/ -->
بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Makalah Sejarah Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia




TUGAS MANDIRI                                                                             DOSENPEMBIMBNG
Hukum Perbankan Syariah                                                                 Amrul Muzan, MA               


    Sejarah Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia


LogoBaruUIN
 







Disusun oleh:

ADI HARMANTO



JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur yang tidak dapat dibahasakan kami ucapkan kehadirat Allah SWT. Dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan ini dengan judul “Sejarah Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Amrul Muzan, MA selaku dosen pengajar Hukum Perbankan Syari’ah, yang telah mengamanahkan tugas makalah untuk kami selesaikan, dan Alhamdulillah makalah yang singkat ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktunya.
Shalawat dan salam tak lupa kami hadiahkan kepada baginda Rasul Nabi Muhammad saw, semoga kita semua kelak mendapat syafaatnya. Aamiiin
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik kata, maupun dari segi tata bahasa. Sehingga kami mengharapkan kritik dan saran kawan-kawan yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiiin.






Pekanbaru, 8 oktober 2015

Pemakalah      

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................ 1
Daftar Isi...................................................................................................................... 2
BAB I   Pendahuluan.................................................................................................. 3
BAB II  Pembahasan................................................................................................... 4
a.       Pengertian Bank Syari’ah…………………………………………………….4
b.      Sejarah Berdirinya Bank Syariah Dalam Dunia Islam……………………….5
c.       Sejarah Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia...………………………….8
d.      Hukum Perbankan Syariah Pada Tahun 1992………………………………..9
e.       Hukum Perbankan Syariah Pada Tahun 1998…………………..……………11
f.       Hukum Perbankan Syariah Pada Tahun 2008 Sampai Sekarang………….....12
BAB III Penutup...........................................................................................................
a.       Kesimpulan……………………………………………………………………17
b.      Kritik dan saran……………………………………………………………….17
Daftar Pustaka........................................................................................................... 18



BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Sudah cukup lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat di terapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat.
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil.
Makalah ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar sejarah hukum Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan hukum perbankan di Indonesia sejak tahun 1992 hingga tahun 2008 sampai sekarang. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan perbankan syariah dalam sejarah Islam?
2.      Dan bagaimana pula perkembangannya dalam sejarah perbankan syariah di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bank Syari’ah
Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari’ah. Secara akademik, istilah Islam dan Syari’ah memang mempunyai pengertian yang berbeda. Namun secara teknis untuk penyebutan Bank Islam dan Bank Syari’ah mempunyai pengertian yang sama.
Bank Syariah menurut Ensiklopedia adalah المصرفية الإسلامية (al-Mashrafiyah al-Islamiyah) suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).  Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).
Pengertian lain Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syari’at Islam.[1]
Berdasarkan rumusan tersebut, Bank Islam berarti Bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan pengertian “muamalat adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan pribadi maupun hubungan antara perorangan dengan masyarakat. Muamalah ini meliputi bidang kegiatan jual-beli (ba’e), bunga (riba), piutang (qoroah), gadai (rohan), memindahkan utang (hawalah), bagi untung dalam perdagangan (qiro’ah), jaminan (syirqoh), persewaan dan perburuhan (ijaroh).
Di dalam operasionalisasinya Bank Islam harus mengikuti dan atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah, bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama / cendekiawan Muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan Hadits.[2]
Menurut UU No. 21 Tahun 2008 pasal 1 ayat (1) Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta tata cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dalam pasal 1 ayat (7) Undang-Undang 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah disebutkan bahwa Bank Syari’ah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syari’ah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah. Dalam pasal 1 ayat (12), menyebutkan bahwa Prinsip Syari’ah adalah prinsip hokum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.[3]
B.     Sejarah Berdirinya Bank Syari’ah Dalam Dunia Islam
Pada zaman pra Islam, sebenarnya telah bentuk-bentuk perdagangan yang sekarang di kembangkan di dunia bisnis modern. Bentuk-bentuk itu misalnya: al-Musyarakah (join venture), al-Ba’iu Takjiri (venture capital), al-Ijarah (leasing), al-Ba’iu Takjiri (here-purchase), at-Takaful (insurance), al-Ba’iu Bithaman Ajil (instalment-sale), kredit pemilikan barang (al-Murabahah), pinjam dengan tambahan bunga (riba).
Bentuk-bentuk perdagangan tersebut telah berkembang di zajirah arab karena letak yang amat strategis bagi perdagangan waktu itu, khususnya berpusat di kota Mekkah, Jeddah, dan Madinah.[4] Jazirah Arab yang berada di jalur perdagangan antara Asia Afrika-Eropa kemungkinan besar telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ekonomi Mesir Purba, Yunani Kuno dan Romawi sekitar 2500 tahun sebelum masehi telah mengenal system perbankan. Demikian pula Babilonia yang sekarang menjadi wilayah irak juga telah mengenal system perbankan + 2000 tahun sebelum masehi. Dengan demikian apabila Islam melarang praktik riba pada + 2633 tahun kemudian (sekitar tahun 633 Masehi), maka larangan itu berarti tidak hanya ditujukan kepada perorangan selaku mukallaf tetapi juga ditujukan kepada lembaganya.
Larangan membungakan uang ini tidak hanya terdapat di dalam ajaran Islam. Agama-agama samawi lainnya seperti kritsten dan Yahudi juga melarangnya. Misalnya di dalam perjanjian lama kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 dinyatakan, “jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih utang terhadap dia, janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya.”[5]
Demikian pula di dalam Deuteronotif (kitab ulangan) pasal 23 ayat 19 dinyatakan “janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apa saja yang dapat dibungakan”.
Sikap umat terhadap larangan riba pada waktu itu sangat patuh. Ternyata kepatuhan umat terhadap larangan riba ini diarahkan kepada kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak terlarang, dan terbukti mampu mengantarkan umat Islam kepada masa kejayaannya dimulai sekitar  tahun 633 Masehi hingga ratusan tahun kemudian. Namun masa kejayaan itu tidak dapat dipertahankan akibat perpecahan di kalangan umat Islam sendiri disertai keterbelakangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sebagai korban dari kolonialisasi bangsa Eropa di sekitar abad ke-16.[6]
Sesungguhnya embrio mengenai kemunculan Bank Islam sudah dimulai pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Setidaknya terdapat beberapa penulis awal tentang konsep keuangan berbasis bagi hasil dan menghilangkan praktik bunga di antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abdul A’la al-Mawdudi  (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).
Aplikasi kelembagaan Bank Islam itu sendiri dipraktikkan pertama adalah pada Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad EI Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup. Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat social dari pada komersil.[7]
Bank Islam yang pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan pada tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai nagara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House.
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidan Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi konferensi Islam (OKI) di Krachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk perdagangan dan pembangunan (internasional Islamic Bank for trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa system keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu system kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, dan siding menyetujui rencana pendirian Bank Islam Intenasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam  (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Assciations of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam.[8]
Pada sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan 1973, komite ahli yang mewakili Negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian Bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IBD) dengan modal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua Negara anggota OKI.
Sejak saat itu mendekati decade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagi Bank Islam Komersial (Islamic Komersial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic Internasional Bank for Finance and Development atau lembaga Investasi dengan bentuk Internasional holding companies, seperti Daar al-Maal al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Baghrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
C.    Sejarah Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya berdiri pada tanggal 1 November 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.[9]
Di Indonesia, bank syari’ah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, perbankan syari’ah di Indonesia akan terus berkembang. Bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syari’ah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syari’ah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu tiga bank umum syari’ah dan 17 unit usaha syari’ah. Sementara itu, jumlah bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.[10]
Beroperasinya BMI berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. UU ini lalu diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diberlakukan. UU No. 21 ini adalah UU khusus yang mengatur perbankan Syariah. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat periodisasi perkembangan UU yang mengatur perbankan syariah di Indonesia berdasarkan kepada UU yang telah disebutkan di atas.
 
