buru sehingga dampaknya akan sangat merugikan terhadap pelaksana
keputusan tersebut.
Meski
di dalam hadis ini yang disebutkan adalah hakim, namun secara substansial kita
sepakat bahwa dalam keadaan emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim,
pemimpin, maupun orang awam sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil
keputusan. Banyangkan bila kita sedang bertengkar dengan istri di rumah
misalkan, tetapi setelah di tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang
harus diputuskan, maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah, secara
sadar atau dan matan.[1]
B. Penjelasan Tentang Sikap Dan Mental Hakim Dalam
Menjatuhkan Vonis
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Bakrah
berkata, “Abu Bakrah menulis surat untuk anaknya yang berada di Sajistan,
‘Jangan kamu memberi keputusan untuk dua orang yang sedang bertikai sementara
kamu sedang marah. Karena aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah
seseorang mengadili dua orang yang bertikai sementara dalam keadaan marah’,”
(HR Bukhori [7058] dan Muslim [1717]). Dalam riwayat lain tercantum, “Janganlah
sekali-kali memilih satu di antara dua keputusan dan janganlah seseorang
memutuskan sebuah kasus dua orang yang bertikai sementara ia dalam keadaan
marah,” (HR an-Nasa’i [VIII/247]).
Diriwayatkan dari Ali r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. mengutusku ke Yaman mengangkatku sebagai hakim di sana. Aku katakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, mengapa aku yang Anda kirim sementara usiaku masih teramat muda dan aku tidak memiliki ilmu untuk memutuskan perkara.’ Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memberi pentunjuk kepada hatimu dan mengokohkan lisanmu, apabila di hadapanmu duduk dua orang yang sedang bertikai maka janganlah kamu memutuskan perkara mereka hingga mendengar keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu mendengarnya dari orang pertama, sehingga jelas bagimu duduk permasalahan mereka yang sebenarnya, dan kamu dapat memberi keputusan dengan benar’.[2]
Diriwayatkan dari Ali r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. mengutusku ke Yaman mengangkatku sebagai hakim di sana. Aku katakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, mengapa aku yang Anda kirim sementara usiaku masih teramat muda dan aku tidak memiliki ilmu untuk memutuskan perkara.’ Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memberi pentunjuk kepada hatimu dan mengokohkan lisanmu, apabila di hadapanmu duduk dua orang yang sedang bertikai maka janganlah kamu memutuskan perkara mereka hingga mendengar keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu mendengarnya dari orang pertama, sehingga jelas bagimu duduk permasalahan mereka yang sebenarnya, dan kamu dapat memberi keputusan dengan benar’.[2]
Sejak itu aku terus menjadi hakim, atau
sejak itu aku tidak pernah ragu dalam mengambil keputusan,” (Hasan, HR Abu
Dawud [3582]).
Kandungan
Bab:
- Celaan menghukum atau menetapkan keputusan ketika sedang marah. Karena keputusan yang diambil dalam keadaan seperti itu akan menyimpang dari kebenaran atau dapat membuat seorang hakim tidak mampu mengetahui kebenaran sehingga ia memberi keputusan yang salah. Perasaan marah dapat mengakibatkan daya nala seseorang berubah sehingga ia tidak dapat mendudukkan permasalahan menurut porsi yang sebenarnya. Allahu a’lam.
- Larangan ini juga mencakup semua hal yang dapat merubah cara berfikir, atau dapat mengganggu konsentrasi jiwa sehingga sulit untuk menegakkan hukum. Seperti rasa lapar, haus, dan rasa kantuk yang amat sangat serta segala sesuatu yang erat kaitannya dengan hati yang dapat mengganggu daya nalarnya dalam memberikan keputusan.
Umar
pernah mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a, Ia berkata, “Jauhkanlah
dirinya dari perasaan gelisah dan susah, merasa disakiti orang dan jangan
samapi kamu gugup di hadapan orang yang bertengkar di majelis pengadilan yang
mana Allah Ta’ala menyiapkan pahala yang banyak dari perbendaharaan yang baik.”
Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in (II/175) berkata,
“Ucapan ini mengandung dua perkara:
Pertama:
Mengingatkan bahaya yang dapat menghalangi seorang hakim untuk dapat memahami
sebuah kasus. Ia tidak akan menjadi salah satu dari tiga golongan yang terbaik
apabila terkumpul padanya dua perkara: Emosi dan gelisah. Kegoncangan jiwa yang
bertentangan dengan keduanya. Sebab emosi (amarah) adalah penutup akal,
sebagaimana halnya minuman keras.
Kedua: Teguh
dan sabar dalam melaksanakan kebenaran. Menjadikan keridhaan untuk mewujudkan
kebenaran ketika emosi datang, sabar ketika sedang susah dan gelisah dan
mengharapkan pahala ketika disakiti. Obat ini merupakan penawar penyakit yang
memang sudah menjadi tabi’at manusia dan dapat melemahkan kondisi mereka.
