Apa itu Hasan (Baik) dan Qabih (Buruk)?
Baca Juga
Mari kita baca kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islamnya Wahbah Zuhaili, juz pertama halaman 116, ulama berkebangsaan Syiria itu menjawab pertanyaan tentang “apa itu hasan dan qabih?”
Sebagai berikut:
Kubu Asy’ariyah dan Mu’tazilah sepakat , bahwa akal bisa menangkap mana yang hasan (baik) dan mana yang qabih (buruk) dalam dua pengertian:
Sebagai berikut:
Kubu Asy’ariyah dan Mu’tazilah sepakat , bahwa akal bisa menangkap mana yang hasan (baik) dan mana yang qabih (buruk) dalam dua pengertian:
Yang pertama, manakala hasan diartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan tabiat (selera) manusia,maka dalam hal ini hasan berupa perasaan senang, rasa manis, merdunya suara, dan menolong orang yang terpuruk. Sedangkan qabih diartikan dengan sesuatu yang berseberangan (kontradiktif) yang tidak disukai oleh tabiat manusia berupa rasa pahit, suara kasar dan perampasan harta secara zalim.
Yang kedua, manakala hasan diartikan sebagai sifat kesempurnaan , seperti berilmu dan jujur, sedangkan qabih diartikan dengan sifat kekurangan, seperti bodoh dan berbohong.
Ulama yang terkenal dengan kitab Fiqh Islam Wa Adillatuhu tersebut selanjutnya menuliskan, ketidaksepakatan meraka (Asy’ariyah dan Mu’tazilah) muncul manakala hasan diartikan dengan sesuatu yang ketika dilakukan memiliki konsekuensi pujian di dunia dan pahala di akhirat, sedangkan qabih diartikan kebalikannya berimbas pada hinaan di dunia dan azab di akhirat. Berikut pendapat masing-masing:
Pendapat Asy’ariyah (barisan pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari salah seorang ulama mutakallimin, wafat pada tahun 324 H), mereka mengatakan, sumber penetapan dan pemahaman hasan (baik) dan qabih (buruk) hanyalah syariat yang dibawa oleh seorang rasul. Segala apapun yang diperintahkan syara’, semisal beriman, shalat dan haji adalah hasan, sedangkan apapun yang dilarang syara’, semisal berbuat kekufuran, dan perkara haram lainnya adalah qabih. Seseorang tidak dituntut melakukan atau meninggalkan perkara yang menurut akalnya baik (hasan) atau buruk (qabih), kecuali dakwah rasul telah sampai kepadanya. Dan konsekuensinya, siksa Allah tidak akan ditimpakan pada pelaku perbuatan yang menurut akalnya perbuatan tersebut qabih (buruk), atau meninggalkan perbuatan yang menurut akalnya hasan (baik), sampai Allah mengutus seorang rasul. Maka di sini akal tidak memiliki otoritas sama sekali dalam penetapan hukum.
Pendapat Mu’tazilah (barisan pengikut Washil bin ‘Atha’ wafat pada tahun 131 H, dan ‘Amr bin ‘Ubaid wafat pada tahun 144 H) dan yang sepakat dengannya seperti Karamiyah, Khawarij, Syi’ah Ja’fariyah, Barahimiyah, Tsanawiyah dan selainnya. Mereka menegaskan bahwa sumber penetapan dan pemahaman hasan (baik) dan qabih (buruk) adalah akal dan tidak terpaut dengan syara’ . dan syara’ berperan sebagai penguat bagi hukum akal.
Jalaluddin Al-Mahalli mengomentari pendapat Mu’tazilah tersebut dalam Syarh Jami’ al-Jawami’ , berikut ini:
“Anggapan mereka (Mu’tazilah), syariat yang ditetapkan pada manusia merupakan sesuatu yang di dalamnya dapat dicerna dan dicapai oleh akal, dalam arti dapat ditelusuri bahwa di dalamnya pasti terkandung sebuah kemanfaatan dan kemudharatan. Kesimpulan mereka apapun yang difahami oleh akal sebagai perkara yang baik atau buruk, maka syariat pun selaras dengan hal tersebut. Kedatangan rasul hanyalah sebagai penguat terhadap segala sesuatu yang ditetapkan oleh akal.” (Juz 1, h. 59)
Menengahi dua pendapat di atas, As’ad Ali Az-Zanjany dan Abu Khitab dari golongan Hanabilah dalam Hawasyi Muhammad Al-Jauhari mengemukakan bahwa akal memiliki peran menghukumi hasan dan qabihnya sesuatu, namun tidak memiliki konsekuensi pahala dan dosa. (h.7)
Pendapat Mu’tazilah (barisan pengikut Washil bin ‘Atha’ wafat pada tahun 131 H, dan ‘Amr bin ‘Ubaid wafat pada tahun 144 H) dan yang sepakat dengannya seperti Karamiyah, Khawarij, Syi’ah Ja’fariyah, Barahimiyah, Tsanawiyah dan selainnya. Mereka menegaskan bahwa sumber penetapan dan pemahaman hasan (baik) dan qabih (buruk) adalah akal dan tidak terpaut dengan syara’ . dan syara’ berperan sebagai penguat bagi hukum akal.
Jalaluddin Al-Mahalli mengomentari pendapat Mu’tazilah tersebut dalam Syarh Jami’ al-Jawami’ , berikut ini:
“Anggapan mereka (Mu’tazilah), syariat yang ditetapkan pada manusia merupakan sesuatu yang di dalamnya dapat dicerna dan dicapai oleh akal, dalam arti dapat ditelusuri bahwa di dalamnya pasti terkandung sebuah kemanfaatan dan kemudharatan. Kesimpulan mereka apapun yang difahami oleh akal sebagai perkara yang baik atau buruk, maka syariat pun selaras dengan hal tersebut. Kedatangan rasul hanyalah sebagai penguat terhadap segala sesuatu yang ditetapkan oleh akal.” (Juz 1, h. 59)
Menengahi dua pendapat di atas, As’ad Ali Az-Zanjany dan Abu Khitab dari golongan Hanabilah dalam Hawasyi Muhammad Al-Jauhari mengemukakan bahwa akal memiliki peran menghukumi hasan dan qabihnya sesuatu, namun tidak memiliki konsekuensi pahala dan dosa. (h.7)
0 Response to "Apa itu Hasan (Baik) dan Qabih (Buruk)?"
Post a Comment