Meneliti: Bukan Sekadar Tugas, Tapi Cara Menjadi Manusia yang Lebih Sadar
Sering kali kita mengira bahwa meneliti itu soal menyusun bab demi bab, memilih teori, lalu selesai. Tapi sesungguhnya, riset adalah cara paling jujur untuk mengenal dunia dan mengenal diri sendiri.
Ia bukan sekadar soal akademik, tapi soal keberanian bertanya, kepekaan membaca realitas, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa pengetahuan itu tak pernah selesai.
Bagi mahasiswa hukum Islam, meneliti kadang terasa berat karena harus berhadapan dengan kitab kuning, istilah Arab yang rumit, dan teori-teori yang terasa jauh dari kehidupan.
Tapi mari kita balik cara pandangnya. Apa jadinya jika meneliti justru dimulai dari hal yang dekat? Dari keresahan melihat teman perempuanmu yang ditinggal suami tanpa nafkah. Dari kegelisahan melihat bagaimana perempuan tak dianggap wali atas dirinya sendiri. Dari pertanyaan polos yang muncul saat membaca satu ayat atau hadis, “Apakah ini masih relevan hari ini?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah bahan bakar utama dalam riset. Bukan karena kita ingin “melawan”, tapi karena kita ingin mengerti. Kita ingin agar hukum tak hanya benar secara teks, tapi juga adil dalam kenyataan.
Maka, hal pertama yang harus dilakukan adalah belajar membaca. Membaca dengan sadar, bukan asal comot. Membedakan mana yang fakta, mana yang tafsir. Mana yang warisan sejarah, dan mana yang masih terbuka untuk digugat dan disusun ulang.
Setelah itu, kita belajar memahami konsep. Bukan sekadar hafalan, tapi benar-benar menyelami maknanya. Apa itu maslahat? Mengapa maqāṣid bisa menjadi jembatan antara teks dan konteks?
Bagaimana wilāyah bisa dibaca ulang dalam dunia yang tak lagi serba patriarkal? Ketika kita benar-benar paham konsep, kita tak akan mudah kagum pada kutipan. Karena kita tahu, ilmu bukan hanya soal siapa yang mengatakannya, tapi mengapa dan untuk siapa ia dikatakan.
Meneliti juga butuh keberanian untuk menyusun argumen. Kita belajar merajut pendapat dari berbagai sumber, menyatukannya menjadi satu arah pemikiran yang jelas.
Kita belajar menyaring, memilah, dan menghubungkan titik-titik kecil menjadi satu pemahaman yang utuh. Itulah proses berpikir. Dan ketika kita bisa melakukan itu, riset tak lagi terasa berat. Ia menjadi semacam latihan jiwa untuk berpikir lebih jernih, dan menjadi lebih jujur.
Lalu datang pertanyaan penting: “Apa sih celah ide yang bisa kita angkat?”
Jawabannya sederhana: lihat saja apa yang belum diucapkan, atau apa yang sudah diucapkan tapi belum dirasakan cukup. Bandingkan tulisan-tulisan yang sudah ada. Apa yang mereka lewatkan? Sudut pandang siapa yang belum hadir? Praktik lokal mana yang belum ditafsirkan dengan adil? Di situlah tempatmu. Di situlah suara dan pikiranmu dibutuhkan.
Meneliti, pada akhirnya, bukan hanya untuk dapat nilai A atau selesai sidang Skripsi, Tesis, maupun Disertasi. Ia adalah cara kita berdialog dengan dunia. Cara kita merawat nalar, mempertajam hati, dan membangun harapan. Bahwa ilmu bukan hanya untuk dipamerkan, tapi untuk memperbaiki hidup, sedikit demi sedikit, tapi dengan sungguh-sungguh.
Jadi, kalau kita sedang memulai penelitian, mari jangan mulai dari ketakutan. Mulailah dari rasa ingin tahu. Dari kegelisahan yang belum sempat kita ucapkan. Dan biarkan tulisan kita menjadi ruang di mana pertanyaan-pertanyaan tumbuh menjadi pemahaman yang bernas dan bermakna.
Karena di ujung semua riset yang jujur, ada satu hal yang kita temukan: bahwa ilmu bukan hanya soal tahu lebih banyak, tapi soal menjadi manusia yang lebih sadar, lebih peka, lebih adil, dan lebih hidup.
0 Response to "Meneliti: Bukan Sekadar Tugas, Tapi Cara Menjadi Manusia yang Lebih Sadar"
Post a Comment