/ -->
بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Kontroversi Nyanyian Dalam Islam

Islam dan Seni: Tinjauan Historis

Nyanyian adalah seni, bangsa Arab jahiliyyah sebelum Islam, begitu mengapresiasi  seni, berlomba-lomba menciptakan ungkapan yang bernuansa puitis dan menyentuh, lihai dalam bermain kata-kata, melahirkan ritme, bait, syair dan irama yang indah.  “Anugerah Sastra” turut meramaikan panggung seni Jahiliyyah sebagaimana dikabarkan oleh Suyuthi dalam al-Muzhir. 

Orang-orang pagan Arab mengadakan sebuah festival tahunan sejenis pertemuan sastra, tempat berkumpulnya para penyair-pahlawan untuk mempertontonkan keahlian dan memperebutkan posisi pertama, puisi maupun bait syair yang mendapat penghargaan akan ditulis dengan tinta emas, kemudian digantung dalam dinding Kakbah.  Jika orang-orang Yunani mengungkapkan daya seninya terutama dalam bentuk patung dan arsitektur, orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk syair.



Sebuah adagium Arab kuno,  bergema “Puisi merupakan catatan publik orang-orang Arab.”  Nilai-nilai luhur tertinggi orang-orang Arab menjelma dalam puisi-puisi kaum pagan. Puisi begitu istemewa, dan penggubaha puisi begitu disegani dan dihormati, dengan demikian begitu mudah difahami mengapa Al-Qur'an menjadi mukjizat terbesar nabi Muhammad Saw. Ayat-ayat Al-Qur’an melampaui puisi-puisi dan bait-bait syair terbaik yang tersiar kala itu, mereka terpana, tertegun dan terpesona, ayat-ayat Al-Qur'an memang penuh dengan tamstil yang menyentuh, rima yang luar biasa indah, lihat saja betapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengalir dengan rima nan elok dan jernih. Syair-syair dan puisi-puisi terbaik ala kaum jahiliyyah dengan sendirinya luntur, kalah pamor dengan keindahan susunan ayat-ayat Al-Qur’an.

Demikanlah Islam datang dengan “wajah” yang indah, karena Allah memang Maha Indah dan mencintai keindahan. Di samping susunan ayat-ayatnya yang indah, Al-Qur’an adalah panduan hidup ummat Islam darinya berbagai macam ilmu lahir yang tidak dapat jemari meghitungnya.

Al-Qur’an adalah sumber utama para fuqoha (ulama fiqh) dalam menetapkan suatu hukum, disusul dengan hadis kemudian ijma’ setelahnya qiyas, demikianlah hierarki sumber hukum Islam yang desepakati para ulama, pun ada juga yang tidak disepakati ulama (ada ulama yang mengakuinya sebagai sumber, ada yang tidak mengakuinya) seperti istihsan, istishlah,’urf, istishhab, mashlahah mursalah dan sebagainya.

Hukum Nyanyian Dalam Literatur Fiqh

Ayat-ayat Al-Qur’an sebagian besar bermuatan ajaran yang mujmal (global, umum), tentu saja membutuhkan penjelasan rincian-rinciannya, di situlah peran hadis sebagai tabyin (penjelas) dari pesan Al-Qur’an.  Dalam kasus nyanyian dan musik misalnya, bolehkah atau haram menurut hukum Islam? 

Secara eksplisit tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang keharaman atau kebolehan nyanyian dan musik—tanpa menafikan pesan implisit yang terkandung padanya—sehingga masalah ini masuk dalam ranah khilafiyah (masih diperdebatkan, dapat diijtihadi) dalam ilmu fiqih, beda halnya dengan masalah yang secara eksplisit Al-Qur’an haramkan atau bolehkan, seperti kasus keharaman babi ini jelas keharamannya tertulis dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah:173, al-Maidah:3, An-Nahl: 115 dan al-an’am: 145) maka para fuqaha tidak ada yang memperdebatkannya lagi, muttafaq, (disepakati para fuqaha).