D.    Hukum Perbankan Syariah Pada Tahun 1992
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa BMI adalah bank pertama di Indonesia yang beroperasi berdasarkan pada prinsip syariah. Dasar hukum berdirinya BMI adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara substansi, UU ini merupakan peraturan perbankan nasional yang muatannya lebih banyak mengatur bank konvesional dibandingkan bank syariah. Tidak banyak pasal yang mengatur tentang bank syariah dalam UU ini. Kata ‘bank syariah’ juga tidak disebutkan secara eksplisit. UU ini hanya menyatakan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip pembagian hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (profit sharing) (lihat Pasal 1 butir 12 & Pasal 6 huruf m). Tidak disebutkannya kata ‘syariah’ atau ‘Islam’ secara eksplisit dalam UU ini disebabkan, menurut Sutan Remy Sjahdeini, masih tidak kondusifnya situasi politik pada saat itu. Pemerintah masih ‘alergi’ dengan penggunaan kata ‘syariah’ atau ‘Islam’.[11]
Meskipun UU No. 7 Tahun 1992 mengizinkan bank beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak ada petunjuk lebih lanjut bagaimana bank tersebut mesti dijalankan. Oleh karena itu, untuk memberikan pemahaman dan petunjuk yang jelas, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Menurut Pasal 1 butir 1 PP No. 72, yang dimaksud dengan bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at.
Berdasarkan pasal-pasal ini dapat dipahami bahwa ungkapan bank bagi hasil secara prinsip merupakan terminologi yang digunakan untuk bank Islam atau bank Syariah. Artinya yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalah yang berdasarkan pada syariah. Kata syariah secara jelas merujuk pada hukum Islam. Maka, prinsip dasar bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya adalah hukum Islam atau syariah.
Mengenai aktivitas bisnis bank, PP No. 72 mengatur secara jelas bahwa bank umum dan bank prekreditan rakyat (BPR) yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh secara bersamaan melakukan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip konvensional. Begitu juga sebaliknya, bank umum dan BPR konvensional juga tidak boleh melakukan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip bagi hasil. (lihat Pasal 6). Kemudian, untuk memastikan aktivitas bank bagi hasil tidak bertentangan dengan prinsip syariah, maka PP No. 72 juga mengatur bahwa bank bagi hasil harus mendirikan Badan Pengawas Syariah (BPS). Fungsi utama BPS ini adalah untuk mengawasi dan memastikan bahwa produk-produk yang ditawarkan oleh bank ini betul-betul sesuai dengan prinsip syariah. Adapun secara struktural, posisi BPS di dalam bank bersifat independen, terpisah dari menajemen bank dan tidak mempunyai peran dalam operasional bank. BPS dalam menjalankan aktivitasnya selalu berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia.
Dari penjelasan di atas, dapat dicatat bahwa sejak diberlakukanya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintahnya, maka bank syariah di Indonesia telah menjadi kenyataan. Hal ini dianggap sebagai front gate beroperasinya bank syariah di Indonesia. Namun, peraturan-peraturan tersebut masih dianggap belum memadai untuk mendorong perkembangan bank syariah, karena sekedar mengatur bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, namun tidak secara definitif dan komprehensif mengatur akitifitas bank berdasarkan prinsip syariah.[12]
E.     Hukum Perbankan Syariah Pada Tahun 1998Pada Tahun 1998
UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992) diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Berbeda dengan UU No. 7 Tahun 1992 yang tidak mengatur secara pasti perbankan syariah, ketentuan-ketentuan mengenai perbankan syariah dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih lengkap (exhaustive) dan sangat membantu perkembangan perbankan syariah di Indonesia. UU No. 10 Tahun 1998 secara tegas menggunakan kata bank syariah dan mengatur secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR, dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. (lihat Pasal 1 butir 12, Pasal 7 huruf c, Pasal 8 ayat (1 & 2), Pasal 11 ayat (1) & (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (1) huruf c).[13]
Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, menurut Pasal 1 butir 13, adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiyaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip pernyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Ketentuan di atas menunjukkan perluasanan eksistensi bank syariah dalam melaksanakan kegiatannya, di mana dalam UU sebelumnya hal tersebut tidak diatur secara jelas.
Selanjutnya, UU No. 10 Tahun 1998 ini juga membolehkan bank konvensional untuk menjalankan aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.(Pasal 6 huruf m). Dalam hal ini, bank konvensional yang hendak menjalankan kegiatan syariah harus mendirikan kantor cabang atau sub kantor cabang. Adapun untuk BPR tetap tidak dibolehkan untuk menjalankan aktifitas secara konvensional dan syariah secara bersamaan. Perbedaan lainnya adalah diberikannya wewenang kepada Bank Indonesia untuk mengawasi dan mengeluarkan peraturan mengenai bank syariah. Sebelumnya kewenangan tersebut diberikan kepada kementrian keuangan. Sejarah mencatat, bagaimana Bank Indonesia sangat aktif dalam mengembangan perbankan syariah. Banyak Peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan demi menunjang kelancaran operasional bank syariah.[14]
F.     Hukum Perbankan Syariah Pada Tahun 2008 Sampai Sekarang
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dasar hukum perbankan syariah di Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin meningkat secara signifikan. Akan tetapi, beberapa praktisi dan pakar perbankan syariah berpendapat bahwa peraturan yang ada masih tidak cukup untuk mendukung operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebagai contoh, bank syariah beroperasi hanya berdasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional yang kemudian diadopsi Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia yang tersebar dalam berbagai bentuk kadangkala overlapping satu sama lainnya. Kemudian, bank syariah mempunyai karakterisitk yang berbeda dengan bank konvensional, sehingga pengaturan bank syariah dan bank konvensional dalam satu Undang-Undang yang sama dipandang tidak mencukupi. Oleh karena itu, adanya UU khusus yang mengatur bisnis perbankan syariah secara konfrehensif merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk diwujudkan.[15]
Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan pemerintah, mengesahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari 70 pasal dan dibagi menjadi 13 bab. Secara umum struktur Hukum Perbankan Syariah ini sama dengan Hukum Perbankan Nasional. Aspek baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata kelola (corporate governance), prinsip kehati-hatian (prudential principles), menajemen resiko (risk menagement), penyelesaian sengketa, otoritas fatwa dan komite perbankan syariah serta pembinaan dan pengawasan perbankan syariah. Bank Indonesia tetap mempunyai peran dalam mengawasi dan mengatur perbankan syariah di Indonesia, namun saat ini pengaturan dan pengawasan perbankan, termasuk perbankan syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan amanah UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dengan adanya UU khusus yang mengatur perbankan Syariah serta instrumen hukum lainnya , diharapkan eksistensi perbankan syariah semakin kokoh, para investor semakin tertarik untuk melakukan bisnis di bank syariah sehingga perbankan syariah di Indonesia semakin lebih baik lagi.[16]
Dan berdasarkan data bank Indonesia, prospek perbankan syari’ah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Industri perbankan syari’ah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika pada posisi November 2004, volume usaha perbankan syari’ah telah mencapai 14,0 triliun rupiah, dengan tingkat pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2004 sebesar 88,6%, volume usaha perbankan syari’ah di akhir tahun 2005 diperkirakan akan mencapai sekitar 24 triliun rupiah. Dengan volume tersebut, diperkirakan industry perbankan syari’ah akan mencapai pangsa sebesar 1,8% dari industry perbankan nasional dibandingkan sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004. Pertumbuhan volume usaha perbankan syari’ah tersebut ditopang oleh rencana pembukaan unit usaha syari’ah yang baru dan pembukaan jaringan kantor yang lebih luas. Dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumlah sekitar 20 triliun rupiah dengan jumlah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di akhir tahun  2005.[17]
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Kaim Business Consulting pada tahun 2005 menunjukkan bahwa total asset bank syari’ah di Indonesia diperkirakan akan lebih besar dari pada apa yang diproyeksikan oleh Bank  Indonesia. Dengan menggunakan Karim Growth Model, total asset bank syari’ah di Indonesia diproyeksikan akan mencapai antara 1,92% sampai 2,31% dari industry nasional. Model ini dikembangkan dengan pendekatan rational expectation atau dengan memanfaatkan all relevant information available  dan mensimulasikan proyeksi pertumbuhan asset masing-masing BUS/UUS (organik) dan proyeksi BUS/UUS baru (non-organik) yang kemudian dilahirkan agregasi pertumbuhan.[18]
Perbandingan Proyeksi Aset Bank Syari’ah Di Indonesia
Tahun
Proyeksi aset versi KBC (Rp T) Low
Proyeksi aset versi KBC (Rp T) High
Proyeksi total aset bank (Rp T)
Proyeksi porsi aset terhadap aset total bank versi KBC (Low)
Proyeksi porsi aset terhadap aset total bank versi KBC (High)
Proyeksi porsi aset terhadap aset total bank versi BI
2005
25
30
1300
1.92%
2.31%
1.85%
2006
40
50
1350
2.96%
3.70%
2.79%
2007
75
80
1400
5.36%
5.71%
3.94%
2008
100
120
1500
6.67%
8.%
5.18%
2009
150
180
1600
9.38%
11.25%
6.45%
2010
200
220
1700
11.77%
12.94%
7.67%
2011
300
360
1800
16.67%
20%
9.10%

