Menikah: Pilihan atau Kewajiban? Filosofi Batak, Ulama Lajang, dan Makna Hidup dalam Islam
Di tanah Batak, (dan mungkin saja di tanah-tahan yang lainnya), pernikahan dipandang bukan sekadar sebagai peristiwa sakral antara dua insan, melainkan ia juga dianggap sebagai simbol marwah dan keberlanjutan garis keturunan. Hidup yang baik, dalam logika budaya ini, adalah hidup yang bertabur tiga kebesaran: hagabeon, beranak-pinak, hasangapon, dihormati masyarakat, dan hamoraon, mapan secara ekonomi.
Seorang lelaki yang menua tanpa istri akan diibaratkan seperti pohon beringin yang tak berbuah. Sedangkan, seorang perempuan yang melewati usia tertentu tanpa seorang suami kerap dipersamakan dengan benih yang tak pernah sempat bertemu tanah.
Pendeknya, mereka yang memilih hidup tanpa pernikahan dipandang dengan tatapan iba atau kecurigaan: seolah ada kepingan dari hidup mereka yang hilang; seolah mereka sedang berdiri di luar pusaran peradaban yang semestinya mereka ikuti.
Begitulah yang diinformasikan oleh banyak peneliti dan penulis, termasuk Robin Simanullang dalam Hita Batak a Culutral Strategy: Apa dan Siapa Batak? Dialog Mitology–Sejarah dan Kekerabatan, mengenai tujuan hidup orang Batak.
Namun, benarkah pernikahan adalah satu-satunya gerbang menuju kehidupan yang paripurna? Benarkan tidak menikah adalah cacat sosial yang harus ditambal dengan berbagai dalih?
Islam, sejak awal, dalam konteks fikih non "ibadah mahdah", tidak pernah menuntut manusia berjalan dalam satu pola yang seragam.
Kitab-kitab fikih bergenre komparatif (muqaranah), semisal kitab al Fiqh al Islam wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili, dan Bidayah al-Mujtahid wa Niyahah al-Muqtashid-nya Ibnu Rusyd, telah menguraikan dgn baik bahwa pernikahan tidak memiliki hukum yg tunggal.
Pernikahan bisa menjadi wajib bagi mereka yang takut terjerumus dalam dosa, sunnah bagi mereka yang siap lahir batin, mubah bagi mereka yang tidak menemukan maslahat atau mudarat, makruh bagi mereka yang khawatir tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya, bahkan haram bagi mereka yang tahu bahwa pernikahan hanya akan membawa kezaliman dan penderitaan.
'Ala kulli hal, harus segera dituliskan bahwa Islam memang mengabadikan pernikahan sebagai tanda kebesaran-Nya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Rum: 21).
Pernikahan, bagi mereka yang menjalaninya dengan niat yang tulus, bukan sekadar kontrak sosial, tetapi tempat bernaung, tempat menenun kebersamaan, dan ladang amal yang amat luas.
Namun apakah ketenangan (sakinah) dan kasih sayang (rahmah) selalu bermuara pada pernikahan? Tidakkah ada jiwa-jiwa yang menemukan kebahagiaannya dalam jalan lain, tanpa merasa kehilangan apa pun?
Dalam Sunan Abu Dawud, Rasulullah pernah bersabda kepada para sahabat yang ingin hidup membujang, “Barangsiapa yang mampu menikah, maka menikahlah. Tetapi barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah tameng baginya” (HR. Abu Dawud No. 2046). Selain sebagai anjuran menikah bagi yang mampu, sabda ini juga adalah pengakuan bahwa tidak semua orang memiliki jalan yang sama dalam mengarungi kehidupan.
Bahkan dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi--seorang ulama besar yang sepanjang hidupnya tidak menikah--menulis bahwa dalam kondisi tertentu, meninggalkan pernikahan lebih utama jika seseorang merasa bahwa menikah akan menghalangi dirinya dari pengabdian terhadap ilmu dan ibadah.
Sejarah mencatat bahwa ada mereka yang memilih pernikahan dan menemukan keberkahan di dalamnya.
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, misalnya, membuktikan bahwa pernikahan bukan sekadar berbagi kehidupan, tetapi juga berbagi perjuangan. Dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala, Adz-Dzahabi menceritakan bagaimana Rasulullah menikah bukan hanya kerena faktor biologis, tetapi juga untuk membangun solidaritas, menciptakan kemaslahatan, dan menjaga kehormatan umat.
Kendati demikian, sejarah juga mencatat mereka yang memilih jalan “kesunyian” demi ilmu dan pengabdian.
Kitab Al ‘Ulama al-‘Uzzab al-Ladzina Atsar al-Ilm ‘ala al-Zawaj merekam keberadaan para ulama besar yang menangguhkan bahkan meninggalkan pernikahan demi mengabdikan hidup mereka pada ilmu dan pengabdian. Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, Abu Ja’far at-Thabari, dan Zamakhsyari--nama-nama yang abadi dalam sejarah keilmuan Islam--tidak menikah bukan kerena menolak sunnah, tetapi karena memahami bahwa jalan hidup mereka menuntut kesendirian yang penuh makna.
Imam Nawawi, yang menulis dalam cahaya lampu malam dan menghafal ilmu dengan disiplin seorang sufi, merasa bahwa menikah akan mengambil ruang yang ia dedikasikan sepenuhnya untuk ilmu. Ibnu Taimiyah, dengan ketajaman berpikir dan perlawanan intelektualnya, memilih kesendirian sebagai bagian dari perjuangannya.
Jika mereka, para ulama agung yang tak perlu kita ragukan lagi ketakwaannya, memilih jalan ini, mengapa masih ada yang berpikir bahwa hidup tanpa pernikahan adalah hidup yang tak genap?
Jika mereka mampu menorehkan warisan keilmuan tanpa harus melewati gerbang pernikahan, mengapa kita masih berpikir bahwa hanya dengan menikah seseorang akan mencapai puncak kehidupannya?
Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah memberikan alternatif bagi mereka yang belum atau tidak bisa menikah: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaknya menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberi kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya” (QS. An-Nur: 33). Ayat ini menunjukkan bahwa hidup tanpa pernikahan bukanlah aib, bukanlah celaan, melainkan ruang yang juga memiliki nilai tersendiri.
Karenanya, mungkin sudah saatnya kita menata ulang cara kita memandang kehidupan, yakni tidak menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya tolak ukur kelengkapan dan keberhasilan hidup.
Tidak menganggap mereka yang belum menikah sebagai manusia yang belum “tuntas”.
Sebab, yang menentukan nilai hidup seseorang bukanlah statusnya sebagai suami atau istri, melainkan bagaimana ia menjadikan hidupnya penuh makna, bagaimana ia melampaui dirinya sendiri dalam menghadirkan kebaikan bagi sesama.
Menikah bukanlah perkara memenuhi ekspektasi orang lain, tetapi memilih jalan yang benar-benat membawa kita pada ketenangan dan kebajikan.
Dan bukankah hidup yang sejati adalah hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran, bukan kerana keterpaksaan? Sebab di ujung perjalanan, yang kita bawa bukan status atau gelar sosial, tetapi jejak kebaikan yang kita tinggalkan.
0 Response to "Menikah: Pilihan atau Kewajiban? Filosofi Batak, Ulama Lajang, dan Makna Hidup dalam Islam"
Post a Comment