/ -->
بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Hukum Berkurban dalam Berbagai Kitab Fikih Perbandingan (Fiqh Muqaaran)

 

Hukum Berkurban dalam Berbagai Kitab Fikih Perbandingan (Fiqh Muqaaran)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berkurban: wajibkah atau sunnah? Demikian, setidaknya, tulis tiga kitab babon fikih perbandingan mazhab atau fiqih muqaraan; kitab fiqhul Islam wa Adillatuhu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid dan Rahmatu Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, saat memulai perbincangan tentang hukum berkurban antar mazhab.

Secara serentak, mereka (para penulis kitab:read) mulai menjawab di masing-masing kitab, bahwa, ada ulama yang menghukumi wajib berkurban. Dan tak sedikit pula ulama yang menghukuminya dengan sunnah. Atau paling tinggi, berkurban hanya dihukumi dengan sunnah muakkad tidak sampai ke level wajib. 

Mazhab-Wajib-Kurban

Yang memandang berkurban itu wajib adalah Abu Hanifah dan para pengikutnya. Mereka  mengatakan: “Berkurban, wajib dikerjakan dalam sekali setahun bagi penduduk asli suatu kota maupun desa, muqiiim.” Pernyataan ini, dapat ditemukan di dalam kitab Alkitab. Sebuah kitab fikih yang ditulis oleh salah satu imam mazhab hanafiyyah, yaitu, Abu Husein Ahmad bin Muhammad, yang keimamannya dalam mazhab hanafi diakui sendiri oleh Abu Ishaq Assyraazii, “Abu Husein Albagdadi itu, yang terkenal dengan julukan Alquduri adalah imam mazhab Abu Hanifah di masa kami” paparnya, di halaman 124 kitab  Thabaqatul Fuqaha’.

Kitab yang diberi judul Alkitab itu, kemudian disyarahi lagi oleh beberapa ulama hanafiyyah, salah satunya, kitab Allubab fi Syarhil Kitab karya Abdul Ghani—yang kemudian disitir oleh Wahbah Zuhaili untuk melanjutkan keterangan di atas. Yang mana di dalam kitab ini disebutkan, bahwa tidak semua hanafiyyah menjatuhkan hukum wajib untuk berkurban. At Thahawi dan yang lain misalnya, mengatakan: “Abu Hanifah mewajibkannya, sementara ulama hanafiyyah lain, yaitu Abu Yusuf (murid Abu Hanifah paling terkenal) dan Muhammad sendiri berpendapat bahwa hukum berkurban itu sunnah muakkad bukan wajib.”

Argumen yang digunakan Abu Hanifah untuk mewajibkan kurban, bersumber dari sebuah hadis yang berbunyi :

«من وجد سعة، فلم يضح، فلا يقربن مصلانا»

“siapa saja yang sudah memiliki kelapangan (harta), lalu dia tak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.”

Beliau memahami, bahwa ancaman semacam ini, tidak (mungkin) diberikan hanya karena meninggalkan sesuatu yang tidak wajib. Juga, karena kurban adalah ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, qurbatan. Yang disandarkan pula dengan waktunya, yaitu pada hari raya Idul Adha, itulah mengapa ia diwajibkan. Karena ia disandarkan pada sesuatu yang khusus (waktu pelaksanaannya). (lihat Fiqh Islam wa Adillatuhu: Maktabah syamilah)

Menarikya, Al Jaziri menganggap, bahwa istilah wajib yang dipakai Hanafiyyah itu, sebenarnya sama dengan sunnah ‘ain muakkadah yang ganjarannya tidak sampai pada azab api neraka bagi yang meninggalkannya. Melainkan hanya kepada terhalangnya mereka mendapatkan syafaat dari nabi Muhammad Saw. (lihat Alfiqh ala al Mazabil Arba’ah: Maktabah Syamilah)

Mazhab-Sunnah-Kurban

Selain Abu Hanifah, jumhur ulama menganggap, bahwa hukum menyembelih hewan kurban itu hanyalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat ditekankan). Ulama yang berada di bawah atap jumhur ini termasuk Syafi’i, Hambali, Maliki dan sebagian dari kalangan Hanafiyyah. Kendati demikian, hukumnya bisa menjadi makruh bagi orang yang mampu, tapi tidak melaksanakan kurban.

Sementara, pendapat Malikiyyah terpopuler menegaskan hukum sunnah muakkad di atas hanya dikenakan kepada orang yang tidak sedang berhaji di Mina. Dan sebaiknya bagi yang mampu, hendaklah melakukan kurban atas tiap-tiap jiwa di dalam satu rumah tangga atau keluarga, pun bila ada yang ingin mengurbankan masing-masing dari anggota keluarga yang dinafkahinya--satu kurban satu orang--boleh menurut mazhab mereka (maliki).

