Zanniyah yang Dipersengketakan dan Keadilan yang Dilupakan: tentang Qunut wa Akhawatuha
Sementara rakyat mengantri beras murah di bawah terik matahari, para penceramah masih sibuk memperdebatkan qunut subuh. Sementara uang rakyat diselewengkan oleh elite yang berlagak suci, mereka lebih terganggu pada posisi jari saat 'tasyahhud'.
Sementara ribuan anak tumbuh dalam gizi buruk dan pendidikan tambal sulam, khutbah-khutbah kita malah sibuk mengaitkan setiap bencana alam dengan azab, seolah-olah yang patut dimurkai adalah rakyat kecil, bukan para penguasa yang merampas hak mereka.
Di negeri ini, suara paling lantang sering kali bukan suara hati nurani, tetapi gema dari isu-isu zanniyah yang diseret masuk ke ruang sengketa yang tak perlu.
Dalam khazanah hukum Islam sendiri, zanniyah ini merujuk pada hal-hal yang bersifat tidak pasti atau ijtihadi, yakni isu-isu yang tidak memiliki dalil qath‘i (pasti dan tegas), melainkan dipahami melalui penalaran, analogi, atau interpretasi para ulama. Artinya, wilayah zanniyah adalah ruang tafsir, ruang ikhtilaf, dan ruang kelapangan, bukan ruang mutlak yang harus dipaksa seragam.
Dalam persoalan-persoalan zanniyah itu, perbedaan pendapat bukan hanya wajar, tetapi justru merupakan bagian dari dinamika sehat dalam tradisi hukum Islam. Maka ketika ruang zanniyah diperlakukan seolah-olah ia qath‘i, absolut, dan final, yang dirusak bukan hanya keluasan fikih, tetapi juga keadaban berpikir umat itu sendiri.
Padahal, isu-isu "simbolik" itu--qunut, isbal, jalsah istirahah, dan sebagainya--adalah wilayah yang oleh ulama salaf sekalipun diletakkan dalam kerendahhatian: ranah ijtihad yang zanniy, bukan wilayah kebenaran yang mutlak. Tapi hari ini, ia diperlakukan seolah hukum Tuhan yang sudah final. Yang berbeda dicurigai, yang menyelisihi dibid’ahkan, dan yang tak ikut arus, dilempar ke jurang kesesatan. Maka fikih pun kehilangan jiwanya: bukan lagi panduan etis menuju keadilan, tetapi proyek ideologis yang sibuk menyalahkan.
Inilah paradoks umat: sibuk mengoreksi ritual, tapi abai pada skandal moral. Kita lebih gelisah pada orang yang tidak mengangkat tangan saat berdoa, ketimbang pejabat yang mengangkat dana bansos untuk memperkaya diri. Kita lebih galak pada perbedaan dalam saf salat, daripada ketidakadilan dalam distribusi tanah, kekayaan, dan pendidikan.
Dan semua ini terjadi karena satu sebab: kita lupa maqasid. Kita lupakan bahwa inti hukum Islam bukan pada bentuk, tapi pada pesan; bukan pada simbol, tapi pada substansi; bukan pada “apakah benar gerakannya?”, tetapi “apakah adil akibatnya?”.
Selama agama terus dijebak dalam pertikaian simbolik, kita tidak akan pernah selesai menguliti luka umat. Bahkan kita mungkin akan menjadi bagian dari pisau yang melukainya.
Karena itu, jika hari ini kita masih ingin berbicara atas nama Islam, (bukan sekadar sebagai warisan teks, tetapi sebagai suara peradaban) maka sudah waktunya kita menggeser lensa. Dari mempertentangkan ritual ke memperjuangkan nilai. Dari memelihara simbol ke menegakkan substansi. Dari sibuk membela “cara” ke berani merumuskan “makna”.
Agama bukan untuk menyesaki ruang perbedaan kecil, melainkan untuk membuka jalan-jalan kebajikan yang besar. Dan fikih, jika ingin tetap hidup dalam denyut zaman, harus kembali menjadi kompas etika, bukan alat verifikasi kelompok.
Di negeri yang terus dirundung korupsi, ketimpangan, dan kemiskinan struktural, suara agama yang paling sahih adalah suara yang berpihak, bukan pada golongan, tapi pada keadilan.
Dan barangkali, di situlah letak qunut sejati kita:
bukan pada jari yang terangkat, tetapi pada hati yang terlibat. Bukan pada lafaz yang dibaca, tetapi pada keberpihakan yang dibela.
Persis seperti yang diresonansikan oleh Farid Esack: iman tanpa keberpihakan hanyalah sunyi yang saleh, dan hukum tanpa keadilan hanyalah gaduh yang tak bermakna.
***
0 Response to "Zanniyah yang Dipersengketakan dan Keadilan yang Dilupakan: tentang Qunut wa Akhawatuha"
Post a Comment