Banyak ulama maupun fuqaha yang menaruh concern terhadap kasus nyanyian, terbukti dengan maraknya muncul berbagai macam literature fiqh yang membicarakan perdebatan haram dan bolehnya, sebagian ulama mengulasnya dalam fashal-fashal kitab mereka, semisal Imam Al-Ghazali dalam ihya’nya, An-Nawairi dalam kitab Nihayat al-Arabb, As-Sahrudi dalam ‘Awarif al-Ma’arif, Abu Thalib al-Makki dalam Qut al-Qulub, dan sebagainya, bahkan banyak yang membahasnya secara khusus dalam satu kitab di antaranya, kitab Abdul Malik bin Habib, Karahat al-Ghina, kitab Dzamm al-Malahi karya Ibn Abi al-Dunya (disebut-sebut paling komprehensif), Mushannaf Fi Dzamm al-Ghina Wa al-Man’I Minh oleh Abi Thib al-Tabhari, kitab Ibnu al-Qaisarani, al-Sima’, kitab al-Sima’ Wa al-Raqhs Ibnu Taimiyah, Idhahu al-Dalalat Fi Sima’I al-Alat karya Abd al-Ghani, Abu Faishal Al-Badrani Hukm al-Ghina Wa al-Ma’azif Wa Alat al-Malah dan kitab al-Kaff al-Ra’a’i ‘An Muharamat al-Lahwi Wa al-Sima’i oleh Ibnu Hajar Al-Haitami.

Ulama Yang Mengharamkan Nyanyian

Mari kita baca kitab terakhir yang disebutkan, al-Kaff al-Ra’a’i ‘An Muharamat al-Lahwi Wa al-Sima’i. Ibnu Hajar dalam muqaddimah kitab tersebut, menulis “sebelum saya menjelaskan pendapat para ulama tentang masalah ini (nyanyian dsb), saya akan menginformasikan terlebih dahulu bahwa seluruh hadist shahih yang muttafaq tidaklah mengecam semua nyanyian, kecuali nyanyian yang sudah menyimpang dari jalan yang lurus. Karena pada dasarnya nyanyian itu merupakan suatu tabiat yang sudah terpendam dalam jiwa manusia, sungguh dia sudah dikenal manusia sejak dahulu kala, jauh sebelum masa kini, orang-orang Arab sebelum Islam itu biasa bernyanyi dari buaian sampai liang lahad, mulai dari benyanyi saat meminang anak-anak mereka sampai menangisi mait pun mereka bernyanyi di depannya dengan nada pilu."

Ulama bermazhab Syafi’i itu kemudian menyebutkan pandangan-pandangan para fuqaha tentang nyanyian (hal. 7-8), mulai dari yang mengharamkan dan yang membolehkan. Adapun barisan fuqaha yang mengharamkannya antara lain—sebagaimana dikutip Ibnu Hajar dari Abu Thib al-Thabari—adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan sejumlah ulama besar lainnya. Para ulama mazhab ini mengambil legitimasi keharaman nyanyian ini dari Al-Qu’an dan Hadis-hadis nabi. Dari Al-Qur’an surah Al-Isra ayat 64 dan surah An-Najm ayat 59-61, juga surah Luqman ayat 6 pesan tersirat (implisit) dari ayat-ayat itu menjadi dalil pengharaman nyanyian. Sumber berikutnya, mereka menyodorkan sejumlah hadis-hadis, satu di antaranya  hadist Ibnu Mas’ud, Nabi saw bersabda  “Sesunggguhnya nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati..” dan hadis-hadis lainnya.

