/

Gelas Kosong atau Gelas Berisi?: Sebuah Renungan

Di dalam banyak forum motivasi, kajian, maupun ruang-ruang pengajaran, kerap bergema anjuran yang, agaknya, telah menjadi semacam dogma:

"Datanglah dengan gelas kosong, agar dapat menampung setiap tetes ilmu yang disampaikan."

Pada mulanya, anjuran ini tampak mulia. Ia menyerukan kerendahan hati, membisikkan peringatan terhadap keangkuhan intelektual, dan membuka pintu bagi kelapangan menerima sesuatu yang baru. 

Namun bila diselami lebih jauh, analogi ini mengandung jebakan halus: apakah benar pengetahuan hanya soal menampung, bukan mengolah?

Belajar sejati tidak selalu bermula dari kekosongan mutlak, melainkan juga dari perjumpaan antara apa yang telah diketahui dan apa yang baru ditemukan.

Bukan penadah yang pasif, melainkan pelaku yang aktif: yang membawa serta bekal pertanyaan, serpih pemahaman, dan nyala rasa ingin tahu yang belum padam.

Gelas kosong memang mudah diisi, tetapi juga mudah tumpah dan menguap.

Gelas berisi mengundang perjumpaan, percikan, bahkan ledakan: ilmu yang bertemu dengan daya kritis, pengalaman yang bergulat dengan intuisi, gagasan yang diuji oleh kesadaran.

Belajar bukan sekadar menadah air yang mengalir, tetapi mengubah air itu menjadi sungai yang menghidupi, bahkan (jika mampu) ia bisa menjadi mata air baru yang memancar dari kedalamannya sendiri.

Dalam setiap ruang belajar--kelas, kajian, buku, atau pengalaman hidup--yang lebih dibutuhkan bukanlah jiwa-jiwa kosong, melainkan jiwa-jiwa yang siap berpikir, berani menggugat, dan terbuka untuk diperbarui.

Dengan ungkapan yang lain, setiap ruang belajar (entah itu kelas, forum, buku, ataupun peristiwa hidup) yang dibutuhkan bukanlah kekosongan mutlak, melainkan kesiapan:

Siap untuk mendengar dengan rendah hati,

siap untuk berpikir dengan keberanian,

siap untuk diperbarui tanpa kehilangan daya kritis yang menghidupkan.

Gelas kosong mengajarkan untuk mendengar.

Gelas berisi mengajarkan untuk berpikir.

Dan di antara keduanya, terhampar jalan menuju kebijaksanaan.

Dengan ungkapan yang, mungkin, lebih jelas: dalam riak pertemuan keduanya (gelas kosong dan gelas berisi), terbentuklah perjalanan menuju kebijaksanaan yang bukan sebagai sekadar sungai yang mengalir, tetapi juga sebagai mata air yang berani memancar.


****

0 Response to "Gelas Kosong atau Gelas Berisi?: Sebuah Renungan"

Post a Comment