Terlepas dari perbedaan hasil proyeksi tersebut di atas, kedua data tersebut mengindikasikan hal yang sama, yakni pertumbuhan aset bank syari’ah di Indonesia akan mengesankan. Tumbuh-kembangnya aset bank syari’ah ini dikarenakan semakin baiknya kepastian disisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syari’ah.
Perkembangan perbankan syari’ah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya yang selama ini terlibat di institusi syari’ah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktik dalam Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktivitas dan profesionalisme perbankan syari’ah itu sendiri. Inilah yang memang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya insane yang mampu mengamalkan ekonomi syari’ah di semua lini karena system yang baik tidak mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.[19]
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia tahun 1997 cukup memberikan pelajaran dan bukti nyata bahwa bank Muamalat yang bergerak dengan prinsip syari’ah mampu bertahan. Sementara bank konvensional justru mengalami negative spreat. Krisis tersebut sangat memberikan pukulan terhadap konsep perbankan konvensional dimana akibat dari krisis ekonomi banyak bank-bank konvensional harus dilikwidasi.
Dengan bukti tersebut perkembangan perbankan syari’ah semakin pesat. Hal ini dibuktikan semakin hari semakin bertambah bank konvensional yang tertarik membuka unit usaha syari’ah, semakin banyaknya pendirian bank umum syari’ah dan BPRS. Sebagai penguatan dan dukungan terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah, selanjutnya pada Desember tahun 2003 MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga. Fatwa tersebut selanjutnya disosialisasikan awal tahun 2004. Dalam upaya penyempurnaan lembaga perbankan syari’ah pada tahun 2008 pemerintah mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah. Undang-undang ini dianggap sebagai angin segar, sekaligus sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam upaya mendukung tumbuhnya perbankan syari’ah. Alhasil dengan dikeluarkannya UU No. 21 tahun 2008 ini menjadikan pertumbuhan perbankan syari’ah dari tahun ketahun terus mengalami pertumbuhan yang signifikan. Secara ilustrasi, perkembangan aturan perbankan syari’ah meliputi:
Evolusi  Perbankan Syari’ah di Indonesia[20]
1990
1992
1998
1999
2003
2008
Kesadaran Implementasi Ekonomi Islam
Ducl Banking Sistem
Penguatan Ducl Banking Sistem
Penegasan Fungsi BI
Keluarnya Fatwa Haram Komersial Bunga Bank oleh MUI
Pengukuhan Kehadiran Bank Islam
Gerakan dan kesepahaman untuk mendirikan bank Islam
Terbitnya UU.No.7 Thn 1992 Di izinkannya pendirian bank syari’ah
Terbitnya UU.No. 10 Thn 1998 Landasan Kelembagaan dan Operasional  Bank Syariah
Hadirnya UU.No.23 Thn 1999
BI juga bertanggung jawab pada bank syariah

