Mengakbarkan Fikih Puasa: Ramadan dan Keindahan yang Tak Terliput
Baca Juga
Ramadan datang lagi. Seperti tetes embun yang jatuh tanpa suara. Seperti angin subuh yang menyentuh pelipis tanpa kita sadari. Seperti desir waktu yang terus bergerak, tanpa pernah meminta izin untuk kembali.
Ramadan datang lagi, dan kita, seperti tahun demi tahun, berpuasa.
Fikih telah lama mengajarkan kita batasannya: kapan mulai, kapan berbuka, apa yang boleh, apa yang tidak. Hukum-hukumnya disusun dengan rapi, seperti rajutan benang yang tertata dalam pola yang sempurna.
Tetapi, ada sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh "fikih yang kecil", sesuatu yang tak bisa diukur dengan hitungan, yaitu bagaimana sunyi bekerja di dalam jiwa yang berpuasa.
Puasa yang sejati bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi tentang bagaimana kita dilaparkan oleh waktu—dipaksa untuk sejenak berhenti, mendengar kembali suara hati yang sering kita abaikan, menyadari betapa banyak yang telah kita miliki tetapi tak pernah kita syukuri.
Puasa adalah ibadah yang begitu senyap. Tak ada yang bisa melihat apakah seseorang benar-benar berpuasa atau diam-diam menyeruput seteguk air. Tak ada yang bisa tahu apakah seseorang menahan diri dari kemarahan, dari hasrat ingin menang sendiri, dari keinginan untuk selalu tampak benar.
Dan di dalam kesenyapan itulah, puasa menemukan keindahannya yang paling sunyi.
Seorang buruh di bawah terik matahari, tubuhnya lelah, bibirnya kering, tetapi ia tetap bekerja tanpa keluhan.
Seorang ibu yang terbangun sebelum subuh, menyiapkan sahur dalam cahaya lampu yang temaram, lalu duduk sendiri menatap langit fajar.
Seorang anak kecil yang menahan haus di siang hari, menggigit bibirnya, menunggu dengan sabar waktu berbuka.
Tak ada yang melihat mereka. Tak ada yang memberi tepuk tangan. Tak ada yang memuji atau mengabadikan momen itu di media sosial. Tetapi justru di sanalah letak keindahan Islam: ibadah yang tidak dipamerkan, yang tidak mencari tepuk tangan, yang hanya dilakukan sebagai bisikan cinta kepada Tuhan.
"Fikih akbar", fikih yang besar, adalah fikih yang mampu menangkap ini. Ia tidak hanya berbicara tentang apa yang sah dan batal, tetapi juga tentang ruh yang menghidupkan amal.
Maka Ramadan ini, mungkin bukan hanya jumlah rakaat tarawih yang perlu kita hitung. Bukan berapa kali kita khatam yang perlu kita banggakan. Tetapi juga, seberapa sunyi puasa kita, seberapa jernih ia membawa kita kembali kepada Tuhan.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh doa Imam al-Ghazali yang sekilas hening, namun mengguncang:
Allahumma imanan ka iman al-dhu’afa’.
Ya Allah, berilah aku iman yang sederhana, seperti imannya orang-orang lemah itu.
Iman yang tidak meminta untuk dilihat.
Iman yang tidak mencari pengakuan.
Iman yang hanya ingin diam-diam menemukan jalan pulang.
Marhaban ya Ramadan...
0 Response to "Mengakbarkan Fikih Puasa: Ramadan dan Keindahan yang Tak Terliput"
Post a Comment