Berbeda dengan Syafi’iyyah, yang menandaskan bahwa, tidak ada bedanya antara orang yang sedang atau tidak berhaji. Terangnya, ke dua belah pihak (yang berhaji maupun yang tak berhaji) sama-sama dikenakan hukum sunnah muakkad dalam melaksanakan kurban. (lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid: maktabah syamilah)

Syafi’iyyah juga tidak memberlakukan ini untuk tiap tiap orang dalam sebuah keluarga, sebagaimana yang telah diberlakukan malikiyah. Syafiiyah justru, merinci hukum berkurban ini, kepada apa yang mereka sebut dengan sunnah ainiyyah dan sunnah kifayah.

Hukumnya sunnah ainiyyah sunnah pribadi, bagi tiap-tiap muslim sekali seumur hidup. Jelasnya, ibadah sunnah ini, hanya berlaku untuk orang per orang bukan untuk sunnah bersama-sama. Karena menurut Syafiiyyah, sebuah perintah tidak perlu dilakukan secara berulang kali. Cukup sekali saja seumur hidup. Kecuali, ada dalil lain yang menunjukkan pelaksanaannya berulang-ulang. Seperti salat dan sebagainya. (Periksa dalam kitab Syarh Al Isnawi)

Dan sunnah kifayah untuk sebuah keluarga. Terangnya, sunnah ini berlaku bagi sebuah keluarga yang terdiri dari beberapa anggota keluarga di dalamnya seperti suami, istri, dan anak, yang sendainya satu saja dari mereka menyembelih kurban, maka kesunnahan untuk semuanya sudah dapat atau cukup, kifayat. Mereka mendasari ini, salah satunya dari sebuah hadis yang berasal dari Mikhnaf bin Sulaim yang pernah mengatakan:

«كنا وقوفاً مع النبي صلّى الله عليه وسلم، فسمعته يقول: يا أيها الناس، على كل أهل بيت في كل عام أضحية .. »

“Saat itu, kami bersama nabi Muhammad saw. Lalu, saya mendengarnya berkata: “Hai manusia, diperintahkan kepada setiap satu keluarga untuk menyembelih kurban tiap tahunnya.” ( lihat fiqh islam wa adillatuhu dan alfiqh ala mazahibl arba’ah).

Jumhur ulama dalam mensunnahakan ibadah kurban ini, menggunakan dalil hadis dari Ummu Salamah, yang berbunyi:

«أن رسول الله صلّى الله عليه وسلم قال: إذا رأيتم هلال ذي الحجة: وأراد أحدكم أن يضحي، فليمسك عن شعره وأظفاره»

“Rasulullah Saw bersabda: Apabila kalian sudah melihat hilal pada bulan Zul Hijjah, dan salah satu dari kalian ingin berkurban, maka hendaklah menahan diri (agar tidak memotong) rambut dan kuku .”

Frase “ingin berkurban” yang tercantum dalam hadis tersebut mereka pahami, bahwa berkurban itu adalah tergantung keinginan. Dan disangkutkannya ia dengan keinginan, menandakan gugurnya kewajiban padanya.

Dan hadis lain yang mereka pakai sebagai dalil kesunnahannya, berasal dari Ibnu Abbas yang mengatakan:

«ثلاث هن علي فرائض، وهن لكم تطوع: الوتر، والنحر وصلاة الضحى»

“Saya mendengar nabi Muhammad Saw bersabda: “ Tiga hal yang hukumnya wajib bagiku dan sunnah bagi kalian: shalat witir, berkurban dan shalat dhuha”. (HR Ahmad dan Baihaqi). Dan satu riwayat dari Tirmidzi, berbunyi:

«أمرت بالنحر وهو سنة لكم».

“saya diperintahkan berkurban yang merupakan sunnah bagi kalian”. Dan dalil-dalil di atas juga turut menguatkan, bahwa daging kurban yang disembelih itu tidak wajib dibagikan. Sebagaimana wajibnya membagikan daging akikah.

Mengenai hadis yang oleh Hanafi dijadikan sebagai dalil wajibnya berkurban, menurut para ulama adalah hadis dhaif. Mereka mendha’ifkannya. Atau paling tidak mereka memaknai hadis itu, hanya sebagai penguat kesunnahan belaka. Seperti kasus mandi hari Jum’at—yang hukumnya sunnah, namun redaksi hadisnya wajib—yang hadisnya berbunyi: “mandi hari Jumat itu wajib bagi tiap-tiap yang baligh lagi berakal, muhtalim.”

Kemudian, kesunnahan kurban ini juga didukung oleh sebuah atsar, yang berbunyi:

أن أبا بكر وعمر كانا لا يضحيان، مخافة أن ترى الناس ذلك واجباً

“Abu Bakar dan Umur, keduanya tidak melakukan ibadah kurban, karena mereka takut orang-orang menganggapnya wajib.”