Ulama Yang Membolehkan Nyanyian

Adapun barisan ulama yang membolehkan nyanyian, dikutip dari Qut al-Qulubnya , Abu Thalib al-Makki di antaranya, dari generasi shahabat, ada Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, Ibn Zubair, Ibn al-Mughirah bin Sya’bah, dari generasi tabi’in ada Ibnu Sirin, Salim bin Abdullah bin Umar, Atha’ bin Abi Rabah mengatakan “Tidak apa-apa bernyanyi asal jangan mengandung unsur keji.”
Kemudian ulama selanjutnya yang membolehkan bernyanyi ada Al-Dafwa, Ibnu Thahir al-Muqaddas, Ibnu Hazm dan sebagainya. Mereka menolak pendapat fuqaha yang mengharamkan nyanyian dengan menegaskan bahwa seluruh hadis yang meriwayatkan tentang keharaman nyanyian itu bermasalah, tidak dapat diselamatkan keshahehannya. Al-Qadhi bin Abu Bakar berkata “hadis pengharaman nyanyian itu tidak sah, karena dia hadis ahad.” Ibnu hazm bahkan terlihat paling menolak hadis-hadis tentang pengharaman nyanyian. Dia mengatakan “semua hadis-hadis yang meriwayatkan tentang nyanyian itu adalah palsu.”

Ibn Hazm Dan Al-Muhalla, Al-Ghazali Dan Ihya’

Mari kita buka dan lihat bersama-sama sanggahan Ibnu Hazm terhadap keharaman nyanyian dalam magnum opusnya Al-Muhalla jilid 7 halaman 559 terbitan Dar Kutub al-Ilmiah.

Dimulai dari penjelasan halalnya jual beli alat catur, seruling, kecapai dan ketipung, siapa saja yang menghancurkannya, diharuskan untuk membayar sebesar kerugiannya, kecuali yang dihancurkan itu berupa patung yang berbentuk. Ibnu hazm menambahkan boleh jual beli budak-budak perempuan yang berprofesi sebagai penyani (meski sekarang mungkin kita tidak menemukan budak lagi) dengan berdalil firman Allah Al-Baqarah ayat 29: “Dia-lah yang telah menciptakan bagimu segala sesuatu yang di bumi..” Al-Baqarah ayat 275 “Allah menghalalkan jual-beli..” dan Al-An’am ayat 119 ”Dan sesungguhnya Dia (Allah) telah merinci apa saja yang diharamkan-Nya atas kamu..”

Ulama berdarah bangsawan itu menandaskan, adapun orang-orang yang berseberangan dengan pendapatnya, mengemukakan berbagai atsar yang tidak sah (bathil). Atau ada sebagian yang shahih namun tidak ada mata rantainya (sanad) dengan masalah ini.  Sebagian adalah yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwa nabi bersabda:

“sesungguhnya Allah telah mengharamkan perbuatan menjual budak perempuan yang berprofesi sebagai penyanyi, menerima harganya, mengajarinya bernyanyi dan mendengarkan ia bernyanyi”

Ketika penyanggah hadis ini, Ibnu Hazm berkata “Laits”, ia adalah dhaif. Juga ada Said bin Abi Razin, tidak ada yang mengenali siapa sebenarnya dia itu? Dan siapa yang desebut sebagai saudaranya.

Dirawikan dari Muaawiyah, katanya “Rasulullah melarang Sembilan macam perbuatan, dan aku kini melarang kamu  melakukannya,” kemudian Muawiyah menyebut di antaranya; nyanyian dan ratapan."

Ibn Hazm menyanggah. “Di antara perawi hadis tersebut terdapat Muhammad bin Muhajir, ia seorang dhaif sedangkan Kaisan adalah seorang majhul.

Abu Dawud merawikan dengan sanadnya sampai kepada seorang “syekh” dari Ibnu Mas’ud, katanya aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesunggguhnya nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati..”

Ibn Hazm berkata “Riwayat yang berasal dari seorang “syekh” ini sangat aneh, siapakah gerangan syekh itu?

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa, Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa duduk di tempat seorang biduwanita lalu mendengarkan nyanyiannya, maka Allah akan menuangkan timah yang meleleh ke kedua telinganya, besok pada hari kiamat.”

Ibnu Hazm mengomentari hadis di atas “ini adalah hadis maudhu’ (palsu) secara terang-terangan. Tidak pernah dikenal (di kalangan para ahli hadis, sebagai riwayat melalui Anas.”

Masih banyak hadis yang “diruntuhkan” oleh ulama yang lahir pada akhir bulan Ramadhan 384 Hijriyah itu yang tidak penulis sebutkan lagi di sini. Mungkin hadis yang terpenting mengenai hal ini adalah yang dirawikan oleh Bukhari—secara mu’allaq—dari Abu Malik AL Asy’ari yang mendengar sabda Rasulullah Saw:

“Akan ada di antara umatku orang-orang yang menghalalkan sutere (untuk kaum laki-laki), khamar dan permainan musik.”

Tepat di halaman 565, Ibn Hazm menulis kritikannya “Ini munqathi’, sanadnya di sini terputus, tidak bersambung antara Bukhari dan Shadaqah bin Khalid, perawi hadis ini.” 

Masih di halaman yang sama ulama yang kitab-kitabnya pernah dibakar itu meneguhkan “Tidak ada sebuah hadis shaheh pun mengenai hal ini. Semua yang dirawiyakan tentang pelarangan tersebut adalah maudhu’. Demi Allah seandainya semua itu atau bahkan satu saja darinya memiliki sanad yang dirawikan oleh oranh-orang tsiqah (jujur, terpercaya) niscaya kami tidak ragu-ragu sedikit pun untuk mengambilnya.”

Selain Ibn Hazm, ada Al-Ghazali, ulama bermazhab Syafi’i itu menulis dalam buku fenomenalnya Ihya’ Ulumuddin,(hal.744), berikut “nyanyian itu tak obahnya seperti perkataan biasa, bila ia mengandung kebaikan,maka baik, pun bila ia mengandung keburukan, maka buruk”. Demikian pula mendengarkan nyanyian hukumnya bervariasi bisa haram, makruh, mubah, wajib tergantung konteksnya.

Kemudian, beliau memberi kategori terhadap nyanyian yang dibolehkan, seperti nyanyian yang bertujuan untuk  membangkitkan kerinduan kaum muslim agar bergegas menuju haramain (Makkah dan Madinah), mengobarkan semangat “nasioanlisme” guna melindungi tanah air, menggambarkan sengitnya pertempuran, kesabaran para mujahid dan pahlawan dalam menumpas para lawan di saat-saat yang gawat, mengenang jasa orang yang telah wafat, melukiskan moment-moment yang penuh kegembiraan dan kepuasan hati, melukiskan cinta yang suci dan melukiskan kebesan Ilahi, memuji, menyanjung dan mengagungkanNya.

Dalam kitab Al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl Fiqh Wa Ahl al-Hadis, Abu Hamid Al-Ghazali pengarang kitab tersebut, mengutip resume Dr. Abdul Lathif Ubadah atas gambaran Al-Ghazali tentang keindahan dan seni,( hal. 90) sebagai berikut:

“Seni adalah emulasi keindahan yang diciptakan oleh Allah di seluruh cakrawala alam semesta. Seni adalah hasil keterampilan manusia yang menyerupai ciptaan Tuhan. Tak ada satu pun  kreatifitas  yang bisa digapai para seniman, kecuali pasti sudah ada ilustrasinya dalam ciptaan AllahSang Pencipta yang Maha Tinggi. Dan dariNya-lah para seniman belajar keterampilan dan denganNyalah berteladan.

Al-Ghazali menambahkan, setiap keindahan yang ada di alam semesta yang dapat dicercap oleh akal, mata, telinga dan indra-indra lainnya, sejak bermulanya alam sampai saat kepunahannya dari puncak bintang kartika sampai permukaan tanah, maka semuanya itu hanyalah sebutir dzarrah yang bersal dari khazanah kekuasaanNya Subhanahu wa Ta’ala..









4 Responses to "Kontroversi Nyanyian Dalam Islam"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel