/

Di Tapal Batas Najis: Anjing, Fikih, dan Sebuah Pertanyaan yang Tak Kunjung Usai

Tak pernah terpikir bahwa suatu hari sebuah pertanyaan sederhana akan membawa langkah jauh ke dalam lorong-lorong fikih yang penuh perdebatan. Sebuah pertanyaan yang muncul bukan dari lembaran kitab, tetapi dari jalanan yang dilewati, dari pemandangan yang begitu nyata: anjing-anjing berkeliaran di tanah Minangkabau.

Pemandangan itu terasa janggal. Di Sumatera Utara, anjing memiliki peta sosialnya sendiri. Ia hampir selalu ditemukan di lingkungan umat Kristen, tetapi jarang sekali terlihat di perkampungan Muslim. Seolah ada kesepakatan tak tertulis bahwa anjing hanya boleh ada di kampung yang bergereja, bukan di kampung yang bermasjid. Namun, di tanah Minangkabau, batas itu seolah tak berlaku.

Dari keheranan itu, lahirlah sebuah catatan perjalanan bertahun-tahun silam dengan judul “Anjing Tanpa Gereja.” yang sudah entah di mana tulisan itu sekarang. 

Tetapi keheranan tak berhenti di situ. Semakin lama merenungkan keberadaan anjing dalam lanskap budaya yang berbeda ini, semakin besar pula dorongan untuk bertanya lebih jauh: Apakah anjing benar-benar najis?

Mazhab Syafi’i, yang dianut oleh mayoritas Muslim di Nusantara, menetapkan bahwa anjing adalah najis, bukan hanya liurnya, tetapi juga seluruh tubuhnya. Dasarnya? Hadis Rasulullah yang memerintahkan pencucian bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Sebuah perintah yang bagi para fuqaha bukan sekadar aturan kebersihan, tetapi tanda bahwa najis ini lebih berat dari sekadar kotoran biasa.

Namun, dalam sebuah risalah klasik yang bertajuk Risalah al-Kalb Thahir, Ibnu Hazm, seorang pemikir hukum Islam yang pemikirannya telah banyak dikaji, menolak anggapan ini. Baginya, anjing adalah makhluk yang suci, bukan najis. Jika memang najis, mengapa Al-Qur’an menyebutnya tanpa nada larangan? Bahkan dalam kisah Ashabul Kahfi, anjing menjadi penjaga setia di pintu gua para pemuda beriman. Dalam aturan tentang berburu, hewan tangkapan yang dibunuh oleh anjing terlatih tetap halal dimakan, tanpa perlu dicuci tujuh kali.

Jika anjing benar-benar najis, mengapa Allah tidak menyatakannya secara eksplisit?

Pandangan ini khas Mazhab Zahiriyah, pandangan yang dianut sendiri oleh Ibn Hazm: mazhab yang menolak analogi (qiyas) dan hanya menerima hukum yang secara eksplisit disebut dalam teks. Jika Rasulullah tidak pernah secara langsung mengatakan, “anjing itu najis,” maka menurut mereka, tidak ada dasar untuk menetapkannya demikian. Hadis tentang pencucian bejana, bagi mereka, bukan dalil kenajisan, melainkan sekadar bentuk kehati-hatian dalam kebersihan, sebagaimana mencuci tangan sebelum makan bukan berarti tangan itu najis.

Tetapi benarkah fikih cukup dipahami dari lafaz yang tersurat? Benarkah hukum Islam berdiri tegak hanya di atas teks tanpa mempertimbangkan konteks?

Mengapa Rasulullah menetapkan aturan pencucian dengan tujuh kali siraman, salah satunya dengan tanah, jika air saja sudah cukup untuk membersihkan kotoran? Jika ini bukan tentang najis, mengapa perlakuannya berbeda dari jenis kotoran lain?

Dan lebih dari itu, mengapa menolak qiyas?

Jika analogi tidak boleh digunakan, bagaimana hukum Islam bisa menjawab persoalan-persoalan baru yang tak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis? Bagaimana Islam tetap relevan di tengah dunia yang terus berubah, jika hukum hanya terpaku pada teks tanpa menggali makna yang lebih luas?

Mazhab Zahiriyah sering dikritik karena pendekatannya yang kaku—menolak logika, menolak ijtihad berbasis pemahaman luas, dan hanya terjebak dalam permukaan teks. Tetapi, mazhab yang menegaskan kenajisan anjing pun tak luput dari pertanyaan.

Jika anjing benar-benar najis, mengapa Nabi mengizinkan manusia memeliharanya untuk berburu dan menjaga ternak? Jika air liurnya najis, mengapa daging hasil buruannya tetap halal dimakan?

Di sinilah letak persoalan fikih yang sejati. Sebab fikih bukan hanya tentang membaca teks, tetapi tentang memahami ke mana teks itu hendak mengarahkan kita.

Lalu, di manakah kebenaran itu berada?

Tak ada jawaban yang mutlak, sebab hukum Islam selalu hidup dalam dialektika, dalam pertarungan argumen yang tak pernah berakhir. Namun, satu hal yang pasti: fikih bukan sesuatu yang harus diterima tanpa dipertanyakan.

Barangkali, anjing-anjing yang berkeliaran di tanah Minangkabau itu bukan sekadar hewan yang melintas. Mungkin mereka adalah pertanyaan yang belum selesai, pertanyaan yang terus berjalan di antara batas-batas fikih, di antara lafaz dan makna, di antara najis dan suci.

Maka hingga hari ini, pertanyaan itu tetap bergema: Apakah anjing benar-benar najis, ataukah kita hanya menerima dogma tanpa pernah mempertanyakannya kembali?

0 Response to "Di Tapal Batas Najis: Anjing, Fikih, dan Sebuah Pertanyaan yang Tak Kunjung Usai"

Post a Comment