/

Mengakbarkan Fikih Kurban: Revitalisasi Fikih "Besar", "Akbar" (Bagian III)

Sebagai sebuah definisi, pengertian fikih "kecil" kreasi imam Syafi'i yang telah termapankan itu, pada akhirnya, berhasil memerankan peran yang telah diamanatkan oleh ilmu "mantiq" kepadanya; yaitu peran sebagai penghimpun jaami'an, dan peran sebagai pencegat, maani'an.

Sebagai jaami'an, pengertian fikih tersebut hanya akan meng-include: menginklusi atau menampung atau memasukkan semua jenis makna yang sesuai dengan makna yang ia persyaratkan pada dirinya: pertama, materi kajiannya harus bersifat hukum, kerenanya kitab-kitab fikih hanya memuat studi hukum. 

Kedua, sumber memperoleh hukum itu harus berasal dari "syariat". Karena itu, materi fikih hanya diambil dari Alquran dan Hadis yang merupakan teks-teks "syariat". Ketiga, hukum syariat yang dibicarakan itu harus berwatak praktis. Karenanya, yang ditampung oleh fikih hanyalah hukum-hukum yang berkaitan dengan laku lahiriyah seseorang yang, bentuk dan prakteknya, dapat dilihat secara nyata oleh mata dalam pengertian harfiyahnya.

Sebagai maani'an, definisi fikih itu dengan sendirinya akan  meng-exclude: mengeksklusi, atau mencegat atau melarang masuk segala jenis makna yang berseberangan dengan makna yang dimaksud definisi. Karena itu, segala kajian yang tidak ada kaitannya dengan hukum, dan setiap hukum yang penyumberannya bukan dari "syariat", serta perbuatan-perbuatan yang bila dikerjakan tidak dapat dideteksi oleh indra mata bagaimana wujud dan prakteknya, oleh para fuqaha tidak akan memasukkannya ke dalam objek kajian kitab-kitab fikih mereka.

Keimanan dan keikhlasan dan ketaqwaan dan segenap sifat-sifat yang bertempat tinggal di dalam hati yang, karena itu pulalah sosok mereka tidak dapat disaksikan oleh mata dengan makna literalnya, tidak akan kita temukan penjabarannya di dalam kitab-kitab fikih. Padahal, menurut Athiya, inilah ruh atau nyawa ibadah yang harus bersatu dengan badan ibadah. Kedua kepingan itu: badan dan nyawa semestinya harus didialogkan atau dibicarakan di dalam satu ruangan yang sama, yaitu ruang bernama fikih.

Jika kita memutar mundur arah jarum jam sampai ke era tsarwah fiqhiyyah, masa keberlimpahan khazanah fikih, zaman para ulama mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i hingga Hambali hidup lalu berkiprah dalam ilmu ilmu kegamaan, khususnya di bidang fikih, maka kita akan menemukan pemaknaan fikih yang berbeda.

Adalah imam Abu Hanifah, yang merupakan "sulung" dari empat imam mazhab terkemuka di atas, memasukkan kajian-kajian hukum dan akidah dan akhlak sebagai bagian yang dicakup oleh pengertian fikih. Itu artinya, "fikih ke-badan-an", yang lazimnya diwakili oleh terma hukum, dan "fikih ke-ruhani-an", yang lazimnya terwakili dalam terma akidah-akhlak, masih menjadi bagian dari teritori fikih menurut Hanafi. Pun, itulah mengapa kitab fikih awal Abu Hanifah dijuduli dengan fikih "besar", akbar.

Dan dalam rangka tajdid, pembaruan fikih, Athiya merekomendasikan agar "fikih badani" dan "fikih ruhani" dipertemukan kembali dalam satu ruangan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh imam Abu Hanifah. Karena itu, ia menyerukan beberapa seruan dalam pembaruan fikih, yang satu di antaranya adalah ajakan untuk menghidupkan kembali fikih akbar ala Hanafi, revitalisasi fikih "besar", akbar.

Bersambung..


0 Response to "Mengakbarkan Fikih Kurban: Revitalisasi Fikih "Besar", "Akbar" (Bagian III) "

Post a Comment