Mengakbarkan Fikih Kurban: Definisi Fikih "Kecil" yang Termapankan (Bagian II)
Sebenarnya Athiya (dan para pembelajar fikih) mengetahui dengan baik alasan di balik alpanya "fikih ruhani" dalam kitab-kitab fikih kita. Para ulama penulis fikih pun menyadari mengapa mereka "mengeliminasi" kajian ke-ruhani-an fikih dalam kitab-kitab mereka.
Kendati demikian, kajian terhadap ke-ruhani-an fikih itu, pada kenyataannya, tidaklah dikeluarkan atau dibuang secara total dalam lembaran-lembaran kitab fikih. Keberadaannya masih bisa kita temukan di dalam beberapa kitab fikih. Setidaknya, fukaha masih mencantumkan penjelasan tentang niat dan hikmah yang merupakan ruh ibadah atau bagian ke-ruhani-an fikih di dalam kitab mereka.
Hanya saja, ia diberi ruang yang begitu kecil dan sempit, seperti terlihat dalam kitab Fiqh Islam Wa Adillatuhu milik Wahbah Zuhaili. Di sana, Zuhaili menghabiskan berlembar-lembar halaman untuk menerangkan "ke-badan-an fikih" kurban. Sementara untuk mengupas "ke-ruhani-an fikih" kurban, Zuhaili hanya menyediakan tempat yang tidak lebih dari lima paragraf. Dengan kata lain, ruang yang disediakan itu tidak sampai satu lembar.
"Penyingkiran" terhadap ke-ruhani-an fikih tersebut, secara sadar, dilakukan oleh para fukaha semenjak imam Syafi'i mencetuskan pengertian terminologi fikih itu sendiri, dengan definisi: "Ilmu tentang hukum-hukum syara' yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil terperinci".
Dalam al Bajury, Ibrahim al Bajuri memberi kesaksian bahwa definisi fikih yang dibangun oleh Syafi'i itu merupakan definisi fikih pilihan mazhab Syafi'i. Zuhaili juga menuturkan bahwa definisi itu adalah pengertian fikih paling populer dan paling banyak digunakan oleh para ulama setelah Syafi'i.
Sehingga wajar, jika kemudian para ulama menyebutkan definisi fikih syafi'i tersebut sebagai definisi established: Pengertian fikih yang telah termapankan.
Bersambung ke bagian III dari artikel ini...
0 Response to " Mengakbarkan Fikih Kurban: Definisi Fikih "Kecil" yang Termapankan (Bagian II) "
Post a Comment