Jeda Napas dalam Ijab Kabul: Membela Akal Sehat dalam Fikih yang Kaku
Dalam zaman ketika potongan video lebih dipercaya ketimbang proses, dan ketika potongan kitab lebih digdaya dari keutuhan maqasid, kita menyaksikan betapa fikih bisa terluka oleh nafsu untuk cepat-cepat menyatakan “tidak sah.” Itulah yang kini terjadi pada pernikahan Luna Maya--sebuah ikatan suci yang justru diributkan bukan karena keraguan akan niat, rukun, atau syarat, tetapi karena... jeda napas.
Narasi yang viral menyebut bahwa akad nikahnya cacat karena ijab dan kabul tidak dilakukan dalam satu hela napas.
Dalilnya diambil dari teks al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, kitab monumental mazhab Syafi‘i, yang menyatakan bahwa jika antara ijab dan kabul terdapat jeda waktu panjang, maka akad tidak sah. Tetapi, siapakah yang mendefinisikan apa itu "panjang"?
Dan apakah jeda napas dalam suasana sakral dan gugup bisa serta-merta dikategorikan sebagai pemisah hukum?
Teks itu tidak berdiri dalam kekosongan. Ia dibentuk oleh konteks, oleh ‘urf, dan oleh kebiasaan sosial yang tak bisa disamakan antara abad pertengahan dan masyarakat digital hari ini.
Bahkan dalam mazhab Syafi‘i kontemporer sendiri, kita dapati dalam al-Mu‘tamād fī al-Fiqh al-Syāfi‘ī karya Syaikh Muhammad Zuhailī dan dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu oleh Syaikh Wahbah al-Zuhailī, ketentuan muwāla (kontinuitas antara ijab dan kabul) tidak diberlakukan secara kaku, apalagi untuk jeda yang disebabkan oleh kebutuhan alami seperti bernapas atau jeda singkat karena gugup.
Yang menarik, justru dari mazhab Hanbali dan Hanafī datang narasi yang lebih menenangkan: bahwa “segera” bukan syarat mutlak dalam ijab kabul selama majelis akad belum bubar. Dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba‘ah dikatakan secara eksplisit bahwa ijab dan kabul sah meskipun tidak terjadi langsung jika masih berada dalam satu majelis. Dan bukankah pernikahan Luna Maya disaksikan oleh penghulu, wali, dua saksi, dan berlangsung dalam majelis yang satu?
Sayangnya, kerumunan lebih cepat percaya pada "qoul" yang dipotong daripada kehati-hatian yang utuh. Dan di sinilah letak persoalannya: ketika fikih berubah menjadi senjata, bukan cahaya. Ketika, barangkali, rasa ingin viral lebih besar dari rasa takut salah. Padahal dalam logika maqāṣid, tujuan dari akad adalah kejelasan niat, keberterimaan antar pihak, dan perlindungan terhadap kehormatan keluarga. Bukan pemujaan terhadap jeda.
Maka yang lebih mendesak bukanlah membatalkan akad orang lain, tetapi membatalkan cara kita memahami fikih dengan sempit.
Fikih yang tidak memberi ruang pada kenyataan manusia, seperti jeda bernapas, bukanlah fikih yang hidup, melainkan kuburan teks yang beku.
Kita tak butuh fikih yang galak, kita butuh fikih yang waras. Yang tahu membedakan antara kekhilafan dan kehendak, antara jeda dan pembatalan.
Dan pada akhirnya, yang harus kita jaga bukan hanya sahnya akad, tapi sahnya akal. Sebab ketika fikih kehilangan akal sehat, maka ia tak lagi menjadi jalan menuju rahmah, melainkan jalan pintas menuju kegaduhan.
***
0 Response to "Jeda Napas dalam Ijab Kabul: Membela Akal Sehat dalam Fikih yang Kaku"
Post a Comment