Pemicu Perbedaan Pendapat di Antara Para Ulama

Ada dua faktor, pemicu terjadinya perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagaimana ditulis Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.

Faktor pertama: Rutinnya nabi Muhammad Saw melakukan ibadah kurban memunculkan pertanyaan, apakah prilaku nabi yang demikian menunjukkan bahwa berkurban itu wajib atau hanya sunnah? Bahkan saking rutinnya, dalam keadaan musafir pun, nabi, masih tetap melakukannya. Seperti dalam sebuah hadis yang berasal dari Tsauban, manakala ia sedang musafir bersama nabi: “Tsauban mengatakan, “saat itu nabi menyembelih kurbannya,” lalu berkata: “Ya Tsauban, uruslah daging kurban ini dengan baik”, dan Tsauban berkata: “saya selalu memakannya hingga tiba di Madinah.” (HR. Muslim dan Darimi)

Faktor kedua: Berbedanya mereka (baca: para ulama) dalam memahami berbagai hadis yang tersedia yang membahas tentang hukum berkurban. Salah satunya, hadis dari Ummu Salamah, yang berbunyi: “Bahwa, nabi bersabda: Apabila sudah masuk tanggal 10, lalu salah satu dari kalian ingin berkurban, maka janganlah ia memotong sedikitpun dari rambut maupun kukunya.”. (HR. Muslim dan Abu Dawud). Substansi hadis ini sama dengan hadis yang dijadikan argumen kesunnahannya oleh jumhur ulama, hanya berbeda di redaksi saja. sebagaimana disebutkan di atas. Yaitu, mereka memahami, frase “ingin berkurban” dalam hadis di atas tersebut, mengindikasikan bahwa berkurban tidaklah wajib.

Sementara, di lain hadis, rasulullah saw memerintah Abu Burdah agar mengulang kembali kurbannya, karena dia sudah terlanjur menyembelihnya sebelum shalat Idul Adha. Dan ummat pun memahami, bahwa hadis ini menandakan wajibnya berkurban. Sebagaimana dianut oleh Hanafi dan sebagian pengikutnya.

Kurban Ibnu Abbas dan Bilal

Ada yang menarik dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashi, Ibn Rusyd menutup pembahasan tentang hukum berkurban—sekaligus saya jadikan sebagai penutup tulisan ini--dengan menampilkan riwayat pengalaman berkurban Ibnu Abbas dan Bilal.

Ikrimah menuturkan: “Ibnu Abbas memberikan kepadaku uang sebanyak dua dirham untuk membeli daging. Ia berpesan: siapa saja yang berjumpa denganmu di jalan, katakan padanya: Ini adalah daging kurban Ibnu Abbas.”

Yang kemudian, riwayat di atas tak jarang dijadikan bahan “pengandaian legitimasi” oleh sebagian “ulama” kontemporer mengenai bolehnya berkurban dengan uang. Sebagaimana Ibnu Abbas menyerahkan “kurban uang”nya kepada Ikrimah.

Berbeda pula dengan pengalaman berkurban Bilal. Ia berkurban bukan dengan daging kambing, sapi, apalagi unta, melainkan hanya dengan seekor ayam jantan. وَرُوِيَ عَنْ بِلَالٍ أَنَّهُ ضَحَّى بِدِيكٍ

Ibnu Rusyd buru-buru menambah klarifikasi, bahwa kedua riwayat di atas; kurban Ibnu Abbas dan Bilal tidak bisa dijadikan pegangan atau dalil. Karena riwayat keduanya berstatus dhaif, lemah.

 

============

Rujukan utama serial ini, diambil dari kitab Fiqh al Islam Wa Adillatuhu. Sebuah kitab yang lahir dari tangan ulama kontemporer: Wahabah Zuhaili. Yang menurut penulis, merupakan salah satu dari kitab paling komprehensif dalam mengurai perbandingan pendapat para ulama mazhab, yang dalam bahasa Arab disebut dengan Fiqh Muqaran. Diselingi dengan sumber rujukan lain sejenisnya, seperti Rohmatul Ummah Fi Ikhtilafil A’immah; fikih perbandingan yang ditulis ulama syafiiyah, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid; fikih perbandingan milik malikiyyah. Fiqh al Islam Ala Mazahibil Arba’ah, fikih perbandingan yang cukup populer, karya Al Jaziri, Serta kitab-kitab lain yang akan Anda temukan nantinya. Ditulis dalam rangka menyambut hari raya Idul Adha.

0 Response to "Hukum Berkurban dalam Berbagai Kitab Fikih Perbandingan (Fiqh Muqaaran)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel