/

Fikih yang Menghitung, Tuhan yang Menimbang

Ada orang-orang yang datang ke masjid dengan langkah pasti, menegakkan salat dengan gerakan yang terukur, membaca setiap ayat dengan tartil yang sempurna. 

Ada yang berpuasa dari fajar hingga senja, menahan lapar, menahan dahaga, menjaga syarat dan rukunnya seperti seorang penjaga gerbang yang waspada.

Ada yang menunaikan zakat, menghitung hartanya dengan cermat, memastikan bahwa tidak ada satu keping pun yang kurang dari kadar yang diwajibkan; menghitungnya dengan ketelitian seorang pedagang yang menimbang emas di atas timbangan paling akurat.

Lalu, mereka berkata dalam hati: "Sudah. Selesai. Amal ini sah, maka pasti akan diterima Allah."

Tetapi benarkah sesederhana itu?

Bukankah kita sering mendengar ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah hanya menerima amal dari orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Ma'idah: 27)? Bukankah ini berarti bahwa di antara sahnya amal dan diterimanya ibadah terbentang sebuah jarak: sebuah ruang yang tidak bisa dijembatani hanya dengan kepatuhan formalistik?

Bayangkan seorang penyair yang menulis puisi dengan teknik yang sempurna: rima terjaga, diksi terpilih, dan metrum tertata. Tetapi ketika puisinya dibaca, tidak ada yang tergetar, tidak ada yang larut dalam pesonanya. Maka, apakah itu puisi, atau hanya barisan kata yang kehilangan jiwa?

Begitulah ibadah.

Seorang hamba bisa menyempurnakan syarat dan rukun, bisa menunaikan kewajiban dengan presisi seorang ahli fikih, bisa menghafal seluruh kaidah fikih, memastikan setiap gerakan dan bacaan salatnya sempurna, tetapi apakah itu cukup untuk membuatnya bernilai di mata Tuhan? 

Seseorang bisa berpuasa sepanjang Ramadan tanpa satu hari pun bolong, tetapi siapa yang bisa memastikan bahwa puasanya bukan sekadar ritual menahan lapar dan haus? 

Seseorang bisa membayar zakat dengan jumlah yang tak kurang sedikit pun, tetapi apakah itu menjamin bahwa amalnya diterima dan menjadikannya bercahaya di hadapan Tuhan?

Sejak dahulu, umat Islam selalu mengulang doa yang sama: Allahumma rabbana taqabbal minna “Ya Allah, ya Tuhan kami, terimalah (amalan) dari kami.” 

Seperti seorang musafir yang berdiri di depan pintu istana, kita mengetuk dengan harap-harap cemas, sadar bahwa keputusan untuk membiarkan pintu terbuka bukan berada di tangan kita. Doa ini, yang terus-menerus kita ulang dalam salat, dalam puasa, dalam sedekah, (disadari atau tidak) adalah pengakuan diam-diam bahwa kita, manusia, hanya bisa memastikan sebuah amalan itu sah, tetapi tidak pernah bisa memastikan apakah amal tersebut diterima oleh-Nya.

Rasulullah pernah bersabda dengan nada yang menggetarkan: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” Sabda ini adalah pisau yang membelah kenyataan. Bahwa ada ibadah yang memenuhi syarat lahiriah, tetapi kosong dari makna batiniah. Ada orang yang salat, tetapi salatnya tak mengubah perangainya. Ada orang yang berpuasa, tetapi lisannya tetap tajam melukai. Ada orang yang bersedekah, tetapi di hatinya masih tersimpan kesombongan.

Inilah sebabnya mengapa ada ulama yg membedakan antara fikih asghar dan fikih akbar. Jika fikih asghar berbicara tentang sah dan batal, tentang benar dan salah dalam tataran hukum lahiriah, maka fikih akbar berbicara tentang makna, tentang substansi, tentang tujuan akhir dari ibadah itu sendiri. 

Amal yang sah hanyalah kapal yang berlayar, tetapi apakah kapal itu akan sampai ke pelabuhan? Itu bergantung pada arah angin, pada kebersihan layar, pada niat yang mengemudikannya.

Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menyebut ibadah yang hanya memenuhi syarat lahiriah tetapi kosong dari ketulusan sebagai rumah tanpa penghuni: ia tampak megah dari luar, tetapi di dalamnya sunyi dan tak bernyawa.

Ibn Ata’illah, dalam Al Hikam, menambahkan, bahwa amal yang diterima bukan sekadar yang benar secara teknis, tetapi juga yang dilakukan dengan hati yang bersih dari riya, dari kepentingan duniawi, dari keinginan untuk dipuji.

Maka, berpikir bahwa amal yang sah pasti diterima adalah seperti mengira bahwa setiap kapal yang berlayar pasti akan tiba di tujuan. Tidak. Ada kapal yang karam di tengah jalan, ada yang dihantam badai, ada yang terombang-ambing tanpa arah. Dan karena itulah, manusia selalu berdoa dengan penuh harap dan gemetar:

Rabbana taqabbal minna, innaka antas-sami’ul ‘alim.

"Ya Tuhan kami, terimalah amal kami. Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Sebab di "langit" sana, ada pengadilan yang bekerja dengan timbangan yang lebih halus daripada yang kita kira.

0 Response to "Fikih yang Menghitung, Tuhan yang Menimbang"

Post a Comment