Apabila obat ini tidak sesuai dengan penyakit, tentunya penyakit itu pun tidak
mungkin dapat disembuhkan. Apalagi perasaan gugup dan takut di hadapan pihak
yang sedang bertengkar dapat melemahkan jiwa, mematahkan hati dan membu dan
membuat lidah menjadi kelu untuk membantah alasan-alasan mereka, karena
perasaan gugup tadi. Apalagi ia hanya gugup dan takut kepada salah satu pihak
saja. Jelas, itu merupakan penyakit takut yagn sangat berbahaya.
Asy-Syafi’i
rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Umm (6/199), “Yang dapat difahami
ketika marah adalah marah dapat mempengaruhi akal dan pemahaman. Keadaan apa
saja yang dirasakan seseorang dapat mempengaruhi akal dan pemahamannya
maka pada saat itu tidak boleh memutuskan suatu perkara. Jika ia merasakan
sakit, lapar, cemas, sedih atau senang yang berlebihan akan mempengaruhi
pikiran. Atau pada saat itu tabi’atnya sedang enggan memberi keputusan. Apabila
hal itu tidak mempengaruhi akal, pikiran dan tabi’atnya maka ia boleh
melakukannya. Adapun mengantuk dapat menyelimuti hati sebagaimana orang mabuk.
Oleh karena itu orang yang sedang mengantuk, orang yang hatinya sedang
galau, atau sedang sakit tidak boleh memutuskan suatu perkara karena hatinya sedang
diliputi sesuatu.”
Hukum
yang diputuskan ketika marah tidak berlaku. Sebab larangan tidak berkaitan
dengan keputusan. Larangan ini menunjukkan bahwa keputusan itu batal. Dan ini
bukan berarti bertentangan dengan keputusan Rasulullah saw. terhadap Zubair bin
Awwam r.a, tentang pengairan setelah Rasulullah saw. memarahinya, sebab
kriteria ini tidak berlaku untuk Rasulullah saw. yang dijaga Allah dari
kekeliruan. Juga dikarenakan beliau selalu bersikap adil baik ketika marah
maupun ketika ridha. Adapun untuk selain Rasulullah saw. maka harus memenuhi
kriteria tadi dan berarti larangan di atas tetap berlaku. Allahu a’lam.
penyebutan
kata marah secara mutlak berarti tidak boleh membeda-bedakan tingkat kemarahan
dan sebab-sebabnya dalam hukum.[3]
C. Tata Cara Menjatuhkan Hukuman
Orang yang mendakwa diberikan kesempatan
secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa
atau tertuduh diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan semua tuduhan dengan
sebaik-baiknya sehingga apabila tuduhan telah selesai terdakwa dapat menilai
benar atau tidaknya tuduhan tersebut.
Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai
disampaikan maka hakim tidak boleh bertanya kepada pendakwa, sebab di
khawatirkan akan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif kepada terdakwa.
Setelah selesai pendakwa menyampaikan
tuduhannya, hakim harus mengecek tuduhan-tuduhan tersebut dengan beberapa
pertanyaan yang di anggap penting. Selanjutnya tuduhan tersebut harus
dilengkapi bukti-bukti yang benar, dan kalau tidak terdapat bukti, maka hakim
minta agar pendakwa untuk bersumpah karena sumpah itu adalah haknya.
Untuk menguatkan dakwaannya, pendakwa harus
menunjukan bukti-bukti yang benar, apabila pendakwa menolak, maka ia harus
bersumpah bahwa tuduhan atau dakwaan itu salah.[4]
Rasulullah SAW Bersabda, yang artinya:
"Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti
dan terdakwa harus bersumpah". (HR. Baihaqi).
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang
benar maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan meskipun terdakwa
menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya jika terdakwa dapat bukti-bukti yang benar
hakim harus menerima sumpah terdakwa sekaligus membenarkan terdakwa.
Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman (vonis)
jika dalam keadaan:
a. Sedang marah.
b. Sangat lapar.
c. Sedang bersin-bersin.
d. Banyak terjaga (begadang).
e. Sedih.
f. Sangat gembira.
g. Sakit.
h. Sangat ngantuk.
i. Sedang menolak keburukan.
j. Sedang sangat panas atau sangat dingin.[5]
Kesepuluh keadaan tersebut akan mempengaruhi
ijtihadnya sehingga dimungkinkan salah. Demikian ini terjadi karena sifat-sifat
diatas tersebut dapat melemahkan kemampuan akal yang maksimal. Artinya diri
hakim tidak boleh berada dan jatuh pada titik ekstrim karena keadilan itu
adalah jalan tengah diantara ekstrimisme.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
"Hakim itu tidak (boleh) memutuskan
perkara yang terjadi diantara dua orang (yang bersengketa) sedangkan dirinya
dalam keadaan marah". (HR. Bukhori dan Muslim).
