/

Inovasi: Menyambung Tajdid, Ijtihad, dan Islah dalam Riset Keagamaan

Tulisan ini lahir dari refleksi "sederhana" seusai webinar nasional tentang budaya riset unggul di era digital tadi, terlaksana. Di mana saya diminta untuk, yg dalam bahasa Mandailingnya, "mangkomburkon" (membicarakan) tentang tiga pilar riset: inovasi, kolaborasi, dan publikasi. Kalau kata moderator tadi: tiga 'si'.

Tapi seperti biasa, perjumpaan formal yang disusun dalam jadwal, ternyata masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang (mungkin) lebih dalam. Salah satunya: apakah yang kita maksud dengan "inovasi" dalam dunia penelitian keagamaan sungguh-sungguh punya akar dalam tradisi Islam, atau sekadar terminologi pinjaman dari epistemologi Barat modern?

Inovasi sering dianggap sebagai bahasa "luar" dari dalam tradisi keislaman. Di ruang akademik, ia dielu-elukan sebagai semangat zaman; namun di ruang keagamaan, ia kerap ditatap dengan curiga, bahkan dianggap bersinonim dengan makna kata 'bid‘ah'.

Maka ketika kita bicara tentang inovasi dalam penelitian keagamaan, pertanyaannya tidak hanya bersifat metodologis--bagaimana meneliti dengan cara baru--tetapi juga epistemologis: adakah padanan konsepnya dalam khazanah hukum Islam? Dan jika ada, apakah ia sungguh sepadan?

Kita mulai dari yang paling sering disandingkan dengan inovasi, yaitu bid‘ah. Secara terminologis, al-bid‘ah merujuk pada sesuatu yang diada-adakan dalam agama, yang tidak memiliki dasar dalam nash syar‘i. Dalam banyak kitab ushul dan fikih, istilah ini memuat dua nuansa: 'bid‘ah hasanah' dan 'bid‘ah sayyi’ah'. Tapi dalam praksis sosial, istilah ini telah diseret ke wilayah kecurigaan total, yakni apa pun yang "baru" sering dianggap sesat. Maka menyepadankan "inovasi" dengan "bid‘ah" adalah jalan yang penuh jebakan: terlalu riskan secara sosial dan terlalu sempit secara epistemologis.

Kita perlu istilah yang lebih lentur dan lebih hidup. Dan di sinilah 'tajdid' hadir sebagai tawaran yang bukan hanya aman, tetapi juga sarat legitimasi. 'Tajdid' bukan sembarang pembaruan; ia adalah pembaruan yang bertanggung jawab. 'Tajdid' adalah kerja menyegarkan, bukan menghancurkan. Ia punya akar profetik: 

"Setiap seratus tahun, Allah akan membangkitkan bagi umat ini seseorang yang akan memperbarui agamanya." (HR. Abu Dawud). 

Dalam tradisi ini, inovasi bukan ancaman, tetapi keniscayaan. Maka dalam konteks penelitian keagamaan, semangat 'tajdid' adalah jembatan: antara kesetiaan pada 'nash' dan kepekaan terhadap konteks.

Namun, 'tajdid' ini tidak bekerja secara sendirian. Ia bertaut erat dengan 'ijtihad'--yakni upaya keras seorang mujtahid untuk menemukan jawaban terhadap masalah baru yang belum ada 'nash qath‘i-'nya. 'Ijtihad' adalah arena berpikir, sedangkan 'tajidid' adalah semangat pembaruannya. Penelitian keagamaan yang inovatif hari ini sejatinya adalah praktik "ijtihad" dalam ruang akademik: menafsir ulang teks, mengontekstualkan kaidah, dan membongkar asumsi lama dengan perangkat keilmuan baru.

Ada pula istilah 'islah', yang sering diasosiasikan dengan kerja perbaikan. 'Islah' ini lebih bersifat korektif, yakni membenahi yang bengkok dan merapikan yang berserakan. Dalam konteks penelitian, istilah ini lekat dengan semangat kritik internal: bagaimana mendialogkan antara 'nash' dan realitas tanpa merasa harus mengulang semua dari nol. 

Maka jika 'tajdid' adalah napas, dan 'ijtihad' adalah otot, maka 'islah' adalah tangan yang bekerja--menyusun ulang, menambal, atau mengatur ulang agar tetap sesuai arah.

Ketiga istilah ini (tajdid, ijtihad, islah) menjadi semacam segitiga emas dalam menamai semangat inovatif dalam penelitian keagamaan. Mereka tidak identik dengan "inovasi" dalam makna teknokratik, tetapi mereka mengandung esensinya, yakni keberanian membaca ulang, kesungguhan berpikir ulang, dan kejujuran dalam memaknai ulang.

Maka ketika kita menulis Tesis tentang tafsir kontekstual, atau Disertasi yang membongkar ulang 'maqasid' dalam hukum keluarga, kita tidak sedang melawan tradisi. Tetapi kita sedang melanjutkan tradisi 'tajdid'. Ketika kita merumuskan ulang teori ushul fikih dengan pendekatan sosial, kita tidak sedang keluar dari rel 'ijtihad', tetapi justru sedang menghidupkannya. Dan ketika kita mengkritik pemaknaan tekstualis yang kaku, itu bukan tindakan devian (menyimpang), tetapi bagian dari 'islah' yang telah lama hidup dalam napas ulama sejati.

Jadi, jika ditanya: apakah inovasi sama dengan bid'ah? Jawabannya: tidak. Inovasi tidak sama dengan bid‘ah. Dan tidak perlu dipaksa menjadi padanannya. Sebab dalam tradisi Islam sendiri, kita sudah memiliki kosakata yang kaya--tajdid, ijtihad, islah--yang bukan hanya cukup untuk menamai inovasi, tetapi juga memberi arah moral dan spiritual bagi perjalanan akademik kita.

Karena pada akhirnya, meneliti dengan cara baru bukanlah soal gaya, tapi soal tanggung jawab. Dan menamai kerja inovatif sebagai 'tajdid' adalah cara paling jujur untuk menyambung keberanian modern dengan warisan klasik. Sebuah jembatan yang kokoh: dari masa lalu yang agung, menuju masa depan yang bertanggung jawab.

***


https://lp2m.stai-imsya.ac.id/2025/05/22/webinar-nasional-membangun-budaya-riset-berkualitas-menuju-perguruan-tinggi-berdaya-saing-global/

0 Response to "Inovasi: Menyambung Tajdid, Ijtihad, dan Islah dalam Riset Keagamaan"

Post a Comment