Mengapa Kita Harus Belajar Membaca Ulang?
Kita hidup di zaman yang ironis: informasi berlimpah, tapi
kemampuan membaca justru merosot. Di ruang-ruang studi fikih, kitab-kitab besar
dibaca seperti mantra: dikagumi, dikutip, bahkan dijaga seperti pusaka--namun
jarang sekali dipertanyakan.
Banyak di antara kita yang belajar fikih layaknya menghafal
vonis yang telah jadi, bukan menyelami alur nalar dan pertarungan makna yang
melahirkannya.
Kita menyebut ini sebagai “ta'abbudiyah al-qira'ah",
yakni membaca dengan semangat tunduk tanpa tafakur. Kita membaca bukan untuk
mengerti, tapi untuk mengulang. Kita menyusun catatan bukan untuk memahami,
tapi untuk menyalin. Maka yang tercetak dari ruang kuliah fikih bukan pemikir
hukum, tapi pengutip teks.
Padahal, pertanyaan sederhana bisa menjadi revolusioner:
Apakah kita membaca fikih, atau hanya membiarkan fikih membaca kita? Apakah
kita sedang berpikir, atau hanya sedang mengulangi suara-suara yang tak lagi
bergema dalam kenyataan?
Membaca ulang adalah keberanian untuk tidak pasrah pada
kutipan. Ia adalah laku intelektual yang tidak memuliakan teks karena purbanya,
tapi karena maknanya. Membaca ulang adalah kemampuan untuk membedakan mana yang
lahir dari ketentuan ilahiah, dan mana yang merupakan hasil pikiran manusia
(insaniah) dalam suatu ruang sejarah tertentu.
Dalam tradisi hukum Islam sendiri, membaca ulang bukanlah
keasingan. Para ulama usul fikih mengenal prinsip yang disebut tahqiq
al-manat, yakni memastikan bahwa alasan di balik suatu hukum benar-benar
relevan untuk diterapkan pada situasi tertentu. Artinya, hukum tidak cukup
hanya benar secara teks, tetapi juga harus tepat secara konteks. Tanpa
kesadaran ini, kita hanya akan memaksakan hukum tanpa memikirkan dampaknya.
Demikian pula, para pemikir 'tajdid' sering menggunakan
istilah 'adat al-nazhar--yakni meninjau ulang suatu pendapat hukum dengan
pandangan baru yang lebih tajam, lebih sadar, dan lebih kontekstual. Sebab,
tidak semua yang dikatakan masa lalu bisa langsung dijadikan pegangan hari ini.
Realitas berubah, dan fikih yang sehat adalah fikih yang ikut bergerak bersama
kehidupan, bukan tertinggal olehnya.
Namun di tangan yang salah, fikih dibekukan menjadi kitab suci kedua. Pendapat ulama dibaca seperti wahyu. Dan keragaman mazhab dianggap cacat, bukan kekayaan. Maka pembacaan kritis justru dianggap bentuk pembangkangan, bukan tanda cinta yang mendalam.
Dalam konteks inilah membaca ulang menjadi tindakan etis. Ia
bukan sekadar kerja nalar, tapi juga ekspresi tanggung jawab. Karena di balik
setiap kutipan fikih, ada hidup manusia yang dipertaruhkan: hak-hak perempuan
yang dikurangi, suara minoritas yang dibungkam, bahkan kemanusiaan yang
dikorbankan atas nama “pendapat yang sudah disepakati”.
Itulah sebabnya membaca ulang adalah kerja moral. Sebuah
kewajiban untuk tidak memelihara warisan secara membuta. Tugas kita bukan
membuang tradisi, tetapi menghidupkannya kembali (ihya'), bukan sebagai
kerangkeng dogma, tetapi sebagai cahaya yang membimbing.
Dan sebelum kita mulai menulis, sebelum meneliti, bahkan
sebelum memilih topik, kita harus berlatih membaca. Membaca secara sadar.
Membaca dengan akal dan nurani. Membaca dengan kesadaran bahwa tidak semua yang
dikatakan harus dipercayai, dan tidak semua yang diwariskan harus diwarisi apa
adanya.
Karena fikih bukanlah wahyu. Ia adalah cara kita merespons
wahyu di tengah realitas yang terus berubah. Maka membaca ulang bukan hanya
upaya ilmiah. Ia adalah laku keberanian. Ia adalah bagian dari menjadi manusia
yang berpikir dan yang berpihak
0 Response to " Mengapa Kita Harus Belajar Membaca Ulang?"
Post a Comment