/

Melayat, Empati, dan Jejak Adab Nabi

Kematian adalah batas yang tak pernah mengenal perbedaan. Ia datang tanpa bertanya tentang keyakinan, tanpa memilah antara iman dan kufur. Duka adalah bahasa universal yang dirasakan oleh siapa saja yang kehilangan, dan di hadapan kesedihan, manusia berdiri sama: rapuh, kecil, dan tak berdaya.

Lalu, ketika seorang Muslim ingin melayat non-Muslim, apakah Islam akan melarangnya? Apakah hadir dalam ruang duka berarti menggadaikan aqidah? Atau justru, dalam momen seperti itu, Islam ingin menunjukkan wajahnya yang sesungguhnya—agama yang penuh kasih, yang lebih memilih untuk hadir dalam duka daripada membiarkan kesedihan mengalir sendirian?

Dari jauh, sejarah menjawab. Rasulullah ﷺ pernah berdiri ketika jenazah seorang Yahudi lewat di hadapannya. Para sahabat, yang terbiasa melihat Nabi hanya menunjukkan penghormatan kepada Muslim, bertanya dengan heran, “Ya Rasulullah, itu jenazah seorang Yahudi.” Tetapi Nabi tidak menjawab dengan dalil panjang, tidak pula dengan fatwa berlapis. Ia hanya berkata satu kalimat sederhana, tetapi mengguncang kesadaran:

“Bukankah dia juga seorang manusia?” (Shahih Muslim, no. 961)

Di situlah Islam berbicara. Dalam satu pertanyaan, Rasulullah ﷺ tidak hanya menegaskan bahwa kemanusiaan harus melampaui sekat-sekat keyakinan, tetapi juga mengajarkan bahwa akhlak tidak boleh tunduk pada batasan sempit yang dibuat oleh prasangka. Jika Nabi sendiri berdiri untuk jenazah non-Muslim, bagaimana mungkin Islam melarang seorang Muslim untuk sekadar mengucapkan belasungkawa kepada keluarga yang sedang berduka?

Jika seorang Muslim melayat, ia tidak dianjurkan untuk mendoakan rahmat bagi yang wafat, tetapi ia tetap bisa menyampaikan belasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Ucapannya bisa sederhana, tetapi sarat makna: "Turut berduka cita," atau "Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan." Itu bukan doa keagamaan, melainkan ungkapan kemanusiaan—dan Islam tidak pernah melarang manusia untuk menjadi manusia.

Para ulama, yang membaca Islam dalam keluasan samudera, tidak pernah melarang seorang Muslim untuk melayat non-Muslim selama ia tidak terlibat dalam ritual keagamaan mereka. Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa melayat bukanlah ibadah eksklusif bagi Muslim, tetapi perkara adab yang menjulang di atas sekat-sekat keyakinan. 

Kata-kata sederhana tadi: “Turut berduka cita” atau “Semoga keluarga diberi ketabahan” adalah jembatan yang tidak menyalahi syariat, tetapi juga tidak membiarkan kesedihan berdiri sendirian.


1 Response to "Melayat, Empati, dan Jejak Adab Nabi"

  1. Dikampung kami juga begitu, begitu nonis ada yang wafat pada melayat dan menyemangati keluarga yang ditinggalkan

    ReplyDelete