Marah biasanya disebabkan adanya tekanan emosi,
ketegangan saraf atau kecemasan. Banyak juga orang yang menderita penyakit
jantung, tekanan darah tinggiradang sendi, serta berjenis-jenis penyakit yang
lain juga mengalami tekanan karena keadaan tubuh mereka.
Bila seseorang mengalami suatu "kelemahan
saraf" itu berarti bahwa ia tidak dapat lagi menghadapi dunia dan
memecahkan persoalannya sendiri ia tidak bisa mengambil keputusan yang
bijaksana ia mungkin menjadi bingung tanpa alasan yang nyata. Tetapi sayang,
tidak ada jalan yang sederhana untuk memecahkan sesuatu kelemahan saraf. Hal
itu selamanya memakan waktu barangkali setahun atau lebih.
Masing-masing mempunyai puncak yang tidak dapat
dilampauinya dengan aman. Banyak orang menderita kelemahan saraf karena
terlampau letih, kurang tidur, makan jenis makanan yang salah, merokok atau
meminum minuman keras yang berlebihan. Satu-satunya penawar untuk keadaan ini
ialah istirahat secukupnya. Kelemahan saraf juga timbul karena ketakutan atau
kecemasan yang tidak normal serta pikiran yang tidak tenteram. Semakin ia
memikirkan keadaan yang dialaminya semakin buruklah akibat yang ditimbulkan.
Persoalan emosi juga dapat menyebabkan tekanan
darah rendah. Sebagai contoh ada orang menjadi pingsan hampir mati bila
mendengar kabar yang menyedihkan. Keadaan menyerupai shock itu barangkali
ditimbulkan oleh gangguan sementara didalam susunan vasomotor, sehingga si
sakit pingsan. Kekecewaan dan frustasi yang berlarut-larut mungkin juga
mengakibatkan tekanan darah rendah.
Kekurangan protein didalam makanan mungkin juga
menurunkan tekanan darah karena kekurangan gizi, kelaparan atau karena gangguan
endoerin, seperti hypothyreodisme. Bisa jadi juga diakibatkan oleh tumor pada
pulau-pulau langerhans yang dapat terbentuk dalam pankreas atau kelenjar ludah
perut, mengeluarkan insulin yang berlebihan dan mengeluarkan kadar gula didalam
darah. Biasanya orangnya mudah tersiggung dan gampang marah. Ole sebab itu,
marah sebenarnya adalah termasuk salah satu penyakit dalam bentuk yang lain
yang diakibatkan dari berbagai persoalan yang terakumulasi baik secara internal
maupun eksternal.
Oleh sebab itu Rasulullah SAW mengantisipasi
dengan melarang seorang hakim yang dalam keadaan marah untuk memutuskan
perkara. Orang yang marah biasanya emosinya labil. Kalau ini terjadi
kemungkinan besar dalam anar putusannya tidak objektif.
Dalam hadits ini tidak ada kesepakatan diantara
para ulama fiqh tentang sah atau tidaknya keputusan yang dibuat diatas. Al
Rafi'i berpendapat bahwa keputusan yang ditetapkan oleh hakim tersebut hukumnya
makruh. Bahkan Imam Mawardi mengatakan keputusan yang dibuat oleh hakim itu
hukumnya tidak sah dan batal demi objektifitas keputusan. (DEPAG, Hal 156-159).[6]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hakim harus memutuskan vonis dengan adil dan
berfikir sehat sesuai dengan anjuran hadis nabi hakim tidak boleh menjatuhkan
vonis dalam keadaan marah dan juga dalam keadaan seperti berikut :
a. Sedang marah.
b. Sangat lapar.
c. Sedang bersin-bersin.
d. Banyak terjaga (begadang).
e. Sedih.
f. Sangat gembira.
g. Sakit.
h. Sangat ngantuk.
i. Sedang menolak keburukan.
j. Sedang sangat panas atau sangat dingin.
B. KRITIK
DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy
Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi
Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari
(Pustaka Imam Syafi’i, 2006)
http://bloghukumislam.blogspot.co.id/2014/07/tata-cara-menjatuhkan-hukuman.html
[1]
Diakses pada 15 November 2016 dari http://makalahhaditsku.blogspot.co.id/2014/01/makalah-hadits-ahkam-as.html
[2]Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah
an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006),
hlm. 3
[3]Ibid
[4]
Diakses pada 15 November 2016 dari http://bloghukumislam.blogspot.co.id/2014/07/tata-cara-menjatuhkan-hukuman.html
[5]Ibid
[6]Ibid
0 Response to "Makalah Sikap Dan Mental Hakim Dalam Menjatuhkan Hukum"
Post a Comment