/

Dari Legalitas ke Nurani: Membaca 'Reopening Muslim Minds' dalam Kerangka Fikih Akbar

Indonesia kerap disebut sebagai negara yang religius. Survei demi survei menegaskan itu. Masjid tak sulit ditemukan. Suara doa mengiringi banyak acara. Ceramah dan zikir menyemarakkan ruang publik. Dalam banyak hal, kita terlihat akrab dengan Tuhan.

Namun di balik itu, data bicara lain. Korupsi masih tumbuh subur. Amanah mudah dibelokkan. Hukum kerap ditekuk oleh kuasa. Dalam laporan CEOWorld tahun 2024, Indonesia masuk tujuh besar negara paling religius. Tapi dalam Indeks Persepsi Korupsi, kita tersuruk di separuh terbawah. Ini bukan sekadar ironi. Ini kegagalan "keberagamaan".

Pertanyaan yang menggantung yg tak bisa lagi ditunda adalah mengapa masyarakat yang terlihat dekat dengan Tuhan, justru mudah mengkhianati nilai-nilai-Nya?

Opini Kompas yang terbit pada 8 Maret 2025 menyuarakan keresahan yang sama. Judulnya singkat, tapi menghantam: “Religius, tetapi Gemar Korupsi; Apa yang Salah?”. Di sana tergambar paradoks ini dengan telanjang: mayoritas penduduk Indonesia mengaku religius, tapi itu tak tercermin dalam kualitas etika publik. Ibadah dijalankan, tapi integritas runtuh. Larangan Tuhan diulang-ulang, tapi pelanggaran terjadi tanpa gentar. Ini bukan hanya masalah moralitas. Ini soal cara kita memahami agama.

Pertanyaan ini telah lama bergema dalam dunia pemikiran Islam. Beberapa menyebutnya krisis etika. Yang lain menyebutnya kegagalan transformasi spiritual. Tapi satu suara, dalam keberaniannya yang jernih, mengajukan nama yang tepat bagi penyakit ini: "kesalehan tanpa moralitas".

Itulah istilah yang dipilih oleh Mustafa Akyol dalam bukunya, 'Reopening Muslim Minds'. Ia melihat bahwa dalam banyak masyarakat Muslim, agama telah direduksi menjadi sistem hukum yang dingin. Selama ada dalil yang membolehkan, maka tindakan pun disahkan. Nurani tak diperlukan. Hati digantikan oleh fatwa. Dan ketika itu terjadi, orang bisa beribadah dengan tekun, namun tetap merampas hak orang lain dengan tenang.

Akyol menunjukkan bagaimana umat terjebak dalam logika legalistik. Ia menyinggung sejarah hiyal--celah-celah hukum yang digunakan untuk menipu aturan tanpa merasa berdosa. Dalam tradisi seperti ini, etika bukan lagi kompas. Yang penting sah, bukan adil. Yang penting tidak dilarang, meskipun menyakiti.

Salah satu contoh hiyal yang menyakitkan dan sekaligus disinggung oleh para ulama klasik adalah praktik nikah al-tahlil atau muhallil, yakni pernikahan yang dilakukan semata-mata untuk menghalalkan kembali seorang perempuan kepada suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga. 

Dalam fikih, perempuan yang telah ditalak tiga tak bisa kembali (ruju') kecuali jika ia telah menikah dengan laki-laki lain dan pernikahannya itu sah serta terjadi hubungan suami istri, kemudian bercerai dengan sendirinya, tanpa rekayasa. Namun, dalam praktik, tak sedikit orang menyiasati ini: seorang lelaki “disewa” untuk menikahi perempuan tersebut, dengan niat sejak awal untuk segera menceraikannya setelah malam pertama, agar ia bisa kembali kepada suami pertama. 

Nabi sendiri melaknat pelaku pernikahan muhallil semacam ini, dan sebagian ulama menggambarkan praktik ini tak ubahnya seperti “keledai sewaan”: ia datang hanya untuk menunaikan syarat legal, lalu pergi, tanpa membawa tanggung jawab etis apa pun.Tapi mengapa ia masih dilakukan? Karena secara teks, semua rukun nikah dipenuhi. Karena akadnya sah, maka nurani ditanggalkan. Padahal dari awal, semua hanya panggung untuk menipu hukum. 

Dalam sistem berpikir seperti ini, keadilan bagi perempuan diabaikan. Perempuan hanya menjadi objek ritual legalistik. Tubuhnya menjadi medan syarat hukum, bukan subjek etika. Dan itulah tragedi, yaitu ketika hukum hanya bicara sah, dan tidak bicara marwah.

Membaca Akyol, kita seperti bercermin. Dan cermin itu, meski menyakitkan, justru menyelamatkan.

Apa yang ia sampaikan sangat berdekatan dengan kerangka yang saya ingin sebut sebagai fikih akbar. Sebuah kerangka yang membedakan antara fikih teknis (fikih asghar) dengan fikih kesadaran (fikih akbar). Yang pertama bicara sah-batal dan halal-haram. Yang kedua bicara kejujuran, keadilan, dan keberpihakan.

Dalam masyarakat yang kehilangan 'fikih akbar', agama tetap ada, tapi hanya di permukaan. Ia hadir sebagai slogan, bukan sebagai nurani. Ia dipakai untuk membenarkan, bukan untuk memperbaiki. Di negeri seperti ini, salat ditegakkan, tapi kemiskinan dibiarkan. Al-Qur’an dibaca, tapi suara orang lemah diabaikan.

Opini Kompas yang kita sebut tadi bukan sekadar artikel. Ia adalah suara publik yang menunggu jawaban. Dan apa yang ditawarkan oleh Akyol--dan fikih akbar--adalah jalan kembali: bahwa agama bukan sekadar sistem, tapi panggilan untuk menjadi manusia yang adil.

Fikih yang hanya sibuk pada teks akan gagal ketika bertemu kenyataan. Fikih yang hidup, adalah yang berani menimbang apakah hukum yang kita ikuti, misalnya, masih memihak pada yang lemah, atau justru menjadi perisai yang melindungi kekuasaan. Dan fikih seperti itulah yang saya maksud sebagai fikih akbar.

Hari ini, barangkali yang paling dibutuhkan Indonesia bukanlah tambahan pasal atau fatwa baru. Tapi keberanian untuk menghidupkan ulang "fikih yang punya malu":

Fikih yang membuat seorang pejabat menolak suap bukan karena takut neraka, tapi karena ia tahu: ada hak rakyat yang tak boleh disentuh. Fikih yang membuat seorang pedagang jujur bukan karena takut dosa, tapi karena jujur adalah bentuk ibadah yang paling diam.

Dan jika itu yang kita bangun, maka kita tak lagi menjadi negeri yang hanya tampak religius. Kita bisa menjadi masyarakat yang sungguh-sungguh beragama, karena tak hanya menyembah Tuhan, tapi juga menegakkan nilai-nilai-Nya.

Sebab yang paling mengerikan bukanlah orang jahat yang mencuri. Tapi orang yang rajin beribadah, namun kehilangan rasa malu untuk mencuri.


***

0 Response to "Dari Legalitas ke Nurani: Membaca 'Reopening Muslim Minds' dalam Kerangka Fikih Akbar"

Post a Comment