UU.No.21 Thn 2008 Tentang Perbankan syariah


Wallahu a’lam



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka.
Bank syariah adalah bank atau tempat penyimpanan dana yang sesuai dengan hukum-hukum dan landasan agama Islam. Bank ini banyak memberikan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat, khususnya muslim.
Di Indonesia, mayoritas penduduk beragama Islam, sehingga seharusnya hukum keuangan yang diterapkan mengikuti hukum perekonomian Islam, yaitu bank syariah




B.     Kritik dan Saran







DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan, Jakarta: Grafindo Persada, 2014

Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syari’ah, Cet. I, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012

Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Syari’ah Dan Lembaga-Lembaga Terkait (Bamui, Takaful Dan Pasar MODAL syari’ah) Di Indonesia, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004



[1] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Syari’ah Dan Lembaga-Lembaga Terkait (Bamui, Takaful Dan Pasar MODAL syari’ah) Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hal. 5
[2] Ibid, Hal. 6
[3] Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syari’ah, Cet. I (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 49-50
[4] Ibid
[5] Warkum Sumitro, Op.Cit, hal. 6
[6] Ibid, hal. 7
[7] Sumar’in, Log.Cit
[8] Ibid.
[9] Ibid, hal. 52
[10] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2014), hal. 25
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Adiwarman A. Karim, Loc.Cit
[18] Ibid
[19] Ibid. hal. 26
[20] Sumar’in, Opt.Cit, hal 52

0 Response to "Makalah Sejarah Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel