Ketika Fikih Memihak: Dari Gagasan ke Praksis Pembebasan
Dalam tiga seri sebelumnya, kita sudah berjalan dari kritik terhadap kultus tokoh, menuju kesadaran hermeneutis, hingga pada kesimpulan bahwa fikih, sejak awal, tidak pernah netral. Ia selalu berpihak, entah kepada struktur kuasa, kelas sosial dominan, atau pola patriarki yang mengakar. Maka tuntutan kita sederhana namun mendesak: jika fikih pasti berpihak, maka ia harus berpihak pada keadilan. Namun di titik ini, biasanya muncul pertanyaan kritis: mungkinkah hal itu benar-benar diwujudkan? Ataukah sekadar idealisme yang cantik di atas kertas, tetapi mustahil dalam kenyataan?
Pertanyaan itu penting, karena
gagasan yang tidak berbuah praksis hanya akan berakhir sebagai hiasan rak buku.
Dan di sinilah kita patut bersyukur, sebab di Indonesia, upaya membangun fikih
yang berpihak bukan sekadar retorika, melainkan kenyataan yang sedang tumbuh.
Teori mubadalah adalah salah satu contohnya. Paradigma ini mengoreksi
cara lama yang kerap menempatkan laki-laki sebagai subyek utama dan perempuan
sebagai obyek semata. Dari sudut pandang itu, fikih keluarga kerap terasa
timpang: laki-laki memimpin, perempuan dipimpin; laki-laki menafkahi, perempuan
dinafkahi. Mubadalah membalik cara pandang itu dengan mengusulkan
prinsip kesalingan. Jika teks memberi hak kepada laki-laki, maka hak yang sama
berlaku bagi perempuan; jika teks memberi tanggung jawab kepada perempuan, maka
laki-laki pun ikut memikul tanggung jawab yang sama. Dengan pendekatan ini,
teks tidak lagi menundukkan salah satu pihak, melainkan menghadirkan etika
partnership dalam rumah tangga.
Sementara itu, di ruang yang
berbeda, ulama perempuan Indonesia melalui Kongres Ulama Perempuan Indonesia
(KUPI) menunjukkan bahwa fatwa pun bisa menjadi jalan keberpihakan. Paradigma
yang mereka bangun tegas: fikih harus berpihak pada perlindungan kehidupan,
keadilan gender, dan kemaslahatan sosial. Dari sini lahirlah fatwa-fatwa yang
progresif, misalnya tentang larangan perkawinan anak. Bukan sekadar karena
ingin menafikan pendapat lama, tetapi karena realitas menunjukkan bahwa
perkawinan anak justru merusak kehidupan: mengancam kesehatan reproduksi,
memutus akses pendidikan, dan merampas masa depan perempuan. Dengan
keberpihakan itu, fatwa KUPI menegaskan bahwa fikih bukan kitab beku, melainkan
medan etis yang berpihak pada yang lemah.
Kedua contoh ini memperlihatkan
bahwa hermeneutika tidak berhenti di ruang kritik, tetapi bermuara pada etika.
Jika setiap tafsir selalu berpihak, maka keberpihakan itulah yang harus
diarahkan pada yang rentan, bukan yang mapan; pada mereka yang ditindas, bukan
yang menindas; pada kehidupan, bukan pada kematian. Kesadaran hermeneutis
membuka mata kita terhadap bias-bias yang melekat dalam tafsir lama, dan etika
keberpihakan mendorong kita untuk tidak berhenti pada kesadaran, tetapi
bergerak menuju transformasi.
Jika kemerdekaan nasional berarti
membebaskan bangsa dari penjajahan fisik, maka kemerdekaan fikih berarti
membebaskan umat dari klaim netralitas palsu. Fikih merdeka adalah fikih yang
sadar akan biasnya, jujur pada keterbatasannya, dan berani menyatakan
keberpihakannya pada kehidupan. Dengan itu kita bisa berkata dengan lantang: fikih
yang berpihak bukan sekadar mungkin, tetapi sudah hadir di tengah kita.
Dari teori mubadalah hingga fatwa KUPI, kita melihat wajah Islam yang hidup,
bergerak, dan berpihak; bukan sekadar warisan beku, melainkan energi moral yang
membebaskan.
Dan di sinilah letak kemerdekaan
sejati: bukan hanya kemerdekaan tubuh dari penjajahan, melainkan juga
kemerdekaan nalar dari kultus tokoh, dari ilusi netralitas, dan dari tafsir
yang melanggengkan ketidakadilan. Karena kemerdekaan fikih, pada akhirnya, adalah
keberanian untuk memilih berpihak—dan berpihak pada yang benar: pada keadilan,
pada kemanusiaan, dan pada kehidupan itu sendiri.
0 Response to "Ketika Fikih Memihak: Dari Gagasan ke Praksis Pembebasan"
Post a Comment