Mengakbarkan Fikih Kurban: Yang "Hilang" dalam Fikih Kurban
Saban tahun, pada saat menjelang ataupun sedang perayaan hari raya kurban, saya selalu teringat renungan-renungan Ali Syari'ati tentang ritual haji dan kurban yang ia tuangkan dalam karya masyhurnya, al Hajj.
Pada umumnya, ulama-ulama fikih akan larut memperbincangkan hal hal yang ada di seputaran tata-cara pelaksanaan kurban: mulai dari hukum berkurban, syarat dan rukun apa saja yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam pelaksanaan kurban, hingga kapan waktu pengerjaannya. Ini dari satu sisi: sisi orang yang akan berkurban.
Sementara dari sisi lain: sisi hewan yang hendak dikurbankan, akan ditemui pembahasan-pembahasan semisal: hewan apa saja yang bisa dijadikan sebagai kurban, daging hewan mana yang paling direkomendasikan untuk dikurbankan, sampai kepada hal hal rinci pun tak luput didiskusikan oleh ulama-ulama, seperti: bagaimana bentuk, kondisi, warna dan usia hewan itu.
Tidak hanya yang demikian, para ulama fikih juga akan membicarakan siapa yang boleh (dan seharusnya) menyembelih hewan kurban, siapa saja yang berhak menikmati daging hewan itu, hingga kepada pertanyaan: untuk apa saja organ-organ tubuh hewan itu, seperti kulit, boleh dipergunakan?
Bagi Ali Syari'ati apa yang telah menjadi fokus kajian ulama ulama fikih di atas, tanpa dibersamai dengan niat yang benar dan dengan pemaknaan yang dalam, hanyalah sekadar isyarat, tanda dan simbol yang masih bersifat formalistik, belum menyentuh kepada hakikat ibadah.
Senapas dengan Syari'ati, Jamaluddin Athiya dalam Tajdid Fiqh al Islam pun memandang bahwa selama ini yang menghegemoni dalam kitab-kitab fikih adalah kajian kajian tentang "ke-badan-an" ibadah, yang hanya memusatkan perhatiannya kepada rukun dan syarat yang bersifat ragawi, belum sampai menjamah bagian sanubari ibadah.
Athiya menyebutkan bahwa, ibadah itu terdiri dari dua kepingan yang harus bersatu, yaitu keping 'jism', badan dan keping 'ruh', nyawa. Rukun dan syarat ibadah yang wujudnya dapat diketahui secara jelas adalah yang badani. Sedangkan taqwa, ikhlas dan ihsan yang tempatnya berada dalam hati adalah yang ruhani. Seperti makhluk lainnya, badan dan nyawa harus sama-sama berjalan agar ia tetap dianggap hidup. Dalam ibadah, kepingan badan dan kepingan nyawa, juga, harus sama-sama disatu-padukan demi hidupnya ibadah seseorang.
Tetapi sayangnya, kata Athiya, kebanyakan kitab-kitab fikih hanya memperhatikan bagian jism atau badan ibadah saja, sementara bagian yang tanpanya badan tidak bisa hidup: nyawa atau ruh ibadah, sama sekali, kehadirannya tidak terlihat di sana; ia absen, hilang, dan tidak terliput. Gaaba.
Bersambung ke bagian II dari artikel ini..
0 Response to "Mengakbarkan Fikih Kurban: Yang "Hilang" dalam Fikih Kurban"
Post a Comment