/ -->
بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Definisi Kurban dan Dasar Pensyariatannya dalam Fiqh Muqaaran

Definisi Kurban dan Dasar Pensyariatannya dalam Fiqh Muqaaran

Definisi Kurban
Kurban atau berkurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan Al udhiya—yang kemudian kita tahu, kata Adha yang terdapat di akhir kalimat Idul Adha itu, satu derivasi dengan kata al udhiya--yang secara etimologi, lughatan, mengutip definisi yang didedahkan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab Fiqh al Islam Wa Adillatuhu, berarti: “sebuah nama bagi hewan yang dikurbankan, atau hewan yang disembelih tepat pada hari raya kurban, Idul Adha.”

Sementara, secara terminologi, faqhan, ia dimaknai dengan: “Terjadinya  penyembelihan terhadap hewan-hewan tertentu, dengan maksud taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah, pada waktu yang sudah ditetapkan.” Atau--dengan redaksi yang berbeda--ia dimaknai sebagai:  “Sesuatu yang disembelih dari jenis hewan ternak. Semata-mata hanya untuk taqarrub, mendekatkan diri pada Allah, yang waktu pelaksanaannya dilakukan pada hari hari nahar.

Definisi lain, ditulis oleh  Abdurrahman Al Jaziri dalam kitabnya Fiqh al Islam Ala Mazahibil Arba’ah, tanpa mendefinisikannya secara bahasa. Yaitu: “Nama bagi sesuatu yang disembelih atau dijagal dari jenis hewan ternak sebagai wujud taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, yang dilaksanakan pada hari hari nahar.” Sampai di sini, ta’rif ini, masih serupa dengan definisi terakhir sebelumnya. Yang membedakannya adalah, Al Jaziri, menambahkan definisi ini dengan: “Baik yang melakukannya seorang mukallaf yang sedang atau tidak melaksanakan haji. Demikian menurut tiga mazhab. Maliki berbeda pendapat, ia hanya mengkhususkan ibadah kurban ini untuk orang yang tidak berhaji. Dengan kata lain, orang yang sedang berhaji tidak dituntut untuk melakukan kurban.”

Sedangkan, dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid dan Rohmatul Ummah Fi Ikhtilafil A’immah tidak dituliskan definisi darinya. Kedua kitab itu langsung membahas tentang hukum berkurban atau menyembelih—yang akan dibahas di bagian kedua serial ini.

Dasar Pensyariatan Kurban
Sebagaimana zakat dan dua shalat Id, kurban juga disyariatkan pada tahun yang sama, yaitu pada tahun kedua sejak nabi melakukan hjirah dari Mekkah ke Madinah, yang merupakan awal mula perhitungan tahun dalam kalender Islam; tahun Hijriyyah. Dasar  atau landasan pensyariatan ini bersumber dari Alqur’an, Hadits dan ijma’. Tiga sumber hukum Islam yang telah disepakati para ulama.

Adapun dalam Al Qur’an, para ulama mendasarinya dari ayat kedua surah  Al Kautsar dan ayat ke 36 surah Al Hajj.
 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢
 Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”
وَٱلۡبُدۡنَ جَعَلۡنَٰهَا لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمۡ فِيهَا خَيۡرٞۖ فَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَا صَوَآفَّۖ فَإِذَا وَجَبَتۡ جُنُوبُهَا فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرۡنَٰهَا لَكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٣٦
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi´ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur”

Selanjutnya, hadis yang dijadikan sumber perintah qurban ini, antara lain: hadis dari Aiysah yang diriwayatkan oleh Hakim, Ibnu Majah dan Tirmidzi:
ما عمل ابن آدم يوم النحر عملاً أحب إلى الله تعالى من إراقة الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأظلافها وأشعارها، وإن الدم ليقع من الله عز وجل بمكان قبل أن يقع على الأرض، فطيبوا بها نفساً
“Tidak ada amalan manusia yang lebih disukai Allah di hari nahar atau Idul Adha, melebihi ibadah qurban. Karena qurbannya itu kelak akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku dan bulunya. Dan darahnya akan menetes di tempat yang Allah tentukan, sebelum darah itu menetes di tanah. Untuk itu, hendaklah kalian merasa senang karenanya.”

Dan hadits dari Anas, yang diriwayatka oleh Bukhari:
ضحى رسول الله صلّى الله عليه وسلم بكبشين أملحين، أقرنين، فرأيته واضعاً قدميه على صِفَاحها، يُسمِّي ويكبِّر، فذبحهما بيده
“Nabi Saw, berkurban dengan dua kambing gemuk, dan bertanduk. Saya melihat nabi Saw. Dalam keadaan meletakkan kedua kakinya di atas pundak kambing tersebut, seraya membaca basmalah, takbir, lalu menyembelihnya dengan tangannya sendiri.”

Kemudian, sumber terakhir mengenai pensyariatannya adalah adanya ijmak di antara para ulama. Sebagaimana dituturkan oleh Zuhaili:
وأجمع المسلمون على مشروعية الأضحية
“Dan kaum muslim sudah berijmak, sepakat, atau sependapat terhadap pensyariatan ibadah kurban.” Tutupnya, saat-saat mengakhiri pembahasan tentang Pengertian Kurban dan Dasar Pensyariatannya, di halaman 595 jilid 3 dari 8 jilid kitabnya yang diterbitkan oleh Dar Alfikr. Sebelum ia melanjutkannya ke pembahasan tentang Hukum Berkurban, yang bisa Anda simak di bagian kedua serial ini.

============
Rujukan utama serial ini, diambil dari kitab Fiqh al Islam Wa Adillatuhu. Sebuah kitab yang lahir dari tangan ulama kontemporer: Wahabah Zuhaili. Yang menurut penulis, merupakan salah satu dari kitab paling komprehensif dalam mengurai perbandingan pendapat para ulama mazhab, yang dalam bahasa Arab disebut dengan Fiqh Muqaran. Diselingi dengan sumber rujukan lain sejenisnya, seperti Rohmatul Ummah Fi Ikhtilafil A’immah; fikih perbandingan yang ditulis ulama syafiiyah, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid; fikih perbandingan milik malikiyyah. Fiqh al Islam Ala Mazahibil Arba’ah, fikih perbandingan yang cukup populer, karya Al Jaziri, Serta kitab-kitab lain yang akan Anda temukan nantinya. Ditulis dalam rangka menyambut hari raya Idul Adha.

0 Response to "Definisi Kurban dan Dasar Pensyariatannya dalam Fiqh Muqaaran"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel